Anak Kampung yang Rindu Bintang dan Kembang Duren di Kala Ramadan

Tumis kembang durian memori indah anak desa di Ramadan

Sepekan menjelang lebaran tahun ini, saya "terpaksa" mulai mengingat-ingat kembali apa yang terjadi di momen-momen Bulan Suci, sepanjang hidup yang saya jalani--sembari membayangkan juga bagaimana Ramadan tahun ini saya selesaikan.

Satu hal yang pasti, sebulan Ramadan yang sudah saya jalani sepanjang hidup di usia 30 tahun ini dipenuhi memori, kenangan, dan harapan akan hal indah di bulan penuh berkah ini bisa terus berulang kembali.

Kenangan masa anak-anak memang merupakan momen terindah kala menjalani Ramadan bagi semua muslim yang seumuran saya, di mana kebiasaan hingga makanan khas Ramadan masih umum dijumpai kala itu.

Menghabiskan malam hingga Subuh di tanah lapang atau bebukitan, merupakan salah satu kebiasaan anak desa seperti saya yang lahir dan tumbuh besar di wilayah Bogor.

Semakin indah saya rasakan kala itu, lantaran belum ada gadget secanggih saat ini, dan hamparan bintang-bintang di langit terasa lebih mudah dilihat untuk dinikmati.

Saya menjalani kebiasaan itu hampir sebulan Ramadan, bahkan ada kalanya sampai satu minggu setelah Lebaran saya dan anak-anak di kampung yang saya tinggali masih menjalankan kebiasaan itu.

Dewasa ini saya menyadari, kebiasaan anak-anak dan remaja di kampung saya tersebut sudah hilang dan tidak terwariskan, oleh sebab anak-anak saat ini nampaknya lebih gandrung bermain game online atau bermain gadget.

Atau mungkin kampung asal saya telah berubah, pemukiman bertambah polusi cahaya mengakibatkan menikmati langit yang dipenuhi bintang tak lagi mudah.

Memori terindah saya dari banyak kenangan indah, akan sulit saya tuliskan satu persatu-satu.

Mungkin yang sangat saya ingat salah satunya adalah makanan sahur yang kini sulit saya temui di kampung halaman saya. Makanan itu adalah tumis kembang durian.

Pasti kalian akan mengernyitkan dahi ketika membaca nama makanan itu, tapi percayalah, makanan ini memang enak banget.

Singkat cerita, tumis kembang durian bisa dikatakan salah satu makanan khas yang ada di Kampung Parigi Mekar, Ciseeng, Bogor. Sesuai namanya, makanan ini berbahan dasar kembang atau bunga dari pohon durian.

Kalau bicara rasanya, nampaknya sulit menyamakan masakan tersebut dengan masakan lain, karena sejauh saya ke beberapa daerah di Pulau Jawa atau kini menetap di Lebak, Banten saya belum menemui makanan serupa atau mirip dengan makanan tersebut.

Yang jelas yang saya ingat hanya, bahwa makanan ini berisikan tumis berisi Kembang durian yang bentuknya mirip toge namun memiliki tekstur seperti jamur enoki.

Saya sangat menyukai masakan ini, terlebih memori saya sebagai anak kecil yang tinggal dengan nenek dipenuhi kenangan makanan tersebut. Belakangan saya ketahui, makanan tersebut kami buat lantaran kami orang kampung yang miskin yang butuh lauk sayur pengganti tanpa harus belanja ke pasar.

Semenjak lulus SMA pada 2011 dan memutuskan untuk mengembara di wilayah Banten, tak pernah lagi saya jumpai rumah-rumah di kampung saya di Bogor yang membuat makanan tersebut.

Mungkin alasannya, karena sudah tidak ada yang mewariskan resepnya, atau ekonomi di kampung saya membaik, atau karena berkurangnya habitat pohon duren di kampung saya.

Atau mungkin, seperti yang dikatakan nenek-ku: pohon duren semakin tidak menentu berbunga dan berbuahnya. Apa ini karena krisis iklim? Saya rasa iya.

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya