Para Perempuan Millennials Pembawa Perubahan

Perempuan, jangan takut membuat perubahan!

Teruslah bermimpi, teruslah bermimpi, bermimpilah selama engkau dapat bermimpi! Bila tiada bermimpi, apakah jadinya hidup! Kehidupan yang sebenarnya kejam.

IDN Times, Serang - Tulisan di atas merupakan salah satu kutipan yang diambil dari Buku Habis Gelap, Terbitlah Terang. Terlepas dari kontroversi di balik buku itu, ajakan bagi perempuan untuk melakukan perubahan, harus terus digaungkan. 

Itulah pesan yang disampaikan beberapa perempuan tangguh yang berhasil IDN Times rangkum, kali ini. Tulisan ini sekaligus memperingati hari Kartini. 

Para perempuan-perempuan ini terus berusaha menciptakan perubahan di berbagai sektor, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga teknologi. Semua tentu dengan niatan tulus, demi masa depan yang lebih baik. 

"Perempuan adalah pembawa peradaban," begitu yang pernah ditulis Kartini. Perempuan Indonesia, jangan takut membuat perubahan!

1. Perempuan millennials memperjuangkan hak pendidikan bagi mereka yang terpinggirkan

Para Perempuan Millennials Pembawa PerubahanIDN Times/Maya Aulia Aprilianti

Ajakan serupa diutarakan Novi Asih, millennial perempuan asal Karawaci Ilir, Saung Bale Kembang, Tangerang. Novi menilai, perempuan milennials saat ini harus dapat memberikan inspirasi dan motivasi kepada sekitar. 

Padahal, menurutnya, perempuan millennials harus berani mengambil tindakan untuk membuat suatu perubahan. Jika sendiri terasa berat untuk dilakukan, tidak ada salahnya mencoba mengajak orang lain untuk membuat suatu perubahan bersama.

Gak hanya omongan doang, perempuan berusia 26 tahun menyulap halaman rumahnya di Jalan Akses Tanah Gocap menjadi tempat belajar bagi anak-anak yatim. 

Hatinya tergerak untuk memberi sesuatu bagi anak-anak yatim sejak tahun lalu, ketika pandemik meluluhlantakkan banyak hal. Tak hanya pendidikan mengenai ilmu pengetahuan yang dia bagikan kepada anak-anak dari keluarga tak mampu itu. Pendidikan akhlak pun jadi perhatiannya, seperti mengaji.

"Aktivitas anak-anak saat ini selama pandemik dan sekolah daring lebih banyak bermain, tidak banyak anak yg mau belajar ketika di rumah. Karena itu selama belajar daring kita membuat kegiatan les dan mengaji untuk anak yatim," kata Novi Asih saat ditemui IDN Times, Kamis (22/4/2021). 

Jalan tak selalu mulus. Novi mengakui, dukungan dari masyarakat sekitar dia rasakan kurang ketika memulai kelas gratis untuk anak yatim itu. Bahkan, banyak orangtua yang tidak ingin anaknya ikut belajar lantaran menganggap pendidikan tidak penting. 

"Tidak sedikit kita jumpai anak-anak di usia yang seharusnya masih duduk di bangku sekolah, rela ikut serta mencari nafkah hanya untuk makan sehari-hari dan merelakan pendidikannnya berhenti untuk bertahan hidup," kata dia. 

Oleh karena itu, Novi mengaku ingin selalu bisa membantu adik-adik yatim untuk tetap bisa mengenyam pendidikan yang seharusnya mereka terima. "Dan memotivasi mereka untuk tidak kalah dengan keadaan," ungkapnya. 

Pendidikan juga menjadi bidang yang digeluti Ade Putri Sarwendah. Bedanya, Ade benar-benar berprofesi sebagai guru.

Millennial berusia 31 tahun itu mengajar anak-anak luar biasa di SLB Negeri Balikpapan Kalimantan Timur (Kaltim). 

Sejak menyelesaikan S1 di Universitas Negeri Yogyakarta, Ade sudah 11 tahun ia aktif mengajar anak berkebutuhan khusus (ABK).  Dan, Ade mengaku sangat senang menjalani profesinya, meski dia akui, mengajar ABK sangat menantang.

Menurut dia, butuh usaha dan kesabaran ekstra. Dalam satu kelas, kemampuan anak-anak ini heterogen. 

"Mereka pun berbeda-beda. Tentu penanganannya juga berbeda-beda. Ini jadi tantangannya. Bagaimana bisa mengakomodasi itu semua," ujar Ade Putri. 

Salah sedikit saja penanganan, anak-anak didik bisa ngambek hingga tantrum--suatu kondisi di mana anak meluapkan emosinya tanpa kendali. 

"Biasanya mereka marah karena keinginan tidak terpenuhi. Maka biarkan saja, dengan catatan tetap diawasi. Marahnya jangan sampai menyakiti orang lain dan diri sendiri," ujarnya

Nantinya jika mereka sudah kehabisan energi untuk marah. Lalu guru atau orangtua menghampiri secara perlahan. "Jangan marah-marah. Karena jika kita berbicara dengan nada tinggi, anak bisa makin tantrum," kata dia.

Kecintaannya pada dunia pendidikan membawa Ade memperoleh berbagai penghargaan. Seperti di tahun 2018 ia mengikuti kegiatan simposium nasional. Di forum ini, dia berkesempatan menunjukkan karya ilmiah pesertanya. "Itu diikuti guru SLB se-Indonesia. Alhamdulillah saya masuk terbaik kedua tingkat nasional," sebut perempuan kelahiran 14 Oktober ini. 

Penghargaan lain, pada 2020 ia mengikuti kegiatan guru dedikasi dan inovasi. "Alhamdulillah kembali memperoleh predikat terbaik kedua tingkat nasional jenjang guru SLB," lanjutnya. 

Pada tahun yang sama, ia juga memperoleh penghargaan Kaltim Education Award di Samarinda. Selain itu ia pun terpilih sebagai Duta Rumah Belajar Provinsi Kaltim. 

"Di tahun 2021 saya memperoleh penghargaan dari Wali Kota Balikpapan. Sebagai warga yang berprestasi di bidang pendidikan," sebutnya.

Untuk mendalami ilmu pendidikan luar biasa, Ade Putri tak hanya mengambil S1 Pendidikan Luar Biasa saja. Ia juga mengambil S2 Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Wijaya Putra Surabaya. 

Selain itu, Ade juga menambah ilmunya dengan short course di Korea Selatan dan Malaysia.

Harapan Ade sederhana saja. Dia ingin anak-anak didiknya taat agama, patuh pada orangtua dan mandiri. "Bisa bertanggung jawab atas diri mereka sendiri juga bergabung dengan lingkungan masyarakat. Menunjukkan bahwa mereka anak-anak yang bisa," kata dia.

Baca Juga: Ajari Anak Yatim, Novi Ajak Millennial Gak Takut Bikin Perubahan

Baca Juga: Sosok Kartini Milenial yang Bercita-cita Jadi Guru di SLB Balikpapan

2. Perjuangan perempuan menerabas stereotipe konservatif

Para Perempuan Millennials Pembawa PerubahanInstagram.com/santi.widiasari

Pendidikan masih menjadi hal mewah bagi sebagian penduduk negeri ini--bahkan setelah berpuluh-puluh tahun Indonesia merdeka. Anggapan perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi kerap didengar Santi Widiasari.

"Menjadi perempuan tak perlu repot-repot kuliah. Toh ya nanti akan menikah dan ngurus anak," begitu cemooh yang Santi dengar. Santi menggambarkan desa tempat ia tinggal sebagai salah satu desa pada umumnya. Perempuan di sana masih lekat dengan tugas domestik alias 3 UR, dapur, sumur, kasur.

Dengan pelan-pelan, wanita 23 tahun itu terus menjelaskan tentang masa depan perempuan yang ada di luar cakupan desanya. Santi berkeliling dan mengetuk satu per satu rumah untuk mengajak pemuda Desa Sawo, Lamongan, Jawa Timur agar mau keluar dari belenggu stereotipe konservatif itu.

"Di desaku banyak sekali bibit-bibit emas. Mereka sering juara kelas, juara lomba. Tapi orangtua mereka selalu melarang untuk kuliah. Ujung-ujungnya, mereka kerja seadanya dan menikah muda," sesal Santi.

Kegelisahan itu kemudian membuatnya membentuk Komunitas Kertas Kosong. Kala itu, 
Santi sudah kuliah di tahun ketiga, tahun 2016. 

"Kalau dulu pepatahnya kan tutup buku buka terop. Tapi kami hadir dengan memberikan kertas kosong, bukan terop. Harapannya di kertas kosong ini pemuda desa kami dan sekitarnya bisa menuliskan perjalanan hidupnya menjadi buku baru," jelas Santi.

Berbagai macam kegiatan telah diprogramkan untuk membuka pintu pendidikan di pedesaan Lamongan, antara lain yaitu Ayo Menulis, Ayo Membaca, Ayo Kuliah, dan Ayo Berbagi.

Pada program Ayo Menulis dan Ayo Membaca, Santi menjelaskan bahwa K3 berfokus pada isu melek literasi. Mereka mengajak pemuda-pemuda yang tergabung di komunitas tersebut untuk membaca satu buku dalam satu bulan serta menulis sebuah karya dalam satu bulan.

"Karena kami sadar, pendidikan itu datangnya dari literasi. Kurangnya kesadaran pendidikan juga karena kurangnya literasi. Kami ingin membuka jendela dunia di desa ini melalui literasi," tuturnya.

Hal sama juga dialami Laili Nadhifatul Fikriya (25). Kegelisahan atas tingkat pendidikan rendah di lingkungannya telah ia rasakan sejak lama. Namun, dia tersadar ketika selesai merampungkan Strata 1 di Universitas Jember jurusan Sastra Inggris.

Gadis berkerudung ini kembali ke tanah kelahirannya. Ia mendapati kenyataan yang mengusik pikirannya. "Di sana pendidikan itu dianggap gak penting. Lebih baik menikah daripada kuliah. Atau cari keja dengan merantau," ucapnya kepada IDN Times, Sabtu (5/10).

Telah lama Laili ingin menyampaikan pesan-pesan perubahan. Ia ingin mengingatkan pada generasi muda Sampang bahwa pendidikan merupakan hal yang penting. Ia juga ingin "pamit" ke para orangtua untuk membiarkan anak-anaknya mengejar cita-cita hingga ke negeri Tiongkok, seperti dirinya.

"Pendidikan itu senjata terbaik untuk hidup lebih baik. Klise sih, tapi itu yang ingin saya sampaikan," terangnya.

Akhirnya dengan dibantu teman-teman lain yang peduli akan kampung halaman, Laili membangun Sampang Youth Movement atau gerakan pemuda Sampang. Melalui gerakan itu Laili berharap para anak muda dan orangtua Sampang sadar akan pentingnya pendidikann.

Baca Juga: Santi dan Komunitas Kertas Kosong, Jendela Pendidikan di Lamongan

Baca Juga: Laila, Anak Penarik Becak Bergelar Doktor dari ITS

3. Kesetaraan perempuan di segala sektor, termasuk politik

Para Perempuan Millennials Pembawa PerubahanSalah satu sosok Kartini milenial Provinsi Lampung (instagram/@lestyputriii)

Suka tidak suka, harus diakui, politik masih kerap disebut sebagai dunia kaum adam. Namun, kesetaraan perempuan di bidang politik ini juga digaungkan Lesty Putri Utami. Di usia terbilang muda, 29 tahun, dia sudah duduk di kursi DPRD Lampung di Komisi V Bidang Kesejahteraan Rakyat.

Baginya, perjuangan Kartini memberi makna kuat bagi perempuan Indonesia di era modern ini. Ia mencontohkan, peran Kartini memberikan kesetaraan banyak hal, membuka lebar banyak kesempatan untuk berkarya, dan mendorong kepercayaan diri perempuan dalam berkarier.

