Cerita dari Pantai Selatan Banten: Mengambil Tuah dari Bayi Lobster 

Benur jadi komoditas unggul nelayan di Binuangen Lebak

Lebak, IDN Times - Waktu belum genap pukul empat pagi, saat belasan nelayan penangkap bayi lobster atau disebut benur, sudah berkumpul di geladak dan buritan sebuah perahu kecil di sebuah dermaga kecil di pesisir selatan Banten. Disebut kecil karena hanya memiliki panjang hampir 15 meter dan lebar tiga sampai empat meter.

Para nelayan diiringi kepulan asap rokok yang keluar dari mulutnya sudah saling menunggu satu sama lain, berikut nahkoda kapal merangkap kapten. Mereka sudah menunggu sedari pukul setengah dua dini hari untuk melaut mengambil hasil tangkapan.

Gaduh percakapan nelayan berbahasa Sunda di perahu bernama KM Barokah itu hilang berganti deru mesin kapal, riuh ombak menghantam haluan perahu, lamunan belasan nelayan yang sudah tak lagi saling bercakap disaksikan bulan yang nyaris purnama kala itu dan temaram kerlip lampu-lampu di tengah lautan.

Perahu kecil bersama belasan nelayan itu mulai meninggalkan pesisir semenanjung Binuangen di wilayah Desa Muara, Kecamatan Wanasalam, Lebak, Banten, yang kebetulan saat itu ombak Samudera Hindia tak sedang ganas menuju ke tempat penangkapan benur di perairan selatan Pulau Jawa bernama Bangkrak.

Cerita dari Pantai Selatan Banten: Mengambil Tuah dari Bayi Lobster Nelayan penangkap benur (IDN Times/Athif Aiman dan Aldila Muharma)

1. Bangkrak sebagai tempat menangkap benur

Cerita dari Pantai Selatan Banten: Mengambil Tuah dari Bayi Lobster Bangkrak penangkap benur (IDN Times/Athif Aiman dan Aldila Muharma)

Bangkrak merupakan sebuah kontruksi bangunan menyerupai perahu rakit bambu yang mengapung, dan bisa bergeser tempat namun diberi dua jangkar untuk menahan posisinya di tengah laut agar tidak bergeser terlalu jauh.

Bentuk bangkrak sendiri variatif. Namun yang pasti, kontruksi bangunan utama bangkrak terdiri dari tiga bagian. Yaitu bambu, tali temali, rumpon sebagai alat penangkap bayi lobster, dan sebuah drum besar.

Bagian pendukung dari sistem penangkap benur tradisional itu yaitu lampu, dan genset bertenaga bahan bakar minyak sebagai sumber energi pada lampu-lampu itu. Tak hanya bentuknya yang variatif, harga pembuatan hingga siap digunakan beserta kelengkapannya pun dipatok mulai dari Rp3 hingga Rp30 juta, tergantung ukurannya.

Lazimnya di wilayah pantai selatan Banten, Bangkrak berada minimal satu hingga 10 kilometer dari bibir pantai. Sebabnya, benur hanya bisa ditemukan di perairan laut berpasir dengan kedalaman 15 hingga 20 meter.

Cerita dari Pantai Selatan Banten: Mengambil Tuah dari Bayi Lobster Bangkrak penangkap benur (IDN Times/Athif Aiman dan Aldila Muharma)

Baca Juga: Pasca OTT Menteri KKP, Harga Benih Lobster Bayah Lebak Anjlok

2. Rumpon dan cahaya lampu menarik perhatian benur

Cerita dari Pantai Selatan Banten: Mengambil Tuah dari Bayi Lobster Benur (IDN Times/Athif Aiman dan Aldila Muharma)

Abung (40), seorang nelayan penangkap benur berkutat dengan rutinitasnya setiap hari di dalam sebuah bangkrak setelah melakukan perjalanan dari dermaga sekitar satu jam. Hari masih sangat gelap kala itu, sekitar pukul 4.28 WIB.

