Ponpes Darut Tasbih, Perjuangan Syiar Islam Lewat Rehabilitasi Mental

Penyandang ODGJ berasal dari berbagai latar belakang

Kabupaten Tangerang, IDN Times - Pondok Pesantren Darut Tasbih yang terletak di Desa Gelam Jaya, Kecamatan Pasar Kemis, Kabupaten Tangerang memang nampak sama seperti pondok pesantren pada umumnya. Terdapat gedung sekolah, masjid, dan kamar asrama yang ada di kawasan seluas 1,5 hektare ini. 

Namun, ponpes ini memiliki program berbeda, yakni rehabilitasi mental orang-orang yang memiliki masalah gangguan kejiwaan. 

KH Rafiudin sang pemilik ponpes ini mengaku, telah melakukan rehabilitasi mental bagi penyandang orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) sejak tahun 1986.  "Dulu belum ada gedung pesantren seperti ini, masih berbentuk rumah biasa," kata KH Rafiudin saat ditemui IDN Times, Rabu (6/10/2021). 

Baca Juga: Siswa SMP Kota Tangerang yang Terpapar COVID-19 Terus Bertambah 

1. Pondok pesantren lahir berawal dari rasa iba terhadap ODGJ yang terlantar di jalanan

Ponpes Darut Tasbih, Perjuangan Syiar Islam Lewat Rehabilitasi MentalIDN Times/Maya Aulia Aprilianti

Rafiudin mengungkapkan, program rehabilitasi mental berawal dari rasa ibanya terhadap para ODGJ yang terlantar di jalanan sekitar kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Pada tahun 1986, ia kerap kali ikut pengajian ke berbagai wilayah sehingga sering menemukan ODGJ di jalanan. 

"Ada yang masuk ke got, tidur di jalanan, yang kondisinya bikin saya sedih, jadi saya berinisiatif untuk bawa mereka pulang dengan mobil boks," jelasnya. 

2. Metode penyembuhan dengan pengenalan agama Islam

Ponpes Darut Tasbih, Perjuangan Syiar Islam Lewat Rehabilitasi MentalIDN Times/Maya Aulia Aprilianti

Saat itu, dia menangani para ODGJ tersebut sendirian. Dia mengajak mereka untuk ikut salat, berdzikir, belajar membaca Alquran, dan sebagainya. Hal tersebut pun sukses membuat para ODGJ tersebut sembuh dari gangguan mentalnya. 

"Awalnya saya mandiin dulu mereka, sampai bersih, saya gantiin bajunya yang kotor, lalu saya ajak salat dan berdzikir, mengenal Allah. Alhamdulillah mereka perlahan sadar," tuturnya. 

Tak hanya itu, program rehabilitasi mental tersebut juga melibatkan keluarga penyandang. Rafiudin juga memberi amalan, bacaan, dzikir yang harus dibaca, dan sebagainya. 

"Bahkan sampai ke RT nya juga harus ikut melakukan amalan tersebut, supaya mempercepat penyembuhan, makanya ini saya sebut syiar agama juga karena mengajak berdzikir kepada Allah ke banyak orang," ungkapnya.

3. Lama penyembuhan bervariasi

Ponpes Darut Tasbih, Perjuangan Syiar Islam Lewat Rehabilitasi MentalIDN Times/Maya Aulia Aprilianti

Proses penyembuhan para pasien tidak bisa disamakan satu dengan yang lainnya. Pasalnya kondisi para pasien berbeda-beda, bahkan penyebabnya pun berbeda sehingga lama penyembuhan juga tidak bisa dipastikan. 

"Ada yang seminggu sudah sembuh, ada juga yang 20 hari belum sembuh, ada juga yang tahunan, karena tergantung dengan kondisinya juga," jelasnya. 

Namun, ia menganggap para penyandang juga ingin hidup seperti orang normal biasanya, sehingga saat proses penyembuhan dilakukan treatment seperti saudara sendiri. 

"Saya anggap mereka adik kakak saya, sehingga saya anggap mereka orang normal, diajak ngobrol dan berbicara juga berkegiatan seperti orang normal, tapi kalau yang benar-benar tidak bisa diajak berkomunikasi kita berikan penjagaan khusus," terang Rafiudin.

4. Penyandang yang sudah membaik ditempatkan di kamar yang berbeda

Ponpes Darut Tasbih, Perjuangan Syiar Islam Lewat Rehabilitasi MentalIDN Times/Maya Aulia Aprilianti

Saat IDN Times mengunjungi kamar para penyandang, terlihat sekitar 19 orang yang ada di dalam. Terdapat fasilitas kamar tidur, kamar mandi, ruang terbuka. 

Terlihat, mereka merespons ketika diajak berbicara namun masih belum berbicara dengan benar. Namun, mereka memiliki penyebab gangguan mental yang berbeda. 

Salah satunya bernama Akbar. Dia dahulunya merupakan pecandu narkotika parah hingga mengalami gangguan mental. Ia dibawa oleh keluarganya ke ponpes Darut Tasbih untuk dilakukan penyembuhan. 

"Tapi karena memang sudah terlalu parah, jadi sudah hampir 10 tahun disini, dulu benar-benar tidak bisa diajak berkomunikasi, sekarang sudah bisa," jelas salah satu petugas jaga, Hasbi. 

Lain lagi dengan Apri. Dia merupakan seorang mahasiswa di salah satu universitas seni terkemuka di Jakarta. Sayangnya, entah apa yang dialami hingga saat tengah menjalani skripsi ia terkena gangguan mental berat.

Apri tidak berbaur dengan orang penyandang lainnya dan hanya duduk di pojokan. Hobi Apri adalah menggambar dan menulis di tembok asrama. 

"Dulu pas dibawa ke sini, dia ngamuk banget, gak bisa sama sekali diajak komunikasi. Sampai sekarang juga masih belum stabil, tapi sudah mendingan, dia suka gambar Naruto di tembok," kata Hasbi. 

Sementara, untuk penyandang yang sudah membaik dan mampu diajak berkomunikasi dan berkegiatan tidak lagi ditempatkan satu ruang dengan yang lain. 

"Kalau yang sudah bisa komunikasi kita ajak ikut ngaji sama santri yang lain, jadi udah engga dikunci kamarnya karena udah engga suka ngamuk," jelasnya. 

5. Rehabilitasi mental gratis untuk penyandang yang tidak mampu

Ponpes Darut Tasbih, Perjuangan Syiar Islam Lewat Rehabilitasi MentalIDN Times/Maya Aulia Aprilianti

Untuk biaya rehabilitasi mental ini, lanjut KH. Rafiudin, dia mematok biaya untuk keluarga penyandang yang mampu Rp50.000 - Rp100.000 per harinya. Namun, untuk yang tidak mampu, tidak dikenakan biaya sama sekali. 

"Jadi istilahnya subsidi silang, jadi yang mampu ikut membantu membiayai yang tidak mampu," katanya. 

6. Penerimaan pasien dibatasi selama pandemik COVID-19

Ponpes Darut Tasbih, Perjuangan Syiar Islam Lewat Rehabilitasi MentalIDN Times/Maya Aulia Aprilianti

Dahulu, ia menerima penyandang ODGJ sekitar 50 - 70 orang. Namun, lantaran pandemik COVID-19, ia membatasi hanya sekitar 20 - 30 penyandang saja. 

"Jadi memang siapa yang datang lebih dulu aja yang kita terima, kalau sudah 30 orang, kita tidak bisa terima karena untuk keamanan dan kenyamanan juga ya," ujarnya. 

Ia pun berharap, apa yang ia lakukan sejak tahun 1986 ini bisa terus ia lakukan lantaran perjuangan awal hingga pondok pesantren berdiri lantaran adanya program rehabilitasi mental tersebut. 

"Meski sekarang sudah ada program pendidikan untuk anak-anak mulai PAUD, TK, SD, SMP, dan SMA, namun program rehabilitasi mental tetap akan kita pertahankan karena perjuangannya berawal dari situ," kata dia. 

Baca Juga: PMI Kota Tangerang Hentikan Donor Plasma Konvalesen

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya