WHO Peringatkan Tak Ada Manusia yang Kebal Terhadap COVID-19

Dirjen WHO sebut tidak ada yang dinamakan herd immunity

Jakarta, IDN Times - Badan kesehatan dunia (WHO) memperingatkan negara-negara yang mulai melonggarkan aturan pengetatan pembatasan pergerakan manusia, supaya tetap ekstra waspada terhadap COVID-19. Sebab, hingga kini kasus COVID-19 tetap ada dan bahkan jumlahnya terus naik. 

Beberapa negara di Eropa, seperti Italia, Prancis dan Spanyol mulai perlahan-lahan melonggarkan aturan pembatasan pergerakan manusia. Keputusan itu diambil usai melihat ada peningkatan drastis tingkat kematian akibat COVID-19 di dua Prancis dan Spanyol. Bahkan, beberapa negara Asia, seperti Malaysia sudah mulai pelan-pelan membuka perekonomiannya. 

"Ini merupakan kabar baik bahwa ada kesuksesan besar dalam menahan laju virus dan pada akhirnya menyelamatkan umat manusia," tutur Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus ketika menggelar diskusi virtual pada Selasa (12/5). 

Kendati begitu, upaya kembali ke kehidupan normal tersebut masih dihantui kekhawatiran akan kemunculan virus corona dalam klaster baru. Oleh sebab itu, Kepala Darurat WHO, Michael Ryan tetap mendorong negara-negara yang melonggarkan aturan supaya memberlakukan protokol kesehatan yang ketat. Selain itu, masing-masing negara harus yakin mereka bisa melakukan identifikasi seandainya muncul kasus COVID-19 baru, lacak dan mengisolasi semua orang yang melakukan kontak dekat. 

"Dengan begitu, maka negara yang bersangkutan bisa terhindar dari gelombang kedua COVID-19," kata Ryan di diskusi yang sama. 

Lalu, bagaimana dengan negara yang tetap bandel dan tidak meningkatkan kapasitiasnya untuk melakukan tes massal? Apakah mungkin kekebalan kelompok atau herd immunity bisa jadi solusi?

1. WHO sindir beberapa negara mengatasi COVID-19 tanpa kebijakan yang jelas alias buta

WHO Peringatkan Tak Ada Manusia yang Kebal Terhadap COVID-19(Ilustrasi logo WHO) www.un.org

Dalam diskusi virtual itu, Ryan sempat menyindir beberapa negara tanpa menyebut namanya yang justru mengatasi pandemik COVID-19 secara membabi-buta. Mereka tak punya rencana yang jelas. Negara-negara ini sesungguhnya memiliki kesempatan untuk meningkatkan kemampuan melakukan tes massal COVID-19, namun tidak dilakukan sejak awal. 

Apakah WHO tengah menyindir Indonesia? Sebab, sejak awal ketika ada yang memprediksi virus corona sudah masuk ke Indonesia pada bulan Januari, pemerintah malah menyangkalnya. Bahkan, ketika Indonesia sudah dikepung negara tetangga yang terpapar COVID-19, pemerintah tetap bersikeras menyebut Indonesia masih terbebas dari virus Sars-CoV-2 itu.

Amerika Serikat pun mengalami situasi yang sama. Ketika ada satu pria AS yang kembali Wuhan dan mengeluh sakit, Presiden Donald J. Trump malah meremehkannya. Ketika itu ia tak percaya COVID-19 akan berubah menjadi pandemik. 

Baca Juga: Obama Nilai Donald Trump Kacau Balau Tangani COVID-19 di AS

2. Kecil kemungkinan masyarakat memiliki antibodi terhadap penyakit COVID-19

WHO Peringatkan Tak Ada Manusia yang Kebal Terhadap COVID-19Ilustrasi virus corona. (IDN Times/Mia Amalia)

WHO juga memperingatkan berdasarkan studi serelogis tidak ada yang dinamakan kekebalan kelompok alias herd immunity. Temuan mengenai adanya kekebalan kelompok diduga dijadikan alasan di beberapa negara untuk abai mengambil kebijakan yang dibutuhkan untuk menahan lajunya virus. Alasannya, nantinya penduduk akan kebal terhadap virus corona, sama seperti penyakit lain yang disebabkan oleh virus. 

Tetapi, menurut Tedros, hasil kajian mengenai herd immunity masih menunjukkan persentase yang rendah. Artinya, sebagian besar masyarakat tetap rentan tertular virus corona. 

WHO tidak menampik kini memang dilakukan lebih dari 90 kajian serelogis yang menunjukkan adanya antibodi di dalam orang yang sudah pernah terpapar COVID-19, tengah dilakukan di beberapa negara. Kepala kebijakan teknik WHO, Maria Van Kerkhove, organisasi tempatnya bekerja memang belum mengevaluasi kajian tersebut. Namun, berdasarkan data awal menunjukkan antara satu dan 10 persen individu memiliki antibodi itu. 

"Sepertinya, ada pola yang konsisten sejauh ini terhadap sedikit orang yang memiliki antibodi itu," tutur Kerkhove. 

3. Dunia tidak bisa mengandalkan herd immunity sebagai senjata ampuh hadapi virus corona

WHO Peringatkan Tak Ada Manusia yang Kebal Terhadap COVID-19ANTARA FOTO/REUTERS/Leah Millis

Stasiun berita Al Jazeera, (20/3) lalu menjelaskan herd immunity mengacu pada situasi di mana cukup banyak orang dalam suatu populasi yang memiliki kekebalan terhadap infeksi sehingga dapat secara efektif menghentikan penyebaran penyakit itu. Sementara, berdasarkan wawancara Majalah Time dengan anggota satgas COVID-19 di Gedung Putih, Anthony Fauci, herd immunity tidak bisa dijadikan senjata ampuh untuk melawan virus Sars-CoV-2. Sebab, dibutuhkan cukup orang untuk bisa terinfeksi atau jumlah orang yang cukup yang telah divaksinasi. 

"Itu berarti, entah sebuah vaksin tengah diciptakan dan mayoritas warga menjadi kebal terhadap virus, atau 70 persen hingga 80 persen harus kontak dengan virus tersebut yang menyebar melalui komunitas sehingga tubuh membangun antibodi perlindungan," kata Fauci pada (24/4) lalu. 

Dengan begitu, nantinya bisa melindungi masyarakat yang belum kebal terhadap virus. Tetapi, untuk bisa mencapai herd immunity risikonya sangat besar. Ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Public di John Hopkins University Bloomberg, Gypsyamber D'Souza untuk bisa mencapai herd immunity, maka akan ada banyak kematian pasien akibat COVID-19. 

"Pada akhirnya kita akan mencapai herd immunity. Tapi, kita tidak ingin hal itu terjadi dalam kurun waktu cepat," ungkap D'Souza. 

Baca Juga: Mengenal Herd Immunity yang Disebut Bisa Memperlambat Laju COVID-19

Topik:

Berita Terkini Lainnya