Abung menyebut prosedurnya sama setiap hari; memeriksa keadaan Bangkrak, melihat genset, dan menyiapkan alas untuk memeriksa rumpon yang dibenamkan belasan meter dalamnya dari sore kemarin untuk ditarik ke atas Bangkrak.

Rumpon sendiri adalah alat tangkap tradisional untuk menjebak bayi-bayi lobster. Bentuknya adalah tali tambang yang dililit sejenis jaring atau ijuk-ijukan, dan diujung tambang diberi pemberat batu agar jebakan itu bisa disinggahi benur dari pasir di dasar laut.

Prinsip kerjanya sangat sederhana, rumpon yang berada persis di bawah Bangkrak bakal didatangi benur yang teperdaya dengan kilauan lampu yang dipasang di hampir setiap sudut Bangkrak. Ibaratnya, benur-benur itu seperti hewan laron terbang yang menuju cahaya pada sebuah lampu. Bedanya, mereka dijebak untuk masuk ke dalam rumpon.

Setiap hari, para nelayan penangkap benur melakukan dua aktivitas melaut. Pertama menyiapkan alat tangkap, mengisi bahan bakar genset, dan menghidupkan lampu yang dilakukan pada sore hari. Kedua, berangkat dini hari untuk mengumpulkan hasil tangkapan. Namun tak sedikit pula yang rela menginap di Bangkrak dari sore hingga pagi dijemput kapal pengantar dan penjemput nelayan milik pengepul, atau kepala kelompok nelayan yang ongkosnya senilai 20 persen dari penghasilan nelayan per hari.

Cerita dari Pantai Selatan Banten: Mengambil Tuah dari Bayi Lobster Abung, nelayan tangkap benur (IDN Times/Athif Aiman dan Aldila Muharma)

3. Harga benur sangat tak menentu, mereka banyak ditemukan di musim angin selatan dan cuaca buruk

Cerita dari Pantai Selatan Banten: Mengambil Tuah dari Bayi Lobster Bangkrak penangkap benur (IDN Times/Athif Aiman dan Aldila Muharma)

Tangkapan Abung pada Subuh itu hanya 15 ekor benur. Terdiri dari 14 benur jenis pasir, dan satu jenis mutiara. Ketika IDN Times mengikuti aktivitas Abung, Jumat (4/12/2020), benur jenis pasir dihargai Rp12 ribu per ekor. Namun untuk jenis mutiara bisa mencapai Rp30 ribu per ekor. Abung menyebut harga dua jenis benur yang laku di pasaran itu tak menentu. Dia sendiri tak tahu kenapa bisa demikian.

Abung hanya menyebut penghasilannya saat itu cukup lumayan. Dibanding rekannya yang lain, Abung mengatakan rekor terbesar yang pernah ia dapat adalah 2000 ekor dalam satu hari. Tangkapan melimpah itu biasanya terjadi pada musim angin selatan ke utara dan musim gelombang tinggi.

"Biasanya banyak di musim angin selatan di kemarau, saat gelombang tinggi sekitar Agustus," kata Abung.

Baca Juga: Siklus Hidup Benih Lobster atau Benur dan Cara Penanganannya

4. Benur mendorong kemajuan ekonomi nelayan

Cerita dari Pantai Selatan Banten: Mengambil Tuah dari Bayi Lobster Nelayan penangkap benur (IDN Times/Athif Aiman dan Aldila Muharma)

Bagi Abung, pekerjaan yang baru dijalani empat tahun belakangan ini mengubah perekonomiannya. Dari sebelumnya ia bekerja sebagai sopir pribadi di Jakarta belasan tahun, hanya menghasilkan satu buah sepeda motor. Itu pun hanya dengan mencicil.

Ketika berkecimpung sebagai nelayan benur, Abung mengaku sudah mampu membeli tanah dan membangun rumah. Ia menggambarkan rumah permanen miliknya itu berisi dua kamar, dua ruang tengah, satu dapur, dan satu kamar mandi dengan halaman depan dan belakang yang cukup luas.

"Penghasilannya jauh beda, di Jakarta hanya mengandalkan gaji bulanan, tapi di sini untungnya banyak banget," kata Abung.

Abung mengaku sangat beruntung bisa memulai usaha ini dengan modal sendiri, sehingga keuntungannya bisa lebih besar ketimbang nelayan lain yang berbagi hasil dengan pemilik Bangkrak setelah dipotong biaya operasional.

"(Saya kerja) Sebagai sopir pribadi selama belasan tahun kemudian memulai jadi nelayan dan membeli bangkrak bekas senilai Rp3 juta, dalam dua bulan udah balik modalnya," kata Abung.

Cerita dari Pantai Selatan Banten: Mengambil Tuah dari Bayi Lobster Nelayan penangkap benur (IDN Times/Athif Aiman dan Aldila Muharma)

5. Tewas hingga ditangkap aparat jadi risiko penangkap benur

Cerita dari Pantai Selatan Banten: Mengambil Tuah dari Bayi Lobster Nelayan penangkap benur (IDN Times/Athif Aiman dan Aldila Muharma)

Mual mabuk laut bisa disebut Abung sebagai salah satu rutinitasnya saat melaut. Hal itu terjadi lantaran posisi Bangkrak yang bergoyang tak karuan, terombang-ambing ditampar ombak pantai selatan yang dikenal ganas. Terlebih saat musim dan cuaca sedang kurang bagus, tak ada sejengkal pakaian di tubuhnya yang tidak basah.

Selain itu, tewas terseret gelombang ombak Samudera Hindia juga mengintai Abung dan ratusan nelayan lain ketiba berada di Bangkrak. Abung bercerita, pernah ada nelayan yang tewas karena berusaha menyelamatkan diri dari Bangkrak yang terombang ambing di laut karena tali jangkarnya putus.

"Pernah ada, Bangkraknya putus, sempat ngasih kabar, dicariin ketemunya cuma Bangkrak orangnya ketemu setelahnya sudah meninggal," kata Abung.

Pengalaman lain yang tak mengenakan, lanjut Abung, saat penangkapan benur adalah perbuatan ilegal. Abung enggan banyak bicara soal aktivitasnya di masa itu. Hal itu terjadi pada masa Menteri Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) periode 2015-2019, Susi Pudjiastuti.

"Kami saat itu kaya maling, kalau habis dari Bangkrak mau nepi (sandar) itu harus minta kabar dulu dari darat, ada aparat atau gak. Pokoknya sekarang jauh lebih baik lah," ungkapnya.

Menteri Susi memang tegas melarang penangkapan benur untuk ekspor ke luar negeri. Salah satu alasannya, lobster lebih mahal harganya saat dijual dengan ukuran konsumsi ketimbang masih bayi.

Bagi Abung, alasan itu tak logis. Membesarkan benur hingga menjadi lobster konsumsi memerlukan waktu di atas empat bulan. Belum lagi persoalan biaya yang dikeluarkan.

"Pernah nyoba saya budidaya di Bangkrak 30 ekor selama empat bulan cuma tujuh yang besar, sisanya mati di makan kepiting dan dimakan temannya (kanibal), engga logis alasannya (larangannya)" kata Abung.

Waktu sudah menunjukkan 7.20 WIB saat KM Barokah tak lama lagi bersandar. Gelombang yang meninggi di pagi itu cukup membuat belasan nelayan berwajah sumringah, pulang ke rumah menemui istri, anak, adik, kaka, ibu atau bapak mereka setelah melaut bahkan menginap di Bangkrak. Mereka sedikit kuyup terkena air ombak dan hujan yang mulai turun pagi itu.

Cerita dari Pantai Selatan Banten: Mengambil Tuah dari Bayi Lobster Perahu nelayan penangkap benur (IDN Times/Athif Aiman dan Aldila Muharma)

Baca Juga: Polemik Ekspor Benur, Pemuda Ini Pilih Budidayakan Lobster Air Tawar

Topik:

  • Deryardli Tiarhendi

Berita Terkini Lainnya