"Ini tentang perjuangan pahlawan. Kesetaraan dimaksud dalam banyak hal seperti politik, hukum, pendidikan, sosial, dan budaya," ujar Lesty, Selasa (20/4/2021).

Indikator tersebut imbuhnya, melambangkan unsur derajat wanita, tidak boleh berada di bawah pria dan tetap memiliki keutuhan serupa. "Namun ingat, wanita tetap tidak boleh melupakan kodratnya," ucap perempuan kelahiran Tanjung Karang itu. 

Politik bukan hal baru bagi Lesty. Dia merupakan putri sulung mantan Bupati Lampung Barat dua periode, Mukhlis Basri.  Sebagai millennial yang kini berkiprah di dunia politik dan menjabat anggota legislatif, Lesty menuturkan, peran generasi muda sangat dinantikan, guna mendukung kemajuan provinsi berslogan Sai Bumi Ruwa Jurai.

Terkait millennial, ibu tiga anak ini turut menyoroti era digitalisasi. Bagi millennial, menurut dia, digitalisasi seolah kebutuhan utama. "Coba pikirkan mulai dari bangun hingga sebelum tidur, kita selalu bersentuhan dengan digitalisasi. Contoh kecilnya, handphone atau smartphone," kata Lesty.

Perempuan 31 tahun itu mengajak millennial, bersama-sama bergerak memajukan Provinsi Lampung. Menurutnya, sudah selayaknya kaum muda memberikan bukti nyata dan dedikasi terhadap daerah asal, hingga memberikan dampak positif bagi khalayak umum melalui inovasi.

"Intinya, jangan takut untuk berbuat. Lanjutkan hal baik yang bisa dilakukan, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk masyarakat umum," ucapnya.

Baca Juga: Laili, Perempuan yang Berjuang Agar Remaja Sampang Melek Pendidikan

Baca Juga: Lesty Putri, Kartini Millennial Anggota DPRD Lampung Usia Muda

4. Membantu sesama perempuan pun bagian dari perjuangan

Para Perempuan Millennials Pembawa PerubahanLusty Ro Manna Malau sebagai Ketua Perempuan Hari Ini (PHI) Kota Medan (IDN Times/ Indah Permata Sari)

Di Medan, mari berkenalan dengan Lusty Ro Manna Malau. Perempuan kelahiran lahir Huta Balang, Tapanuli Tengah, tahun 1994 ini pernah mengalami pelecehan. 

Dari kasus yang dialami, Lusty memberanikan diri dan berpikir untuk mencari ruang-ruang diskusi yang aman dan mau membimbing serta menuntunnya untuk bersikap lebih baik. Lahirlah Perempuan Hari Ini (PHI). Lembaga PHI memberikan pendampingan hukum dan psikologi bagi perempuan korban pelecehan. 

Awalnya, orangtua mencemaskan aktivitas Lusty. Namun, ia mencoba membuktikan segala hal dengan positif sejak masa perkuliahan.

"Orangtua dari dulu mereka tahu karakter ku sedikit keras kepala, karena dari dulu ketika aku punya pendapat. Aku berusaha untuk pertahankan itu, dan membuktikan sampai titik mana mereka bisa percaya," jelas Lusty yang juga menjabat Ketua PHI itu.

Hingga akhirnya, Lusty berhasil mendapatkan nilai terbaik. Contoh ini menjadi modal baginya kepada orangtua, bahwa anak perempuan mereka baik-baik saja.
 
Saat ini, PHI telah berjalan 4 tahun dengan kasus yang paling dominan di Medan, yakni kekerasan seksual. Selain itu, masalah lain yang mencuat adalah perempuan dan ekonomi. 

Dalam perjalanannya sebagai pendamping korban kekerasan, Lusty juga sempat menemui hambatan dan penolakan. Kritik dan tudingan bahwa Lusty hanya menjadikan isu perempuan sebagai ajang mencari popularitas juga berhembus.

Lambat laun, Lusty berhasil mendapat kepercayaan publik, termasuk kelompok millennial. "Harapanku sebenarnya adalah tokoh millennial terutama kaum perempuan itu perlu sekali membekali diri sebagai literatur. Literatur yang sebanyak-banyaknya, supaya bisa mencari kebenaran dari apa sih akar penindasan perempuan dan stop," jelasnya. 

5. Memanusiakan manusia ala dokter RA Mulya Liansari

Para Perempuan Millennials Pembawa PerubahanDokter spesialis kejiwaan di RSJ Ernaldi Bahar Palembang dr R. A Mulya Liansari (IDN Times/Dokumen)

Kalimat 'belajar memanusiakan manusia' menginspirasi RA Mulya Liansari untuk berbuat lebih. Dia adalah dokter spesialis kejiwaan di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Ernaldi Bahar, Palembang.

Ia bercerita, mengapa dia akhirnya memilih spesialis kejiwaan. Ketika bersama pasien-pasien dengan kelainan jiwa, Mulya merasa kehangatan dan kenyamanan yang menghadirkan rasa sosial serta toleransi.

"Dari dokter umum sudah ditempatkan di sini, sejak saya diterima CPNS. Banyak kesan berada di antara mereka. Terkadang saya merasakan kasihan dan miris," ungkap Mulya.

Walau sering mengalami kesulitan menenangkan pasien gangguan jiwa, Mulya menganggap pekerjaannya adalah ibadah, berkah, dan memuliakan mahluk Tuhan lainnya. Ia sangat memegang teguh tidak ada kata perbedaan dan diskrimnasi terhadap orang-orang yang sakit jiwa.

Dia masih ingat, pasien pertama yang dia tangani di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Kala itu, pasiennya adalah seorang atlet pria jago bela diri yang mengalami perubahan perilaku dan mengidap skizofrenia. Usianya baru 20 tahunan.

"Dia sering gelisah dan beberapa kali dirawat. Sempat putus obat tergantung kondisi, karena memang sering keluar dan masuk. Info terakhir, dia di tinggal di pesantren dan sering mengamuk hingga memukul orang, juga merusak barang," jelas dia.

Mulya mengakui, banyak orang yang heran karena dia memutuskan menjadi dokter kejiwaan. Karena, tak banyak dokter yang mengambil spesialisasi kejiwaan.

Meski demikian, Mulya tetap bangga bisa bermanfaat bagi mereka yang membutuhkan. Apalagi kata dia, pasien gangguan kejiwaan harus didampingi dan berada dalam lingkungan yang hangat. Jika sudah demikian, para pasien tidak merasakan kesepian atau terasingkan.

"Sekarang masih banyak pasien yang bisa sembuh tapi ditolak keluarga dan masyarakat, karena label gangguan jiwa. Mindset ini yang harus diedukasi, pasien pun ingin hidup dan bahagia," ungkap alumni Universitas Sriwijaya dan Universitas Indonesia tersebut.

Tak jarang, kasus bunuh diri sering terjadi. Awalnya bermula dari depresi dan tidak ada yang mengetahui jika korban mengidap gangguan kejiwaan. Padahal bila publik teredukasi soal kejiwaan, tentu ada rasa prihatin terhadap mereka yang dianggap 'sakit' tersebut.

Baca Juga: Cara RA Mulya Liansari Dokter RSJ Palembang Memanusiakan Manusia

6. Perempuan dan lingkungan

Para Perempuan Millennials Pembawa PerubahanRatih Rachmatika, CEO bisnis rintisan (startup) Siaga Air Bersih (SIAB) di bidang sistem manajemen air bersih berbasis internet of things (IoT). (dok. pribadi)

Jika Kartini masa dulu memperjuangkan hak perempuan untuk mencapai pendidikan dan lainnya, maka salah satu tugas Kartini masa sekarang adalah mempertahankannya.

