Penghapusan Status WNI Eks ISIS, Pengamat: Harus Melalui Proses Hukum
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Tangerang Selatan, IDN Times - Ahli Hukum Tata Negara asal Universitas Pamulang (Unpam) Bachtiar menilai, pemerintah tetap harus melalui proses hukum untuk menghapus status kewarganegaraan eks kombatan ISIS di Suriah.
"Seseorang itu hanya boleh dicabut kewarganegaraannya melalui due process of law, melalui putusan (pengadilan)," kata Bachtiar dalam perbincangan dengan IDN Times, Selasa (11/2).
Dengan melalui mekanisme hukum itu, imbuhnya, negara bisa membuktikan pasal-pasal apa saja yang telah dilanggar ratusan orang asal Indonesia yang menjadi kombatan ISIS di Suriah.
"Prinsip yang lain dalam persoalan kewarganegaraan itu, berdasarkan konvensi Internasional, tidak boleh ada status stateless atau tidak ada kewarganegaraan," jelasnya.
Baca Juga: Mahfud: Pemerintah Tak Akan Pulangkan Teroris ISIS Asal Indonesia
1. Selama belum ada kepastian pencabutan status kewarganegaraan, negara wajib melindungi mereka
Lebih lanjut dia menegaskan, selama ratusan eks kombatan ISIS di Suriah itu belum dicabut status kewarganegarannya maka negara wajib melindungi mereka.
"Kalau mereka WNI, maka tugas negara untuk melindungi, karena itu amanat konstitusi, melindungi segenap bangsa Indonesia. Terlepas dia ada di Indonesia maupun di luar negeri, sepanjang dia warga negara, ya wajib hukumnya (negara melindungi mereka)," kata Bachtiar.
2. Eks kombatan ISIS harus menjalani isolasi dari dunia luar sembari menjalani deradikalisasi
Bachtiar menilai, istilah "ex WNI yang pindah ke negara ISIS" atau sebaliknya adalah hal yang keliru karena pada dasarnya mereka masih WNI yang bermasalah dalam pemahaman ideologi.
"Sekarang, strateginya apa? Dalam bentuk perlindungannya apa? Karena dia ini terkontaminasi paham (radikal)," kata dia.
Dia mengusulkan, ratusan WNI itu dibawa pulang ke Indonesia kemudian menjalani program deradikalisasi itu. "Misalnya ada satu tempat khusus tidak boleh berhubungan dengan dunia luar," kata Bachtiar.
3. ISIS bukan negara, lalu apa dampaknya?
Bachtiar menerangkan, ada batas status soal kewarganegaraan dalam UU 12 Tahun 2006 yang menyebut seseorang berada di luar negeri selama 5 tahun tanpa ada kejelasan. Meski demikian, UU ini tidak tegas menyatakan apakah status WNI itu terhapus atau tidak.
Namun, lanjut Bachtiar, jika ada pernyataan dari yang bersangkutan bahwa dia mendeklarasikan bahwa dia bukan lagi WNI itu bisa dikategorikan "hilang kewarganegaraannya".
Namun, menurut dia, eks kombatan ISIS menjadi hal yang berbeda. "Pertanyaannya apakah ISIS itu sebuah negara? Karena tentu saja syarat suatu bisa dikatakan negara, pertama dia ada wilayahnya, dia ada pemerintahan yang berdaulat yang diakui oleh negara-negara lain, kemudian dia ada penduduknya, kemudian dapat pengakuan dari dunia luar," kata Bachtiar.
Melihat status ISIS itu akan berdampak pada status kewarganegaraan orang-orang asal Indonesia yang berada di sana. "Mestinya posisi mereka itu masih WNI. Sehingga apapun itu, eks ISIS itu adalah WNI yang harus kita lindungi sebagai amanat UU," kata Bachtiar.
4. Bukan entitas hukum, ISIS hanya ideologi
Bachtiar menilai, ratusan orang yang memberikan dukungannya kepada ISIS itu tidak memenuhi syarat untuk disebut "pindah kewarganegaraan" karena mereka hanya terjebak masuk dalam satu pemahaman yang kemudian mendeklarasikan dirinya itu sebagai entitas hukum internasional. " Padahal itu hanya klaim sepihak," jelasnya.
Untuk itu, Bachtiar menilai proses hukum penting untuk dilakukan pemerintah dalam memutuskan nasib ratusan eks kombatan ISIS asal Indonesia itu. Jika tidak, keputusan itu akan menjadi perhatian dunia internasional. "Terutama dari aspek kemanusiaan," kata Bachtiar.
5. Pemerintah memutuskan tidak akan memulangkan
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan, pemerintah tidak akan memulangkan "Foreign Terrorist Fighters (FTF)" ke Indonesia.
Alasannya, kata Mahfud, pemerintah harus memberi rasa aman kepada rakyat Indonesia dari ancaman terorisme. "Pemerintah dan negara harus memberi rasa aman dari ancaman terorisme dan virus-virus baru teroris terhadap 267 juta (orang), rakyat Indonesia. Karena kalau FTF ini pulang itu bisa menjadi virus baru yang membuat rakyat 267 juta merasa tidak aman," ujar Mahfud.
Namun, Pemerintah akan menimbang pemulangan anak-anak mereka, selama usianya di bawah 10 tahun.
Baca Juga: FKPT: Keputusan Pemerintah Tak Pulangkan Eks Kombatan ISIS Sudah Tepat