Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam BEM Seluruh Indonesia membawa poster saat berunjuk rasa di Jakarta, Senin (17/2/2025). Aksi tersebut diikuti ratusan mahasiswa dari berbagai kampus di Jakarta. (ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin)

Intinya sih...

  • Massa mahasiswa menuntut pembatalan pemangkasan anggaran pendidikan, terutama terkait beasiswa dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) kuliah.
  • Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi mengungkap indikasi efisiensi di bidang pendidikan yang dapat menyebabkan naiknya biaya kuliah.
  • Pemerintah daerah masih membahas pos-pos mana saja yang terdampak efisiensi anggaran tersebut serta berbagai reaksi dari masyarakat, khususnya mahasiswa dan guru honorer.

“Ciptakan pendidikan gratis ilmiah dan demokratis serta batalkan pemangkasan anggaran pendidikan”

Itulah salah satu tuntutan yang diteriakkan massa mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Seluruh Indonesia (BEM) SI saat demo “Indonesia Gelap,” sejak 17 Februari lalu. Demonstrasi Indonesia Gelap itu pecah di sejumlah daerah di Tanah Air, termasuk Jakarta, Yogyakarta, Lampung, hingga Sulawesi Selatan. Aksi itu buntut dari sejumlah kebijakan kontroversial pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, termasuk efisiensi anggaran. 

Di Bandar Lampung, demonstrasi berlangsung pada 21 Februari lalu. Presma BEM Universitas Lampung (Unila), M Ammar Fauzan mengatakan, mahasiswa bukannya menolak efisiensi, tapi minta pemerintah mengkaji ulang agar efisiensi tidak menyasar pos pendidikan dan kesehatan.

"Jangan sampai aturan dari atas pemotongan perjalanan dinas, tapi di bawah memotong beasiswa dan (beasiswa) Kartu Indonesia Pintar (KIP) kuliah. Sudah seharusnya efisiensi disertakan transparansi, sehingga tidak ada gejolak," kata dia. 

Indikasi efisiensi di sektor pendidikan tersebut muncul ketika 12 Februari lalu, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Dikti Saintek), Satryo Soemantri Brodjonegoro, mengungkap bahwa biaya kuliah bisa naik apabila kementerian yang dipimpinnya terkena efisiensi anggaran.

Dia lantas mengungkap bahwa alokasi anggaran Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) di Kemen Dikti Saintek sekitar Rp6 triliun. Jika dipangkas 50 persen, maka akan menjadi Rp3 triliun.

"Karena BOPTN ini dipotong separuh, maka ada kemungkinan perguruan tinggi harus menaikkan uang kuliah," kata dia dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI (12/2/2025).

Setelah itu, muncul peringatan darurat viral di media sosial dengan Garuda merah yang menyoroti efisiensi anggaran pendidikan di Kemen Dikti Saintek.

Gonjang-ganjing pemotongan anggaran di dunia pendidikan, khususnya di perguruan tinggi, itu pun kian ramai hingga akhirnya Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan bahwa kebijakan efisiensi anggaran tidak berdampak pada Uang Kuliah Tunggal (UKT) Perguruan Tinggi Negeri (PTN).

Ia menjelaskan, kriteria yang dipangkas ialah hanya menyangkut perjalanan dinas, seminar, pengadaan alat tulis kantor (ATK), peringatan, dan perayaan serta kegiatan seremonial.

"Terkait bantuan operasional pendidikan keperguruan tinggi. Karena kriteria efisiensi Kementerian Lembaga yang kita lakukan menyangkut kriteria-kriteria aktivitas yaitu perjalanan dinas, seminar, ATK, peringatan, dan perayaan serta kegiatan seremonial lainnya, maka perguruan tinggi akan terdampak pada item belajar tersebut," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (14/2/2025).

Wacana pemotongan anggaran di sektor pendidikan mendapat reaksi keras dari berbagai pihak, tak hanya mahasiswa. Dengan anggaran saat ini saja, berbagai persoalan pendidikan tak kunjung terselesaikan, mulai dari bangunan sekolah rusak hingga belum meratanya kualitas pendidikan di Tanah Air. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), hanya 66,79 persen warga Indonesia yang menyelesaikan jenjang pendidikan tingkat SMA pada tahun 2023. Belum lagi persoalan kualitas dan gaji guru honorer di daerah.  

Sejumlah pemerintah di daerah pun masih belum memastikan, sektor-sektor apa saja yang terdampak dengan penghematan anggaran tersebut. Dalam kolaborasi, IDN Times Hyperlocal dari sejumlah daerah merekam potensi pemotongan anggaran dan bagaimana dampaknya ke dunia pendidikan. 

Infografis jumlah warga yang menyelesaikan jenjang tingkat SMP-SMA di Indonesia (IDN Times/M Shakti)

1. Ketika Prabowo menargetkan efisiensi anggaran hingga Rp750 triliun

Presiden RI Prabowo Subianto 961 melantik pimpinan daerah secara serentak di Istana Merdeka Jakarta hari ini, Kamis (20/2). (dok. Tim Komunikasi Prabowo)

Presiden Prabowo Subianto menelurkan Instruksi Presiden (Inpres) No 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi APBN dan APBD Tahun 2025. Dengan dasar hukum itu, pemerintah pusat menargetkan efisiensi sekitar Rp306,6 triliun melalui penghematan belanja kementerian/lembaga (K/L) sebesar Rp256,1 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp 50,5 triliun.

Rupanya, penghematan Rp306 triliun itu hanya untuk putaran pertama saja. Dalam puncak Ulang Tahun ke-17 Partai Gerindra, 15 Februari lalu, Prabowo menyebut, penghematan anggaran itu akan dilaksanakan dalam tiga putaran.

Penghematan putaran kedua, imbuhnya, akan menyisir belanja K/L yang kurang efisien dengan total target sebesar Rp308 triliun. Namun, sebesar Rp58 triliun akan dikembalikan lagi ke KL sehingga menjadi Rp250 triliun.

Putaran ketiga, penghematan akan dilakukan melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN), di mana dividen BUMN yang ditargetkan mencapai Rp300 triliun, sebesar Rp200 triliunnya digunakan untuk negara dan Rp100 triliun dikembalikan ke BUMN.

"Total kita punya Rp750 triliun," kata Prabowo lagi.

Prabowo menuturkan, anggaran dipakai untuk program makan bergizi gratis (MBG) sekitar Rp24 triliun. "Rakyat kita, anak-anak kita tidak boleh kelaparan," kata dia. Prabowo menambahkan, sisa anggaran yang tidak dipakai diserahkan Danantara untuk investasi sekitar $20 miliar.

Sebelumnya, saat berbicara pada acara silaturahmi Koalisi Indonesia Maju (KIM) di kediamannya di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, Jumat (14/2/2025), Presiden Prabowo mengaku, efisiensi anggaran negara itu tidak mengganggu operasional sehari-hari. Anggaran yang dihemat itu akan dialihkan ke program yang lebih bermanfaat untuk masyarakat luas, seperti penyediaan pupuk hingga perbaikan sekolah.

Benarkah demikian? Bagaimana daerah mengartikan efisiensi anggaran tersebut, khususnya terkait pendidikan? 

2. Potret pendidikan, dari bangunan sekolah rusak hingga siswa cemas soal beasiswa

Infografis kondisi bangunan sekolah di Indonesia (IDN Times/M Shakti)

Berdasarkan data BPS, separo bangunan sekolah dari jenjang SD hingga SMA rusak sedang hingga berat pada tahun ajaran 2022/2023 (lihat grafis di atas). Masalah bangunan sekolah rusak ini menyebar di seluruh wilayah Tanah Air. 

Salah satu potret sekolah rusak itu ada di SD Negeri Grudo 3, Kecamatan Ngawi, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.  Atap ruang kelas di SD tersebut nyaris ambruk dan hanya ditopang tiang penyangga dari kayu seadanya. Padahal pengajuan perbaikan oleh pihak sekolah telah diajukan sejak 2022, namun belum terealisasi hingga tahun 2025 ini. 

Kondisi sekolah ini benar-benar memprihatinkan. Di ruang Kelas 1, sebanyak 25 siswa bertaruh nyawa. Mereka belajar di bawah atap yang sudah lapuk dan hanya disangga kayu seadanya.

Hal serupa juga terjadi di kelas 3, di mana 31 siswa harus belajar dengan rasa takut. "Ya takut kalau pas hujan dan angin, nanti roboh. Sudah lama rusak, tapi belum diperbaiki," kata seorang siswa, bernama Fatimati Zahro, Jumat (6/2/2025).

Situasi semakin parah setelah ruang kelas 2, yang lebih dulu rusak parah, akhirnya dikosongkan. Sebanyak 12 siswa pun terpaksa dipindahkan ke ruang perpustakaan agar tetap bisa belajar.

Para guru dan siswa kini hanya bisa berusaha menghindari risiko dengan mencari alternatif tempat belajar. "Banyak siswa laki-laki yang aktif. Takutnya mereka mengenai tiang penyangga dan akhirnya roboh. Ada tiga ruang kelas yang rusak, kami berharap segera ada perbaikan," kata Dewi Purnama, salah satu guru di sekolah tersebut.

Sementara Kepala Sekolah SD Negeri Grudo 3, Sudarwati mengungkap, atap ruang kelas  sudah sangat parah dan penyangga sementara itu bukan solusi jangka panjang. Pihaknya juga sudah berusaha memperbaiki atap dengan anggaran dan alat yang ada, tapi tak bertahan lama karena usia bangunan yang sudah tua.

"Kami hanya ingin sekolah ini aman untuk belajar. Semoga segera ada perhatian dari pemerintah," harap Sudarwati. 

