Banten lama (Wikipedia.org/Johann Theodor de Bry (1560-1623) and Johann Israel de Bry (1565-1609))
Dikutip dari laman kebudayaan.kemdikbud.go.id, ketika memegang tampuk pemerintahan di Kesultanan Banten, Sultan Agung Tirtayasa sengaja diciptakan satu bentuk latihan bagi prajurit Banten. Latihan ini berupa strategi dan latihan perang atau perkelahian dengan menggunakan alat yang disebut debus. Prajurit jug diajarkan untuk bertarung dengan alat lain, pedang, golok, keris, tombak, dan sebagainya.
Dalam latihan itu mereka berpasang-pasangan, kadang perang cambuk. Dengan ketabahan, keuletan, dan keimanan yang kuat kepada Tuhan mereka dapat mengatasi segala ujian itu. Jadi pada mulanya Debus diciptakan untuk mempertahankan negara (peperangan). Karena debus sudah ada sejak abad ke 17 tentu saja Debus termasuk permainan rakyat yang berusia cukup tua.
Ada pendapat lain yang juga menyebut, kesenian yang disebut sebagai debus ini ada hubungannya dengan tarikat Rifaiah yang dibawa oleh Nurrudin Ar-Raniry ke Aceh pada abad ke-16. Para pengikut tarikat ini ketika sedang dalam kondisi epiphany (kegembiraan yang tak terhingga karena “bertatap muka” dengan Tuhan), kerap menghantamkan berbagai benda tajam ke tubuh mereka.
Filosofi yang mereka gunakan adalah “lau haula walla Quwata ilabillahil ‘aliyyil adhim” atau tiada daya upaya melainkan karena Allah semata. Jadi, kalau Allah mengizinkan, maka pisau, golok, parang atau peluru sekalipun tidak akan melukai mereka.