Ratih Rachmatika membuat alat pemantauan kualitas air secara realtime dan online itu hanya sebuah tugas akhir kuliah saat dia belajar di Teknik Elektro Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Namun, kegelisahannya terhadap krisis air bersih mendorong perempuan berusia 24 tahun tersebut kembali mengembangkan SIAB hingga sekarang.

SIAB atau Siaga Air Bersih Indonesia (SIAB) dia rintis sejak 2017, yakni dari teknologi berbentuk prototype hingga dikembangkan menjadi startup hingga sekarang.

‘’Saya terinspirasi oleh permasalahan krisis air bersih akibat banjir Bengawan Solo yang selalu terjadi setiap tahun," kata Ratih kepada IDN Times, Sabtu (24/4/2021). Masyarakat pun terdampak dan sulit mendapatkan air dengan kualitas baik.

Masalah lain yang menjadi kegelisahannya adalah banyak daerah yang juga mengalami krisis air karena akses untuk mendapatkan air masih jauh. Akibatnya, kebutuhan vital ini tidak bisa terpenuhi. "Dari latar belakang itu, saya membuat produk pemantauan kualitas air secara realtime dan online,’’ ungkapnya 

Produk tersebut sudah dirintis sejak tahun 2017, yakni dari teknologi berbentuk prototype hingga dikembangkan menjadi startup pada tahun 2018 dan sampai sekarang. 

Perjalanannya tak selalu mulus. Lika-liku dia hadapi selama  mengembangkan startup produk SIAB Distribusi berupa digital water meter dan SIAB Recycle berupa filter air bersih.

Tantangan pertama adalah pada masalah hard skill dan soft skill. Bungsu dari dua bersaudara itu mengaku belum memiliki ilmu bisnis saat terjun di bidang startup.

‘’Pada saat kuliah di Teknik Elektro saya memang belum punya bayangan menjadi entrepreneur atau membuat startup, namun ketika mendalami IoT dan bertemu dengan masalah air saya jadi semangat untuk membuat teknologi yang bermanfaat bagi banyak orang. Akhirnya, saya berupaya mengembangkan teknologi ini,’’ ujar Ratih.

Perempuan kelahiran Solo, 11 Januari 1997 itu kemudian berusaha belajar bisnis, khususnya startup. Ketika ekosistem startup di daerah tempat tinggalnya belum tumbuh, ia rela bolak-balik Solo-Yogyakarta untuk mengikuti inkubasi bisnis di Universitas Gajah Mada (UGM). Di sana ia belajar ilmu bisnis dan mentoring startup untuk mengembangkan SIAB.

Ikhtiar itu dilakukan karena ia yakin bahwa bisnis rintisan yang digelutinya itu akan membawa dampak sosial yang positif bagi masyarakat, khususnya mereka yang kesulitan mendapatkan air bersih.

Bagi Ratih, masalah air berhubungan dengan hajat hidup orang banyak dan harus dijaga keberlanjutannya kedepannya. Masalah kebutuhan vital tersebut juga cukup kompleks mulai dari distribusi, kualitas, hingga kebijakan pemerintah. Belum lagi, mengenai edukasi kepada warga saat ia menawarkan teknologi tersebut.

Selain dia, Khorik Istiana dari Lampung berbagi cerita mengenai perempuan dan lingkungan. 

Dia berkenalan dengan isu ini di acara Youth Sanitation Camp saat berkuliah di Universitas Lampung (Unila). Selain mengenyam pendidikan, perempuan kelahiran Blora, Jawa Tengah itu 'jatuh hati' terkait lingkungan bidang sanitasi.

 "Sanitasi ini isu yang gak seksi dan gak banyak digeluti anak muda. Tapi karena penasaran aku coba ikut dan ternyata lolos," kata Khorik kepada IDN Times Rabu (21/4/2021).

Usai kegiatan camp tersebut, millennials yang tergabung dalam acara itu membentuk komunitas dengan nama Youth With Sanitation Camp (YSC). Ia kemudian didaulat sebagai Ketua YSC.

Sanitasi, menurut dia, erat kaitannya dengan perempuan. "Jadi kita kampanye tentang menstruasi di sekolah-sekolah kemudian melihat kondisi toilet siswa yang masih jauh dari standar kesetaraan," kata Khorik.

Menurutnya, menstruasi masih sangat dianggap tabu oleh para generasi muda. Mereka bahkan menutup telinga saat dijelaskan tentang menstruasi.

"Kondisi semacam itu yang perlu kita luruskan bahwa menstruasi yang dialami perempuan bukan sesuatu yang tabu," paparnya.

Baca Juga: Kisah Khorik Istiana, Millennial Lampung Pegiat Sanitasi

7. Jangan lelah untuk bermimpi

Para Perempuan Millennials Pembawa PerubahanAidha Ayu Lestari, atlet panahan asal Sulsel. IDN Times/Asrhawi Muin

Pesan terakhir dalam daftar ini datang dari perempuan asal Sulawesi Selatan. Namanya, Aidha Ayu Lestari. Dia mengukir prestasi di luar pekerjaannya sebagai tenaga kesehatan di RSKD Gigi dan Mulut Provinsi Sulawesi Selatan.

 Di usia yang masih sangat muda, sederet prestasi dia ukir dalam cabang olah raga panahan. Menurut Aidha, menjadi atlet panahan sangat menyenangkan karena bisa memiliki banyak teman dari seluruh kalangan.

"Dan kalau berprestasi, alhamdulillah bisa ke mana-mana lihat daerah orang-orang untuk bertanding," kata dia, saat berbincang dengan IDN Times, Jumat (24/4/2021) di Makassar.

Tantangan terbesar yang dirasakan sekarang, yaitu kesulitan membagi waktu antara pekerjaan dan latihan memanah. Namun itu bukan alasan baginya untuk berhenti dari olahraga yang melambungkan namanya.

Aidha pun berbagi tips untuk semua perempuan millennial di mana pun berada. Dia menekankan sikap untuk tidak mudah menyerah. Jika terjatuh, maka bangkit secepat mungkin sampai mimpi itu menjadi nyata.

Aidha mengaku, masih jauh dari apa yang ibu Kartini lakukan. Namun, pola pikir yang selama ini dia pegang adalah perempuan sekarang sudah setara dengan laki-laki. Untuk itu, perempuan harus mandiri.

"Saat ini, saya cuma memiliki kemauan yang besar untuk bangkitkan semangat perempuan. Gunakan kekuatan perempuan secara maksimal," kata dia.

Olahraga panahan telah memberikan sederet prestasi bagi Aidha. Namun rupanya ada cerita menarik di balik deretan prestasi itu. Dia juga sempat diremehkan orang-orang di sekitarnya.

Hal itu terjadi ketika perebutan tiket untuk menuju PON Riau 2012. Aidha yang jarang mengikuti latihan--karena waktu itu bertepatan dengan ujian skripsi di kampus-- dianggap tidak akan mampu mengikuti PON Riau.

Namun berbekal keyakinan yang kuat, dia tetap bersemangat dan yakin bahwa dia sanggup ikut dalam pekan olahraga itu. Alhasil, tiket PON pun berhasil diraihnya.

"Saya bilang dalam hati, saya bakalan jadi orang nomor 1 di panahan Sulsel," kata Aidha.

Saat ini, Aidha juga masih aktif sebagai atlet. Dia kini sedang mempersiapkan diri menuju PON XX di Papua. "Untuk PON XX, cuma saya sendiri yang lolos ke Papua," katanya.

"Jangan lelah untuk bermimpi."

Baca Juga: Jalan Panjang Aidha Ayu Lestari Jadi Atlet Panahan Terbaik di Sulsel

Baca Juga: Sosok Ratih Rachmatika, Kartini Millennial Solo SIAB Atasi Krisis Air

Ini merupakan tulisan kolaborasi IDN Times Hyperlocal, dengan penulis:
Anggun Puspitoningrum, Fitria Madia,  Fatmawati, Silviana, 
Tama Wiguna, Feny Maulia Agustin, Indah Permatasari, Fitria Madia, Maya Aulia Aprilianti, Ashrawi Muin

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya