Pahlawan Nasional dari Banten, Ada Aria Wangsakara

Selain itu, ada Ageng Tirtayasa, sultan di Banten

Serang, IDN Times - Pada 10 November 2021 lalu, pemerintah pusat menambah lagi jajaran pahlawan nasional. Salah satu pahlawan nasional itu, berasal dari Banten adalah Raden Aria Wangsakara.

Masuknya Aria Wangsakara sebagai pahlawan nasional, tidak mngecilkan peran para pahlawan lainnya asal Banten. Dari Tanah Jawara, begitu banyak pahlawan yang berguguran ketika berjuang melawan penjajah, sejak Belanda hingga Jepang. 

Berikut  daftar pahlawan nasional dari Banten, seperti dikutip dari https://dinsos.bantenprov.go.id:

1. Sultan Ageng Tirtayasa

Pahlawan Nasional dari Banten, Ada Aria WangsakaraSultan Ageng Tirtayasa (Alchetron)

Sultan Ageng Tirtayasa lahir di Banten tahun 1631. Dia adalah putra Sultan Abdul Ma’ali Ahmad dan Rau Martakusuma yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650.

Ketika kecil, ia bergelar Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda bergelar Pangeran Rau atau Pangeran Dipati. Dia kemudian diangkat menjadi sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah saat kakeknya meninggal.

Gelarnya sebagai Sultan Ageng Tirtayasa dia dapat ketika mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang).

Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651-1683. Dia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. 

Perlawanan Banten itu muncul karena Kongsi Dagang atau Perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie/ VOC) menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Sultan menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.

Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di bidang ekonomi, ia berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.

Pada tahun 1683, Sultan Ageng tertangkap dan dipenjarakan di Batavia. Ia meninggal dunia dalam penjara dan dimakamkan di Komplek Pemakaman Raja-raja Banten, di sebelah utara Masjid Agung Banten, Banten Lama.

Atas jasa-jasanya pada negara, Sultan Ageng Tirtayasa diberi gelar pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 045/TK/Tahun 1970, tanggal 1 Agustus 1970.

Namanya juga dijadikan nama perguruan tinggi negeri di Banten, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta).

Baca Juga: Profil Untirta, Kampus Negeri di Banten

2. Syafruddin Prawiranegara

Pahlawan Nasional dari Banten, Ada Aria WangsakaraSjafruddin Prawiranegara (Wikipedia.org)

Syafruddin Prawiranegara atau juga ditulis Sjafruddin Prawiranegara lahir di Serang pada 28 Februari 1911.

Sebelum kemerdekaan RI, Syafruddin pemah bekerja sebagai pegawai siaran radio swasta (1939-1940), petugas pada Departemen Keuangan Belanda (1940-1942), hingga pegawai Departemen Keuangan Jepang.

Setelah kemerdekaan Indonesia, ia menjadi anggota Badan Pekerja KNIP (1945), yang bertugas sebagai badan legislatif di Indonesia sebelum terbentuknya MPR dan DPR. KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis Besar Haluan Negara.

Salah satu peran penting Syafruddin adalah dia dipercaya Sukarno dan Hata untuk membentuk Pemerintahan Darurat RI (PDRI). Kala itu, Presiden Soekamo dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap Agresi Militer I, kemudian diasingkan oleh Belanda ke Pulau Bangka, 1948.

Soekarno dan Hatta menugasi Syafruddin untuk melanjutkan pemerintahan, agar tak terjadi kekosongan kekuasaan.

Atas usaha Pemerintah Darurat, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia. Perjanjian Roem-Royen mengakhiri upaya Belanda dan akhimya Soekamo dan kawan-kawan dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta.

Syafruddin meninggal di Jakarta, 15 Februari 1989 pada usia 77 tahun. Syafruddin diberi gelar Pahlawan Nasional pada 2011 setelah melalui proses yang alot. Namanya tiga kali diajukan menjadi Pahlawan Nasional, yakni pada tahun 2000, 2009, dan 2011. 

Hal itu terkait dengan "keterlibatan" Syafruddin yang pernah menjadi Presiden Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

3. Brigjen KH Syam’un

Pahlawan Nasional dari Banten, Ada Aria WangsakaraDok. Pemprov Banten

Nama lengkapnya adalah Syam’un bin H. Alwiyan. Dia lahir di Beji, Serang pada 5 April 1894. 

Syam’un merupakan putra pasangan taat beragama Hajar dan Aiwiyan. Dia juga masih keturunan dari KH. Wasid, tokoh "Geger Cilegon" 1888. 

Sejak masih anak-anak, Syam’un mendapat pendidikan pesantren dan tepatnya pada usia 4 tahun sudah dikirim orangtuanya menimba ilmu agama di Pesantren Delingseng selama 2 tahun hingga 1900. 

Pendidikan akademiknya hingga ke Al-Azhar University Cairo Mesir yang saat itu masih masuk dalam jajaran perguruan tinggi termasyhur di dunia. 

Syam’un adalah pendiri perguruan tinggi lslam ‘ Al-Khairiyah Citangkil, Desa Wanasari Kecamatan Pulo Merak, Kota Cilegon. Perguruan tersebut didirikan dalam dua tahap.

Bermula dengan sistem pesantren (tradisional) dan dikembangkan tahap kedua dengan sistem madrasah (klasikal). 

Dia kemudian malah bergabung dalam PETA yang notabene adalah gerakan pemuda bentukan Jepang. Bagi orang yang tidak mengerti ia mungkin dianggap plin-plan, padahal yang ia Iakukan adalah Iangkah Syam’un mempersiapkan perlawanan, karena dalam peperangan kalau tanpa persiapan merupakan haI yang konyol, bukan kemenangan yang didapat malah kekalahan yang akan datang.

Dalam PETA jabatan Syam’un adalah Dai Dan Tyo yang membawahi seluruh Dai Dan I PETA yang wilayah kekuasaannya meliputi Serang, yang pada akhirnya pindah ke Labuan.

Selama menjadi Sai Dan Tyo, Syam’un sering mengajak anak buahnya untuk memberontak dan mengambil alih kekuasaan Jepang.  Tujuan tersebut ia utarakan juga kepada Pemimpin Dai Dan Tyo, Oyong Ternaya dan Dai Dan Tyo IV Uding Surya Atmadja untuk mengumpulkan kekuatan.

Setelah kemerdekaan RI, Syam’un menjadi pimpinan Brigade l Tirtayasa Badan Keamaman Rakyat (BKR) yang berubah menjadi Tentala Keamanan Rakyat (TKR) dan berganti menjadi TNI Divisi Siliwangi.

Karier Syam’un di militer terbilang gemilang dengan pangkat terakhir brigadir jenderal (brigjen). Dia kemudian diangkat menjadi Bupati Serang periode 1945-1949.

Di sela jabatannya sebagai Bupati Serang sekira tahun 1948, KH. Syam’un masih mengurus pesantren. Pada tahun yang sama, meletus Agresi Militer Belanda II yang menharuskan Syam’un bergerilya dari Gunung Karang Kabupaten Pandegaing hingga ke Kampung Kamasan Kec. Cinangka Kabupaten Serang. Daerah ini menjadi tempat tinggal salah satu gurunya, Jasim.

Di kampung ini, Syam’un meninggal pada tahun 1949 karena sakit saat memimpin gerilya dari hutan sekitar Kamasan, tepatnya tanggal 28 Februari pada umur 54 tahun. 

Pada tanggal 8 November 2018, Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional bagi Syam’un. 

Baca Juga: Kisah Nyimas Gamparan, Pendekar Perempuan Banten Penolak Tanam Paksa 

4. Raden Aria Wangsakara

Pahlawan Nasional dari Banten, Ada Aria WangsakaraRaden Aria Wangsakara (wikimedia.org)

Tokoh satu ini merupakan seorang ulama sekaligus dikenal sebagai pendiri Tangerang. Berdasarkan sejumlah literatur yang bercerita tentang Babad Tangerang dan Babad Banten, Aria Wangsakara adalah keturunan Raja Sumedang Larang, Sultan Syarif Abdulrohman. 

Dia lari ke wilayah yang sekarang dinamai Tangerang karena tidak setuju dengan saudara kandungnya yang malah berpihak kepada VOC. Dia kemudian memilih menetap di tepian Sungai Cisadane.

Kala itu, Sultan Banten, Maulana Yusuf mempercayakan Aria Wangsakara untuk untuk menjaga wilayah tersebut, khususnya Lengkong, dari pendudukan VOC. Selain itu, dia juga menyebarkan ajaran Islam pada periode 1652-1653.

Karena dianggap membahayakan kekuasaan, VOC mendirikan benteng di sebelah timur Sungai Cisadane, persis berseberangan dengan wilayah kekuasaan Wangsakara. VOC juga menakuti warga Lengkong Kyai dengan mengarahkan tembakan meriam ke wilayah kekuasaan Wangsakara.

Provokasi VOC memicu pecahnya pertempuran penjajah dan rakyat Tangerang. Perang ini berlangsung selama tujuh bulan dengan akhir keberhasilan rakyat di bawah pimpinan Wangsakara mempertahankan wilayah itu dari tangan VOC. 

Wangsakara sendiri gugur pada tahun 1720 di Ciledug dan dimakamkan di Lengkong Kyai, Kabupaten Tangerang.

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya