Ramai-ramai Anggota Dewan Gadaikan SK, Demokrasi Kelewat Mahal?

Ongkos politik kian meroket. Caleg baru berani modal gede

"Tahun ini lebih berat,” kata salah seorang calon legislatif (caleg) petahana asal Magetan, Jawa Timur. Caleg yang tak mau disebutkan namanya itu mengeluhkan biaya yang harus dia keluarkan saat kampanye Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024. 

Mengapa berat? “Karena banyak caleg baru yang berani bertaruh dengan amplop lebih besar," kata dia, pertengahan September lalu.

Ongkos politik kian meroket. Pada Pileg 2019, dia sudah harus merogoh kocek hingga Rp1,5 miliar agar bisa duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Magetan. Tahun ini, dia mengaku telah menghabiskan Rp2 miliar atau naik Rp500 juta. 

Sementara caleg pendatang baru, kata dia, bahkan berani mengeluarkan uang antara Rp4 hingga Rp5 miliar. Hal itu membuat banyak petahana kehilangan kursi karena tidak mampu bersaing. 

"Biaya politik sekarang sangat mahal, terutama karena amplop, biaya konsolidasi, dan pengadaan APK (alat peraga kampanye),” tambahnya.

Setelah terpilih sebagai anggota DPRD, dia pun menggadaikan surat keputusan (SK) pengangkatannya. SK pengangkatan disekolahkan, dia bisa mendapat dana segar sebesar Rp500 juta.

Dia tak sendiri. Ada 22 dari 45 anggota dewan DPRD Magetan yang juga menempuh jalan ini untuk mendapatkan dana tambahan setelah pesta demokrasi usai. 

Fenomena gadai SK pengangkatan sebagai anggota DPRD ini, rupanya menjadi hal wajar dan juga terjadi di sejumlah daerah lainnya. Berikut tulisan kolaborasi Hyperlocal IDN Times soal fenomena “wajar” gadai SK ini di sejumlah daerah.

Baca Juga: Politik Uang sampai Gadai SK, Cerita Dapur Wakil Rakyat 

Baca Juga: Anggota DPRD Magetan Ramai-ramai Gadaikan SK ke Bank

1. Gadai SK pengangkatan anggota dewan di sejumlah daerah

Ramai-ramai Anggota Dewan Gadaikan SK, Demokrasi Kelewat Mahal?Pelantikan anggota DPRD Kota Serang (IDN Times/Khaerul Anwar)

Fenomena menggadaikan SK pengangkatan itu bermunculan setelah hingar-bingar pesta demokrasi usai. Tak hanya Magetan, fenomena serupa juga terjadi di DPRD tingkat provinsi hingga kota dan kabupaten lainnya.

Di Kota Serang, misalnya, sedikitnya ada 10 anggota DPRD menggadaikan SK pengangkatan ke bank untuk mendapatkan pinjaman uang. Padahal, mereka baru saja dilantik sebagai wakil rakyat.

Ketua DPRD Kota Serang sementara, Muji Rohman menilai praktik penggadaian SK itu dinilai wajar, sebab usai pelantikan mereka membutuhkan dana operasional untuk modal awal turun ke masyarakat.

"Karena itu merupakan kebutuhan yang tidak menyalahi peraturan perundang-undangan, karena mereka juga tidak akan berani kalau ada aturan yang tidak memperbolehkan.Tapi yang jelas penggadaian itu tidak jauh seperti PNS lah," katanya.

Fenomena serupa juga ada di DPRD Lampung. Salah satu anggota DPRD bernama Mikdar Ilyas tak menampik dan mengamini dia telah menggadaikan SK pelantikannya periode masa jabatan 2024-2029. Praktik serupa bahkan telah dilakoni sejak periode sebelumnya.

Meski demikian, politisi Partai Gerindra terpilih dari daerah pemilihan (Dapil) 5 meliputi Lampung Utara dan Way Kanan ini enggan menyebutkan besaran nominal pinjaman dana diajukannya ke pihak perbankan tersebut.

"Kalau besaran itu rahasia lah, yang jelas itu (pinjaman dana) disesuaikan sama kebutuhan saja," ujar anggota DPRD Provinsi Lampung tiga periode tersebut.

Mikdar tak menampik peminjaman dana tersebut, salah satunya, demi menutup biaya pencalonan hingga kampanye semasa Pileg 2024. Selain itu, kata dia, dana dia gunakan untuk investasi demi menambah pendapatan di luar tugasnya sebagai anggota DPRD.

"Jadi itu kan tidak melanggar ketentuan yang ada, juga insya Allah tidak mengganggu kinerja kami nantinya," sambung dia.

Di Tulungagung, sedikitnya ada 20 anggota DPRD juga ramai-ramai menggadaikan SK, sebulan setelah pelantikan. Menurut Sekwan DPRD Kabupaten Tulungagung, Sudarmaji, para mereka meminjam uang sekitar Rp500 juta hingga Rp700 juta. 

Sementara itu, Sekretaris DPRD Bali, I Gede Indra Dewa Putra mengungkap, gadai SK itu terjadi hampir setiap tahun. Pada tahun ini, kata dia, tidak lebih dari setengah anggota DPRD Provinsi Bali yang menggadaikan SK.

“Gini, kalau pinjam itu kan ada keperluan. Logikanya gitu kan? Saya juga punya utang di bank. Kan gitu. Saya kira wajar aja kalau ada keperluan pinjam, kemudian nyicil. Kan gitu. Kebanyakan untuk usaha kok,” ungkapnya, Sabtu (14/9/2024).

Hal serupa juga terjadi di Kalimantan Selatan (Kalsel). Sekretaris Dewan (Sekwan) DPRD Kota Banjarmasin, Iwan Ristianto mengungkap, ada 5 anggota dewan yang menggadaikan SK. 

“Ya ada memang yang menggadaikan SK ke pihak bank, tapi tak banyak sekitar 5 orang lah. Itu hak mereka," kata dia.

Baca Juga: Anggota DPRD di Bali Gadaikan SK Dinilai Wajar

Baca Juga: Gadai SK Jurus Sakti Anggota DPRD Lampung Lawan Ongkos Politik Mahal

Alur gadai SK pengangkatan DPRD

Ramai-ramai Anggota Dewan Gadaikan SK, Demokrasi Kelewat Mahal?Infografis jumlah Dapil dan Kursi DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten Kota di Pemilu 2024 (IDN Times/M Shakti)

Baca Juga: Tren Gadai SK usai Dilantik, DPRD Makassar: Boleh Saja

Sekretaris DPRD Kota Serang Ahmad Nuri menerangkan, setiap anggota dewan yang mengajukan pinjaman sebelumnya harus menyampaikan surat pemberitahuan ke sekretariat. Sebab, gaji anggota dewan yang memiliki pinjaman ke bank otomatis dipotong setiap bulannya untuk membayar cicilan.

Nuri menyampaikan, dalam aturan tidak ada larangan setiap anggota dewan mengajukan pinjamam dengan jaminan SK.

"Saya sebagai Sekretaris DPRD ketika ada pengajuan yang dibutuhkan oleh anggota dewan masa saya tolak, karena mungkin mereka juga melihat rasionalitas kebutuhan," katanya.

Sementara Mathur Husyairi yang pernah menjadi anggota DPRD Jatim periode 2019 - 2024, mengamini bahwa proses gadai SK itu difasilitasi oleh sekretariat DPRD. Bahkan proses mencicil pinjaman pun dilakukan oleh bendahara DPRD, melalui potong gaji. 

"SK kami gak pegang langsung, ada di Sekwan, nanti mereka yang memfasilitasi, SK ada di sana (Sekwan) nanti potong gajinya di Bendahara langsung, sistemnya bukan kami yang mencicil, tapi bendahara yang memotong ditransfer ke Bank Jatim," kata dia. 

Sejumlah bank milik pemerintah daerah dan bank milik negara, termasuk Bank Mandiri, menerima gadai SK ini.

Sementara itu, Kepala Bagian Humas dan Protokol DPRD Kota Makassar Makassar, Syahril menilai, SK pengangkatan memang "laku" dan bisa menjadi jaminan pinjaman ke bank. 

"Boleh mereka menggadaikan SK selama bank mau mengeluarkan uang. Saya rasa bank pasti akan menerima SK itu karena ini SK berkekuatan hukum. Kedua, mereka punya slip gaji," kata Syahril.

Dia juga menyebut, prosedur peminjaman ke bank dengan jaminan SK pengangkatan anggota dewan bisa juga menyontoh dan berkaca pada pengajuan kredit bank oleh pegawai negeri sipil. Biasanya, kata dia, mereka hanya mendaftar di bank yang bersangkutan.

"Sekarang itu cuma digital, diprint SK, ada kopiannya, aslinya dikembalikan tapi sudah berkoordinasi dengan bendahara. Jadi ketika penerimaan gaji, uangnya sudah terpotong di bank itu sendiri," kata Syahril.

Baca Juga: Fenomena Anggota DPRD Gadai SK, Ongkos Politik Capai Rp5 Miliar

3. Mengapa anggota DPRD menggadaikan SK?

Ramai-ramai Anggota Dewan Gadaikan SK, Demokrasi Kelewat Mahal?Ilustrasi gadai SK pengangkatan anggota DPRD (IDN Times/M Shakti)

Pengamat Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, Ihsan Hamid menganalisis, ada tiga penyebab anggota DPRD menggadaikan SK setelah dilantik. Pertama, karena faktor biaya politik yang tinggi sehingga mereka bisa jadi masih punya utang yang harus segera dilunasi.

Kedua, karena faktor gengsi. Jabatan anggota DPRD punya prestise tinggi maka harus ditopang oleh gaya hidup. Bisa jadi, kata dia, uang yang dipinjam ke bank dengan menggadai SK digunakan untuk beli mobil baru dan rumah. "Artinya, uang yang dipinjam ke bank dengan menggadai SK untuk membeli gaya hidup," kata dia.

Ketiga, anggota DPRD yang menggadaikan SK ke bank, bisa jadi karena harus membayar janji politik ke konstituen. Apa yang dijanjikan ke konstituen harus segera ditunaikan sehingga mereka membutuhkan dana segar.

"Dengan demikian, saya melihat fenomena-fenomena anggota dewan gadai SK usai dilantik menjadi fenomena wajar. Karena perbankan juga dengan senang hati memberikan pinjaman ke mereka," kata Sekretaris Pusat Studi dan Kajian Publik (Pusdek) UIN Mataram itu.

Baca Juga: Fenomena Anggota DPRD Gadai SK, Biaya Politik Tembus Rp1,5 Miliar

Baca Juga: Sekwan Sebut Beberapa Anggota Dewan Banjarmasin Gadai SK ke Bank

4. Mahalnya biaya politik caleg di level DPRD

Ramai-ramai Anggota Dewan Gadaikan SK, Demokrasi Kelewat Mahal?Acara pelantikan anggota DPRD periode 2024-2029. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Sekretaris Dewan (Sekwan) Kabupaten Magetan, Endang Ambarwati juga mengamini adanya fenomena tersebut. Menurutnya, gadai SK oleh anggota dewan selalu terjadi setiap periode usai pemilu.

"Kampanye itu mungkin mahal ya, dan setelah dilantik, mereka memerlukan modal untuk mengembalikan pinjaman atau butuh anggaran untuk memulai tugas di lapangan," ujar Endang, Rabu (10/09/2024).

Seperti diungkap caleg Magetan petahana yang tak mau disebutkan namanya, biaya politik yang tinggi ini tak lepas dari kecenderungan masyarakat yang masih terjebak dalam politik transaksional. Menurut sang caleg, masyarakat lebih memilih kandidat yang menawarkan uang lebih banyak ketimbang memperhatikan kualitas atau fungsi dewan sebagai wakil rakyat.

"Siapa yang memberikan amplop lebih besar, dia yang dipilih. Fungsi dewan diabaikan, politik transaksional menentukan segalanya,” kata dia.

Sementara itu, anggota DPRD Jawa Timur periode 2019 - 2024, Mathur Husyairi blak-blakan. Saat dia menjadi wakil rakyat di periode itu, dia pernah "menyekolahkan" SK pengangkatannya ke bank.

"Iya pernah (gadai SK), saya ngambil Rp1 miliar waktu itu," kata Mathur kepada IDN Times.

Dana itu memang tidak dia gunakan untuk kampanye, karena saat itu dia hanya merogoh kocek tak sampai Rp1 miliar untuk gol dan lolos ke DPRD Jatim.

Namun, dana kampanye itu meroket kala dia mencoba kembali di Pileg 2024. Mathur harus mengeluarkan biaya kampanye Rp3 miliar untuk daerah pemilihan (Dapil) Madura. Sayangnya, di periode kedua tersebut dirinya kalah.

"Saya di periode kedua, Rp3 miliar. Kalau untuk dapil Madura ini paket hemat, biaya kampanye Dapil Madura bisa sampai Rp5 miliar," jelasnya. 

Dia menilai, dengan ongkos kampanye yang mahal itu, menggadaikan SK pengangkatan merupakan hal wajar dan biasa. Anggota dewan, kata dia, bisa mendapatkan dana pinjaman hingga Rp2,5 miliar dengan gadai SK tersebut. 

"Ya gak jauh-jauh dari biaya kampanye, biaya konsolidasi, ketemu orang itu kan gak mungkin kita undang gratis. Itu kan semua berbiaya, saya pikir ya ketika mereka dapat SK mengajukan pinjaman itu pasti dilayani oleh Bank Jatim jadi hal yang biasa," terang Mathur. 

Sementara Mikdar Ilyas, Anggota DPRD Provinsi Lampung 2024-2029 dari Fraksi Gerindra menjelaskan, pertarungan perebutan kursi DPRD Provinsi Lampung minimal mampu mengantongi sekitar 20 ribu-30 ribu suara pemilih. Demi memuluskan pencalonannya dibutuhkan tim sukses (timses) dan pertemuan-pertemuan dalam rangka sosialisasi.

Seiring kebutuhan minimal suara tersebut, dia memiliki strategi sekurang-kurangnya menyentuh sekaligus melakukan pendekatan kepada sekitar 50 ribuan pemilih.

"Tentunya ini perlu biaya, biaya apa? Ya mungkin oleh-oleh sesuai apa yang dibenarkan undang-undang. Kemudian bensin, rokok timses inilah salah satu biaya harus dikeluarkan para caleg," ujarnya.

Dengan cara-cara tersebut, besaran biaya dibutuhkan disebut relatif tergantung dengan masing-masing upaya pendekatan yang dilakukan setiap caleg dan timsesnya. "Ada yang kondisi di bawah Rp1 miliar cukup, ada kondisi mungkin di atas Rp1 miliar sampai Rp2 miliar dan bisa lebih. Tapi dipastikan, kami harus keluar biaya untuk nyalon itu, besar kecilnya relatif," tambah dia.

5. Biaya politik tinggi berkelindan dengan praktik koruptif, pengamat: bikin resah

Baca Juga: Anggota Legislatif Ramai Gadai SK, Ketua Sementara DPRD Bandung: Itu Hal Lumrah 

Ramai-ramai Anggota Dewan Gadaikan SK, Demokrasi Kelewat Mahal?foto hanya ilustrasi (IDN Times/Aditya Pratama)

Anggota DPRD Provinsi Lampung, Budiman AS membandingkan pelaksanaan kontestasi pileg 5 tahun lalu, dengan gelaran Pemilu Februari 2024. "Politik uang itu bermain secara masif, tentu teman-teman anggota dewan lainnya juga merasakan itu. Jadi cost politic lah namanya," lanjut dia.

Budiman menilai, praktik-praktik politik uang dalam kontestasi pileg tahun ini disebut amat "brutal". Bahkan upaya ilegal tersebut cenderung merajalela tanpa bisa dikendalikan.

"Jadikan mungkin ya itulah penyebabnya juga (mengajukan pinjaman dana), tapi lebih baik begitu dibandingkan, misalnya lain-lain contohnya pinjol yang tidak jelas. Inikan transparan, juga aturan mekanismenya ada," imbuh Ketua DPC Demokrat Kota Bandar Lampung tersebut.

Tingginya biaya politik tak hanya meresahkan, tetapi juga memperlihatkan betapa budaya korupsi masih mengakar.  Direktur LSM Magetan Center Coruption Watch sekaligus pengamat politik, Beni Ardi mengungkapkan, kekhawatirannya bahwa beban finansial ini akan mengganggu kinerja para wakil rakyat. 

"Mereka akan fokus mencari cara untuk mengembalikan modal politik, ketimbang menjalankan tugas sebagai wakil rakyat,” katanya.

Menurut Beni, hasil survei Indeks Persepsi Anti-Korupsi (IPAK) menunjukkan penurunan signifikan, dengan masyarakat semakin permisif terhadap tindakan koruptif.

"Masyarakat mulai menerima anggota keluarga yang mendulang uang tanpa asal-usul jelas, bahkan melibatkan keluarga dalam politik demi keuntungan pribadi," jelas Beni.

Beni menambahkan bahwa di berbagai komunitas, korupsi semakin dianggap biasa. Masyarakat menerima sumbangan tanpa mempertanyakan asal-usulnya, dan praktek bagi-bagi uang dalam pemilu pun diterima tanpa rasa bersalah.

Beni menengarai bahwa akar masalahnya adalah kurangnya edukasi politik. Partai politik hanya berfokus pada perolehan suara, tanpa menanamkan nilai-nilai antikorupsi kepada masyarakat.

"Pendidikan antikorupsi harus digalakkan untuk melawan budaya korupsi," tegasnya.

Terakhir, melawan budaya korupsi memang tidak mudah, namun dengan tekad kolektif dan kolaborasi antara lembaga, komunitas, dan keluarga, masyarakat dapat terbebas dari jerat korupsi dan membangun masa depan yang lebih cerah.

Mathur Husyairi menilai, fenomena gadai SK ini terjadi lantaran biaya politik yang mahal. Menurutnya, sistem yang ada saat ini perlu diubah, utamanya sistem yang ada dalam pileg.

"Biaya politik ketika mencalonkan menjadi anggota DPR dan kepala daerah ini cost-nya luar biasa. Demokrasi yang kita jalankan, bukan demokrasi partisipatif. Jadi demokrasinya faktor X, itu ya uang," ungkap mantan anggota dewan yang kini maju sebagai bakal calon (bacalon) Bupati Bangkalan itu.

Dia juga menilai, selama mindset masyarakat tidak berubah dan sistem perpolitikan tidak berbenah, maka caleg akan selalu mencari cari untuk mencari uang agar bisa membiayai kampanye dan lain sebagainya. 

Mathur pun berharap fenomena ini harus menjadi kajian atau pemikiran bersama elemen bangsa, mulai dari pemerintah, partai politik hingga masyarakat. "Karena sistem kita masih seperti itu, pertarungannya terbuka dan masyarakat terlalu pragmatif, meski tidak semuanya," katanya.

Dari fenomena ini, Mathur mengusulkan agar sistem pileg dikembalikan secara tertutup saja. Artinya, proses pemilihan caleg dikembalikan ke partai politik.

"Kalau saya pribadi lebih suka ini dikembalikan ke partai politik, kembali ke nomor urut dan ini kemudian pertarungannya wakil dari partai politik saja," tegasnya.

Baca Juga: Usai Dilantik, Anggota DPRD Kota Serang Gadaikan SK ke Bank

6. Pileg tertutup jadi solusi tekan biaya kampanye?

Ramai-ramai Anggota Dewan Gadaikan SK, Demokrasi Kelewat Mahal?Ilustrasi. Sejumlah Alat Peraga Kampaye (APK) milik dipaku di pohon. (ANTARA FOTO/Rahmad)

Sementara itu, pengamat politik dan akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatra Utara (USU), Fernanda Putra Adela menggarisbawahi tren vote buying atau pembelian suara di balik gadai SK anggota dewan usai pemilu. 

Dia menilai, vote buying kini menjadi sebuah fenomena yang umum dan masif. Gadai SK itu membuktikan bahwa kampanye dengan model pembelian suara bakal memperberat amunisi atau sumber daya ekonomi para caleg. Pasalnya, tren vote buying itu membuat setiap caleg harus mengantongi uang yang tak sedikit.

"Bayangkan (uang) yang diberikan kepada masyarakat di dalam kontestasi yang itu menjadi suatu yang masif, Rp50 ribu per kepala. Kalikan saja misalnya jumlah yang dia sebar untuk memenangkan dia sebagai caleg," kata pria yang baru lulus doktor di Universitas Indonesia ini.

Taksiran Fernanda, caleg yang bertarung di tingkat kota, bisa menghabiskan Rp1 miliar hingga Rp1,5 miliar. "Kalau tingkat DPD yang lebih banyak mungkin bisa sampai di Rp3 miliar hingga Rp5 miliar," jelas Fernanda.

Meski demikian, dia mengatakan, tak semua caleg menempuh cara seperti ini. Untuk calon-calon yang memiliki basis pendukung kuat, mengakar di masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh agama, mungkin membutuhkan dana yang lebih sedikit. "Mungkin kisarannya di bawah Rp1 miliar," tambahnya.

Lantas apa solusinya? 

Agar demokrasi tak mahal, dia menilai, harus ada kesepakatan bersama secara tidak tertulis atau kesadaran bersama bagaimana menegakkan demokrasi itu dengan cara yang berwibawa, misalnya adu gagasan kepada masyarakat. Para caleg harus berlomba-lomba untuk menarik simpatik masyarakat dengan program yang sudah dibangun dari jauh hari.

"Jangan dengan kekuatan finansial, tapi hal seperti itu pasti akan sangat sulit untuk terjadi," kata dia. 

Senada dengan usulan Mathur Husyairi, Fernanda juga menilai, pileg dengan sistem tertutup pun bisa menjadi solusi lainnya agar biaya politik saat pemilu itu tidak menguras kantong.

Para caleg pun tidak perlu berkampanye dan cukup partai politik saja yang membangun program dan menawarkannya kepada pemilih. "Tapi pertanyakan kembali apakah masyarakat mau?" ujarnya. 

Pemilihan caleg dengan sistem tertutup ini memang akan berdampak luas dan sejumlah pihak akan terdampak. Misalnya, perusahaan konveksi turun omzet karena tidak ada lagi pengadaan kaos dengan nama si kandidat. 

Sementara itu, Wakil Ketua DPW Partai Perindo Nusa Tenggara Barat (NTB), M Samsul Qomar mengakui biaya politik saat yang dikeluarkan para caleg memang sangat mahal. Untuk caleg DPRD kabupaten/kota saja, mereka harus menyiapkan dana kampanye sekitar Rp1 miliar sampai Rp1,5 miliar.

"Tentu modal besar itu, dan harus kembali modal kalau mereka dapat nanti (menjadi anggota dewan)," tutur Qomar saat berbincang dengan IDN Times, Sabtu (14/9/2024).

Menurut Qomar, fenomena anggota dewan menggadai SK bukan kesalahan pemilih saja. Tetapi juga kesalahan caleg yang mungkin menyogok pemilih agar mereka dipilih sebagai wakil rakyat pada saat Pileg.

Selain untuk membayar utang yang digunakan pada saat nyaleg, juga adanya kebutuhan alat transportasi untuk membeli mobil mewah. Karena adanya prestise sebagai anggota DPRD.

"Biasanya tahun pertama, kantor DPRD itu seperti showroom mobil mahal terparkir. Tapi tahun kedua dan seterusnya sudah berganti merk malah ada yang pakai sepeda motor karena ekspektasinya terlalu tinggi," kata mantan Anggota DPRD Lombok Tengah ini.

Qomar menjelaskan anggota DPRD terpilih tidak menjamin akan menjadi wakil rakyat selama lima tahun karena tergantung juga partai politik. Partai politik bisa saja melakukan pergantian antar-waktu (PAW) kadernya yang duduk di kursi dewan.

"Politik ini kan sesuatu yang bisa dibilang, tidak jelas. Kalau partai mau ganti, ya diganti. Jadi kalau mau aman gadai SK sampai 4,5 tahun, kan ada asuransinya," tuturnya.

Untuk menekan mahalnya biaya politik, Qomar menyarankan sebaiknya pemilihan anggota legislatif menggunakan sistem tertutup. Sehingga kompetisi dalam Pileg cukup antarpartai politik, bukan antar-caleg dalam satu parpol.

"Apalagi saat ini, sistem di parpol sudah kebanyakan main tunjuk tanpa ada proses musyawarah cabang lagi," terangnya.

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya