Nama lengkapnya adalah Syam’un bin H. Alwiyan. Dia lahir di Beji, Serang pada 5 April 1894.
Syam’un merupakan putra pasangan taat beragama Hajar dan Aiwiyan. Dia juga masih keturunan dari KH. Wasid, tokoh "Geger Cilegon" 1888.
Sejak masih anak-anak, Syam’un mendapat pendidikan pesantren dan tepatnya pada usia 4 tahun sudah dikirim orangtuanya menimba ilmu agama di Pesantren Delingseng selama 2 tahun hingga 1900.
Pendidikan akademiknya hingga ke Al-Azhar University Cairo Mesir yang saat itu masih masuk dalam jajaran perguruan tinggi termasyhur di dunia.
Syam’un adalah pendiri perguruan tinggi lslam ‘ Al-Khairiyah Citangkil, Desa Wanasari Kecamatan Pulo Merak, Kota Cilegon. Perguruan tersebut didirikan dalam dua tahap.
Bermula dengan sistem pesantren (tradisional) dan dikembangkan tahap kedua dengan sistem madrasah (klasikal).
Dia kemudian malah bergabung dalam PETA yang notabene adalah gerakan pemuda bentukan Jepang. Bagi orang yang tidak mengerti ia mungkin dianggap plin-plan, padahal yang ia Iakukan adalah Iangkah Syam’un mempersiapkan perlawanan, karena dalam peperangan kalau tanpa persiapan merupakan haI yang konyol, bukan kemenangan yang didapat malah kekalahan yang akan datang.
Dalam PETA jabatan Syam’un adalah Dai Dan Tyo yang membawahi seluruh Dai Dan I PETA yang wilayah kekuasaannya meliputi Serang, yang pada akhirnya pindah ke Labuan.
Selama menjadi Sai Dan Tyo, Syam’un sering mengajak anak buahnya untuk memberontak dan mengambil alih kekuasaan Jepang. Tujuan tersebut ia utarakan juga kepada Pemimpin Dai Dan Tyo, Oyong Ternaya dan Dai Dan Tyo IV Uding Surya Atmadja untuk mengumpulkan kekuatan.
Setelah kemerdekaan RI, Syam’un menjadi pimpinan Brigade l Tirtayasa Badan Keamaman Rakyat (BKR) yang berubah menjadi Tentala Keamanan Rakyat (TKR) dan berganti menjadi TNI Divisi Siliwangi.
Karier Syam’un di militer terbilang gemilang dengan pangkat terakhir brigadir jenderal (brigjen). Dia kemudian diangkat menjadi Bupati Serang periode 1945-1949.
Di sela jabatannya sebagai Bupati Serang sekira tahun 1948, KH. Syam’un masih mengurus pesantren. Pada tahun yang sama, meletus Agresi Militer Belanda II yang menharuskan Syam’un bergerilya dari Gunung Karang Kabupaten Pandegaing hingga ke Kampung Kamasan Kec. Cinangka Kabupaten Serang. Daerah ini menjadi tempat tinggal salah satu gurunya, Jasim.
Di kampung ini, Syam’un meninggal pada tahun 1949 karena sakit saat memimpin gerilya dari hutan sekitar Kamasan, tepatnya tanggal 28 Februari pada umur 54 tahun.
Pada tanggal 8 November 2018, Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional bagi Syam’un.