Potret sekolah rusak lainnya datang dari SD Negeri Ngelang 1 di Desa Ngelang, Kecamatan Kartoharjo, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Atap ruang kelas 2 di sekolah ini bahkan sampai roboh pada Rabu sore, 12 Februari 2025. Untungnya, tidak ada korban jiwa dalam kejadian ini karena para siswa telah pulang.

Dugaan sementara, bangunan lapuk akibat faktor usia. Atap yang roboh menimpa seluruh barang yang ada di ruangan. Selain itu, dua ruang kelas lainnya juga terancam roboh. Kini,  13 siswa kelas dua, tiga, dan empat terpaksa dipindahkan sementara ke musala sekolah.

“Saya lebih memilih sekolah diperbaiki segera, daripada makan gratis,” ungkap Bagas Tinard Nurrohman, siswa kelas empat.

Hal itu senada dengan Adella Clara Andini siswi kelas tiga. Ia mengaku takut, kelasnya roboh menimpa para siswa. "Kami ingin segera diperbaiki biar belajarnya tetap semangat tanpa ada rasa was-was," pintanya.

Pihak sekolah sudah mengajukan perbaikan ke Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Magetan sejak tahun 2015. Namun, hingga kini, permohonan tersebut belum juga terealisasi. 

Persoalan lain yang mencuat setelah efisiensi anggaran dilaksanakan adalah beasiswa.  Amalia (17), seorang siswa di Sumatra Utara mengaku bahwa kebijakan efisiensi menimbulkan pergolakan di batinnya.

Ia sendiri sudah banyak membaca soal dampak-dampak yang akan terjadi bila efisiensi dalam ranah pendidikan juga diterapkan. Salah satunya ialah biaya pendidikan menjadi  lebih mahal.

Amalia yang duduk di bangku kelas 12, berencana kuliah dan ingin mendapatkan beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP). "Tapi jujur, ada ketakutan setelah membaca berita soal dampak efisiensi karena kebijakan ini memungkinkan untuk dihapusnya beasiswa KIP," kata Amalia.

Tak sampai di situ saja, Amalia juga takut jika ia berkuliah dengan status mahasiswa reguler, biaya uang kuliah meroket. Pertimbangan-pertimbangan ini telah ia pikirkan dengan matang, termasuk pilihan jika dia terpaksa tidak kuliah karena UKT tak terjangkau oleh ekonomi keluarganya.

"Gimana nanti saya mau bayarnya? Saya tidak ingin merepotkan orangtua," beber siswa SMA negeri itu.

Siswa lainnya, Yudha (17) juga memiliki pandangan serupa. Menurutnya, efisiensi tidak layak menyentuh ranah pendidikan. "Pendidikan harus diutamakan, dijunjung, dan harus jadi prioritas utama. Pendidikan ini batu loncatan bagi nasib bangsa Indonesia," kata Yudha yang juga duduk di bangku kelas 12.

Dia mengungkap, beasiswa KIP menjadi salah satu penyemangat siswa untuk belajar dan bisa berkuliah. Jika KIP sampai dihapus, kata dia, hal itu pasti mempengaruhi semangat siswa mengejar pendidikan lebih tinggi. 

"Kebijakan efisiensi (di sektor pendidikan), menurut saya bisa memperburuk situasi pendidikan Indonesia," kata dia.

Atap sekolah di SD Negeri Ngelang 1 di Desa Ngelang, Kecamatan Kartoharjo, Kabupaten Magetan roboh. IDN Times/ Riyanto.

3. Efisiensi mulai terasa, mahasiswa Itera: UKT tak naik, tapi...

Aksi mahasiswa injak pagar kawat duri di depan gerbang kantor Pemprov Lampung, Senin (17/2/2025). (IDN Times/Tama Yudha Wiguna).

Sikap kritis turut dilontarkan Presma Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Sumatera (KM-Itera), M Rizky Saputra. Menurut dia, keresahan soal efisiensi anggaran itu tak sebatas pada potensi kenaikan UKT dan penghapusan program beasiswa, tetapi juga ada indikasi pemotongan dana operasional perguruan tinggi.

Kekhawatiran tersebut diakui perlahan mulai dirasakan mahasiswa Itera. Misalnya, kegiatan kuliah lapangan pada program studi (prodi) Kewilayahan dan Perencanaan Kota yang membebankan 50 persen biaya operasional akomodasi kepada mahasiswa.

"Di tahun kemarin, kegiatan ini biaya operasional ditanggung penuh perguruan tinggi, tapi setelah ada isu efisiensi anggaran, setengahnya dibebankan ke mahasiswa. Ini yang kami takutkan, jadi biaya penunjang pendidikan lebih besar dibebankan ke mahasiswa, bukan hanya masalah UKT dan beasiswa saja," bebernya.

Kasus serupa terjadi pada pendanaan Program Penguatan Kapasitas Organisasi Mahasiswa (PPK Ormawa) dalam bentukkegiatan pelatihan upgrading bagi para sekretaris dan bendahara Ormawa. "Pihak Kemahasiswaan pun bilang dana itu digantung sampai sekarang, karena dalih efisiensi anggaran itu tadi," tambah Rizky.

Dengan demikian, menurut Rizky, pemangkasan anggaran itu sudah terasa oleh mahasiswa. Meski tak ada kenaikan UKT, kata dia, namun biaya penunjang perkuliahan justru dibebankan ke mahasiswa.

"Hasil kajian kami, efisiensi dana operasional perguruan tinggi mencapai 50 persen dan Itera paling terdampak dikarenakan masih berstatus sebagai Satker. Untuk skala Lampung, dampaknya bukan di Unila, Poltekkes, atau Polinela tapi Itera. Ini sangat meresahkan bagi kami," imbuhnya.

Oleh karena itu, ia berharap seluruh mahasiswa di Lampung khususnya Itera, untuk terus bersama-sama menyoroti dan mengawal dampak kebijakan efisiensi anggaran yang berpotensi menyasar serta mengorbankan kesejahteraan masyarakat secara luas.

"Itera akan terus mengawal ini sampai tuntas, sehingga tak ada tumpang tindih dan simpang siur terhadap isu efisiensi anggaran. Itera akan jadi garda terdepan mengawal penyelesaian kebijakan ini," tegas mahasiswa prodi teknik pertambangan tersebut.

Menyikapi kebijakan efisiensi anggaran tersebut, Rektor Itera, I Nyoman Pugeg Aryantha mengatakan, perguruan tinggi setempat akan melaksanakan instruksi maupun arahan Menteri Dikti Saintek, Brian Yuliarto.

"Itera akan menyesuaikan anggaran seoptimal mungkin, dengan mengutamakan hak mahasiswa dalam layanan fasilitas pendidikan dan hak pokok pegawai," katanya.

Soal keluhan akan beban biaya penunjang kegiatan perkuliahan mulai dialami mahasiswa, ia menyebut, Itera akan menyesuaikan kegiatan akademik sedemikian rupa, tanpa memberi beban biaya tambahan ke mahasiswa di luar UKT sesuai peraturan perundangan.

"Insya Allah, mohon doa dan dukungannya," imbuh guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut.

Di Bali, kekhawatiran skala mikro terhadap efisiensi anggaran dana pendidikan adalah keberlangsungan organisasi mahasiswa (ormawa) dan unit kegiatan mahasiswa (UKM). Pemimpin Umum Pers Mahasiswa Akademika, Adi Dwipayana mengungkapkan, baik ormawa maupun UKM, sebagian besar pendanaannya berasal dari universitas.

Menurut Adi Dwipayana, universitas sebagai institusi pendidikan di bawah Kemen Dikti  Saintek kemungkinan terdampak efisiensi.

“Jadi, rasa cemas akan kebijakan efisiensi anggaran itu tentu ada saja, mengingat juga pendidikan sekarang bukan lagi ditempatkan di strata teratas,” ungkap Adi saat dihubungi IDN Times, pada Sabtu (22/2/2025).

Ada beberapa dampak yang kemungkinan dialami oleh ormawa dan UKM dengan anggaran terbatas. Ia mencontohkan, jika memiliki program kerja (proker) dengan anggaran yang cukup besar dikhawatirkan tidak akan berjalan.

Adi berpendapat, sebelum ada efisiensi anggaran ini, UKM-nya telah memangkas beberapa program kerja. Kini, dia bersama rekan sejawat harus lebih memutar otak ekstra dengan mencari solusi pendanaan secara mandiri. 

Pada kepengurusan UKM tahun lalu, dana yang diberikan pihak universitas sebesar Rp8 juta. Hingga saat ini belum diketahui pasti jumlah dana yang akan dikucurkan kepada ormawa maupun UKM di Universitas Udayana (Unud).

Adi menjelaskan, saat ini beberapa UKM masih melalui tahap revisi pengajuan program kerja. Setelah revisi selesai, program tersebut akan dipresentasikan kembali oleh Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM). Adi tak memungkiri, pendanaan dibutuhkan untuk pengembangan organisasi.

“Kompleksitas permasalahannya sangat terasa, apalagi dengan kondisi ormawa sekarang sudah sepi peminat, ditambah adanya kebijakan pemangkasan anggaran. Jadi upaya untuk mem-branding kembali ormawa kami agar menarik atensi mahasiswa untuk bergabung, bakalan mengalami kendala sih,” kata dia.

4. Hati cemas para guru honorer menunggu dampak efisiensi anggaran

Prabowo Subianto mengucap syukur atas hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang memenangkan dirinya bersama Gibran Rakabuming (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Kelompok pendidik pun tak luput dari rasa was-was. Salah satu guru honorer dari pulau terluar Sumatra Utara alias Nias, Cici (25), mengeluarkan uneg-unegnya. Dia mengakui, ada rasa takut kena PHK atau pemutusan hubungan kerja, di tengah gonjang-ganjing efisiensi anggaran. 

"Sependengaran saya, sudah ada guru honorer yang dirumahkan terkait pemutusan kerja (efisiensi) karena tidak termasuk pula dalam database pendidikan di Kabupaten lain. Kemungkinan ini karena jangka waktu pengabdian tidak sampai 2 tahun. Mirisnya, ada banyak lulusan sarjana pendidikan, mau ke mana? Sedangkan jika tidak dari honorer dulu, bakalan nunggu formasi yang cuma buka 1-20 orang saja," kata Cici.

Efesiensi di dunia pendidikan baginya masih sangat kurang memadai jika dijalankan. Hal ini ia sebut dikarenakan beban administrasi cukup banyak dibandingkan dengan tindakan mengajar.

"Guru bukan hanya berfokus pada materi ajar, akan tetapi penguasaan kelas dalam memahami keadaan dan kondisi siswa. Mental siswa aman, guru bagaimana?" tanyanya.

Sementara itu, Tommy (28) masih ingat betul bagaimana senangnya hati, kala mendengar janji kampanye Prabowo-Gibran, dulu di Pemilihan Presiden (PIlpres) 2024. Sebagai guru honorer, yang paling ia ingat adalah janji pengangkatan bagi guru-guru honorer yang ada di Indonesia.

Kini, hadirnya kebijakan efisiensi anggaran malah memupuskan harapan pengangkatan status guru honorer. "Kerisauan yang mendalam, sih, berkaitan dengan janji-janji pemerintah untuk guru," kata Tommy yang juga guru SMP Negeri di Percut Sei Tuan itu. 

Padahal, kata dia, janji kampanye pengangkatan tenaga honorer itu sempat menjadi semangat baru untuk para guru, kala itu. Dengan kebijakan efisiensi ini, dia merasa, pemerintah ingkar janji.

"Banyaknya janji pemerintah saat ini untuk sisi pendidikan di masa kampanye, namun kenyataannya malah melakukan efisiensi dana pendidikan," kata Tommy.

Dia juga mengakui tengah khawatir dengan program Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang terkena dampak dari kebijakan efisiensi ini. "Kuota PPG terpangkas bahkan sampai 50 persen. Kuota PPG tahun 2025 ini hanya menerima 401.600 orang dari angka sebelumnya yang mencapai 806.640," kata dia.

Menurutnya, pemangkasan 50 persen kuota PPG itu semakin mempersempit kesempatan guru honorer.

Sementara itu, Marzuki, seorang guru di SMA Negeri 1 Wanaraya, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan menegaskan bahwa efisiensi anggaran seharusnya tidak menyentuh sektor pendidikan, mengingat pendidikan adalah amanah Konstitusi yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa.

“Dengan anggaran yang ada saja, pemerataan pendidikan masih menjadi tantangan. Seharusnya, alokasi dana untuk pendidikan tidak dikurangi, justru perlu ditambah agar bisa lebih mendukung dunia pendidikan di Indonesia,” ujarnya.

Menurut Marzuki, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) merupakan salah satu bentuk bantuan yang sangat membantu sekolah, sehingga pemotongan anggaran dapat berdampak besar pada kualitas pendidikan.

5. Pemda menggodok pos-pos mana saja yang terdampak efisiensi anggaran

Infografis jumlah sekolah di Indonesia (IDN Times/M Shakti)

Sejumlah pemerintah daerah (pemda) masih membahas pos-pos mana saja yang terdampak efisiensi. Pemerintah Provinsi Banten, misalnya. 

Penjabat Sekretaris Daerah (Sekda) Banten, Nana Supiana memperkirakan, Banten akan memangkas sekitar Rp1,2 triliun dari anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) 2025. Ini merupakan buntut dari kebijakan efisiensi.

"Kami masih mencoba menghitung, tetapi prediksi awal sih berdasarkan data dari BPKAD (Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah) sekitar Rp1,2 triliun, dengan asumsi pendapatan sama asumsi belanja," kata Nana, Jumat (21/2/2025).

Di tempat yang sama, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Banten, Rina Dewiyanti mengaku belum dapat memastikan kapan APBD Banten akan disesuaikan. 

Meski demikian, menurutnya, Pemprov Banten telah mengeluarkan surat edaran pada organisasi perangkat daerah (OPD) untuk menghemat belanja operasional dan yang bersifat seremonial. Surat tersebut ditujukan agar perangkat daerah dapat melakukan asesmen dan memulai langkah penghematan.

"Saat ini di Provinsi Banten tercatat pemangkasan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari Pemerintah Pusat senilai Rp70 miliar," katanya.

Rina mengatakan Pemprov Banten melakukan pemangkasan pada sejumlah anggaran, termasuk perjalanan dinas mencapai 50 persen dan pengadaan ATK sebanyak 90 persen.Ia meminta agar OPD bisa lebih selektif dalam penyesuaian aturan tersebut.

Sementara Pemerintah Kota (Pemkot) Medan berencana menggabungkan 85 SD negeri dan menutup 1 sekolah karena sudah tidak ada siswa. Selain efisiensi anggaran, langkah itu juga dinilai bisa meningkatkan mutu pendidikan melalui revitalisasi pelayanan pendidikan.

"Dari 382 SDN di Kota Medan, di antaranya 142 SDN regrouping menjadi 57 SDN dan 85 SDN bergabung," ucap Kepala Disdikbud Kota Medan Benny Sinomba Siregar, 11 Februari lalu. Sementara sisanya, sebanyak 239 SDN berstatus tetap.

Tujuan regrouping itu, menurut Benny, untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan bagi masyarakat Kota Medan, efisiensi penyelenggaraan pendidikan, efektivitas pengawasan, dan mencapai pendidikan unggul. Sedangkan dasar melakukan penetapan SDN regrouping karena dalam titik lokasi terdapat dua atau lebih sekolah, sehingga kurang efektif.

"Jumlah siswa yang kurang, sarana dan prasarana kurang memadai, penyebaran tenaga guru yang tidak sesuai, dan tidak memiliki sertifikat tanah," tutur Benny.

Sementara itu, Kepala Bidang SD Disdik Kota Banjarmasin, Qoyyim secara khusus berharap, efisiensi memang tidak mempengaruhi anggaran fasilitas pendidikan, mengingat jumlah sekolah yang membutuhkan perbaikan di wilayahnya, terus bertambah setiap tahun.

Pada 2025 pihaknya mengalokasikan Rp20 miliar untuk infrastruktur SD, termasuk renovasi gedung sekolah. “Anggaran ini akan digunakan untuk memperbaiki 20 SD yang mengalami kerusakan, baik dalam skala ringan hingga berat,” ujarnya.

Selain itu, pembangunan ruang kelas baru akan menyerap Rp16,9 miliar untuk 11 sekolah, sementara Rp6 miliar dialokasikan untuk rehabilitasi ruang kelas di 9 SD lainnya.

“Kami khawatir jika efisiensi anggaran berdampak pada infrastruktur pendidikan, jumlah sekolah yang perlu diperbaiki akan semakin meningkat," kata dia.

Misalnya tahun 2024, menurut dia, beberapa SD tidak bisa diperbaiki akibat refocusing anggaran. "Kini, daftar antrean perbaikan semakin menumpuk,” jelasnya.

6. Pemda-pemda ini janji, efisiensi anggaran gak menyentuh pendidikan

Meski masih membahas efisiensi anggaran, sejumlah pemda memberikan komitmen mereka untuk tidak mengusik pos-pos penting di sektor pendidikan. 

Pemprov Sumsel, misalnya, memastikan tidak akan mengganggu dana APBD yang dikucurkan untuk dana pendidikan pada tahun 2025. Instruksi Presiden nomor 1/2025 dinilai tidak akan mengganggu biaya pendidikan termasuk soal perbaikan sekolah, biaya operasional dan beasiswa KIP.

"Anggaran pendidikan tidak terkena efisiensi, tetap sesuai program kegiatan di bidang pendidikan," ungkap Sekda Sumsel, Edward Candra kepada IDN Times, Jumat (21/2/2025).

Menurut Edward, anggaran pendidikan tidak berubah. Pemprov Sumsel, imbuhnya, akan menyalurkan seluruh anggaran untuk kepentingan perbaikan fasilitas pendidikan, dan bantuan pendidikan hingga kepentingan dana operasional sekolah yang selama ini diberikan seperti tahun sebelumnya.

"Iya, (perbaikan sekolah) tetap jadi prioritas dan tetap sesuai yang sudah diprogramkan," jelas dia.

Edward menjelaskan, saat ini Pemprov Sumsel masih mendata pos mana saja yang nanti anggarannya akan dipangkas. Untuk efisiensi tahap awal, pihaknya akan memangkas anggaran yang bersifat administratif, seperti pengurangan kegiatan seremonial, Forum Group Discussion (FGD), pengadaan alat tulis kantor atau ATK serta perjalanan dinas.

Menurutnya, anggaran yang disiapkan untuk pos-pos yang berhubungan langsung dengan masyarakat tidak akan dipangkas. Efisiensi ini dimaksud untuk menghemat anggaran sehingga pekerjaan yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat seperti perbaikan jalan hingga perbaikan sekolah tidak akan terkena dampak.

Senada, Plt Kepala Dinas Pendidikan Sumsel Awaluddin memastikan efisiensi anggaran tidak akan mengganggu pos-pos krusial dalam dunia pendidikan seperti gaji guru, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), beasiswa, hingga perbaikan sekolah. Pihaknya menilai efisiensi hanya dilakukan untuk perjalanan dinas sedangkan kegiatan yang berhubungan dengan pelayanan pendidikan tidak akan terdampak.

"Sesuai arahan pemerintah pusat soal efisiensi yang terkendala dampak adalah perjalanan dinas, dan mengurangi kegiatan bersifat seremonial," ungkap Awaluddin.

Untuk keperluan guru, Disdik Sumsel juga terus membuka pendaftaran Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) untuk menjaring guru-guru di daerah. Kebanyakan mereka yang mengikuti seleksi guru berstatus PPPK adalah tenaga honorer yang telah mengabdikan diri dalam tugas sebagai pendidik.

Pada 2024, Pemprov Sumsel membuka formasi PPPK guru SMA sebanyak 98 lowongan. Sedangkan pada 2023 ada sekitar 914 tenaga pendidik yang dikukuhkan.

"Mereka yang lolos seleksi PPPK kebanyakan masih diperlukan oleh sekolah lamanya sehingga tidak serta merta yang lulus dipindahkan ke satuan pendidikan lainnya. Kami masih menunggu teknisnya mengenai guru PPPK ini dari pusat," jelas dia.

Awalluddin mengungkapkan, ke depan pihaknya tak lagi akan menerima honorer untuk tenaga pendidik, melainkan bakal diarahkan mengikuti seleksi PPPK. Seleksi ini diharapkan mampu menjawab persoalan kekurangan guru di Sumsel. "Inilah manajemen yang sedang kami tata," kata dia. 

Pemprov Kalimantan Timur menegaskan, program prioritas tidak terdampak efisiensi anggaran. Sama seperti Sumsel, Kaltim pun akan fokus efisiensi anggaran pada pos perjalanan dinas hingga belanja alat tulis kantor (ATK).

"Efisiensi di Disdikbud Provinsi Kaltim tidak akan berpengaruh terhadap program-program prioritas, seperti rehabilitasi sekolah," kata Rahmat dikonfirmasi dari Balikpapan, Sabtu (22/2/2025).

Rahmat tidak ingat besaran nominal pemangkasan anggaran di instansinya. Meskipun demikian, ia memastikan tak akan ada pemangkasan anggaran untuk program rehabilitasi sekolah maupun pembangunan sekolah karena itu termasuk pos prioritas.

Kadisdik Kota Palembang Adrianus Amri mengamini bahwa dana perbaikan sekolah dan BOS tidak terdampak kebijakan efisiensi anggaran 2025. Meski pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah di Palembang--khususnya tingkat SD-SMP-- tak terkena kebijakan efisiensi, Amri tak mengelak jika operasional lain tetap terkena pemangkasan dana.

"Kalau di aturan yang terkena pemangkasan seperti pembagian makan dan minum saat rapat ceremonial, perjalanan dinas dan pengurangan jumlah ATK," jelasnya.

Amri komitmen akan tetap mengedapankan program prioritas pendidikan, meski sejumlah sisi terkena dampak efisiensi anggaran. Disdik Palembang, kata Amri, akan mengikuti semua aturan pemerintah pusat dengan tetap bekerja profesional.

"Pemangkasan honorarium (guru) di satuan pendidikan dan sekolah tidak terdampak," kata dia.

Komitmen yang serupa juga disampaikan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Daerah Istimewa Yogyakarta (Disdikpora DIY). 
 
“Ya, terdampak efisiensi, tapi masih bisa kami siasati. Tidak mengganggu kegiatan belajar mengajar,” kata Kepala Disdikpora DIY, Suhirman, Kamis (20/2/2025).

Suhriman menjelaskan efisiensi yang dilakukan dengan mengurangi kegiatan yang biasa dilakukan di hotel, dialihkan ke kantor atau ke sekolah. Selain itu pendamping dalam kegiatan lomba juga dikurangi.
 
“Jadi kalau ada lomba tingkat nasional, yang mengantar dikurangi, kami batasi pendampingnya. Sehingga harapannya bisa melakukan efisiensi 50 persen. Lebih detail berapa efisiensinya masih kami hitung,” jelas Suhirman.

Sementara itu, Pemkot Makassar memastikan efisiensi ini tidak akan merugikan sektor pendidikan dan layanan publik yang berdampak langsung pada masyarakat.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Makassar, Andi Zulkifli Nanda, menyampaikan Pemkot telah melaksanakan efisiensi anggaran sejak penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pokok 2025. Hal ini jauh sebelum Inpres tersebut diturunkan.

"Kami memang jauh-jauh hari sudah mengurangi atau efisiensi untuk belanja APBD kami. Seperti pada APBD pokok 2025, kami sudah efisiensi mulai dari memangkas anggaran perjalanan dinas (SPPD), pengurangan rapat-rapat, dan alat tulis kantor (ATK)," kata Zulkifli dalam wawancara via telepon, Jumat (21/2/2025).

Mengenai sektor pendidikan, Zulkifli menegaskan efisiensi anggaran tidak akan mengurangi kebutuhan dasar pendidikan, terutama infrastruktur sekolah. Dia menjelaskan anggaran perjalanan Dinas Pendidikan juga telah dipangkas begitu juga dengan kegiatan rapat yang tidak mendesak.

"Yang dimaksud efisensi, kan, bagaimana anggaran tidak terbuang percuma. Selama itu berdampak baik tidak masalah. Misalnya ada kerusakan gedung sekolah, itu tetap kita akan perbaiki karena ini kan menyangkut terkait pelayanan pendidikan dan masyarakat," katanya.

Zulkifli juga mengklarifikasi efisiensi anggaran lebih ditekankan pada aspek administratif. Di antaranya, pengurangan rapat-rapat yang biasanya di hotel, acara seremonial, serta penghematan pada ATK dan belanja modal seperti komputer yang masih cukup tersedia.

"Iya sesuai dengan inpres, pengurangan rapat-rapat, misalnya biasanya kita rapat di hotel, kenapa tidak kita alihkan rapat ke kantor-kantor untuk mengurangi biaya rapat," katanya. Dia menyebutkan APBD Pokok 2025 Kota Makassar senilai Rp5,7 triliun. Dari alokasi itu, Pemkot masih tetap akan melihat bagaimana postur dan struktur APBD tersebut.

Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Makassar, Muhammad Dakhlan, menyebutkan salah satu bentuk efisiensi yang telah dijalankan adalah pemangkasan anggaran perjalanan dinas sebesar 30 persen.

7. Efisiensi anggaran di sektor pendidikan bikin rakyat bingung

BEM dari sejumlah kampus se-Kota Makassar menggelar unjuk rasa bertajuk Indonesia Gelap, Jumat (21/2/2025). IDN Times/Darsil Yahya

Koordinator Nasional (Kornas) Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menilai, belum ada kesepahaman antar kementerian maupun pemerintah daerah mengenai efisiensi anggaran, khususnya di sektor pendidikan. 

"Akibatnya, masyarakat semakin bingung. Pemerintah seharusnya transparan dan tidak menutupi fakta. Ini membuktikan bahwa tata kelola anggaran pendidikan kita masih semrawut dan tidak terkoordinasi dengan baik,” kata Ubaid, Minggu (23/2/2025).

Buktinya, kata dia, Menkeu Sri Mulyani menyatakan bahwa tidak ada pemotongan anggaran untuk beasiswa dan KIP, namun fakta di lapangan menunjukkan hal yang berbeda.

Dalam presentasi Kemen Dikti Saintek, jelas disebutkan bahwa dari 844.174 mahasiswa penerima KIP-Kuliah yang masih berkuliah (on going), sebanyak 663.821 mahasiswa tidak akan menerima dana KIP-Kuliah pada 2025. Ini berarti ratusan ribu mahasiswa berisiko putus kuliah akibat tidak adanya pendanaan.

"Begitu pula di Kemendikdasmen, saat rapat di Komisi X DPR RI, disampaikan bahwa beberapa program beasiswa juga terdampak, seperti Beasiswa Unggulan, Beasiswa Darmasiswa, dan Beasiswa Indonesia Maju," kata dia.

Ubaid menyebut, pemangkasan anggaran juga berdampak pada berkurangnya jumlah penerima bantuan pendidikan. Program Indonesia Pintar (PIP) yang selama ini membantu anak-anak dari keluarga kurang mampu, lanjut Ubaid, mengalami penurunan jumlah penerima.

Tahun 2024, jumlah penerima PIP tercatat 18,6 juta siswa, namun untuk tahun 2025 turun menjadi 17,9 juta siswa, sebagaimana disampaikan dalam paparan Kemendikdasmen di Komisi X DPR RI.

“Meski pemerintah mengklaim tidak ada pemotongan dana PIP, tetapi mengapa jumlah penerimanya berkurang dibanding tahun lalu? Ini tentu meresahkan masyarakat, apalagi masih banyak kasus penghentian bantuan PIP serta penyalahgunaan dana,” kata Ubaid.

Di tingkat perguruan tinggi, pemangkasan anggaran semakin memukul mahasiswa penerima KIP-Kuliah. Sebanyak 663.821 mahasiswa penerima KIP-K terancam tidak dapat melanjutkan studi karena tidak mendapatkan pendanaan. Ini adalah situasi darurat yang harus segera ditindaklanjuti oleh pemerintah.

Dia pun menilai, kebijakan anggaran pendidikan saat ini mengindikasikan lemahnya komitmen pemerintah terhadap pendidikan. Pemotongan anggaran, inkonsistensi pernyataan antar kementerian, serta berkurangnya jumlah penerima bantuan pendidikan merupakan bentuk nyata dari ketidakseriusan pemerintah dalam memastikan akses pendidikan bagi seluruh warga negara.

Dia pun mendesak pemerintah merevisi kebijakan anggaran pendidikan agar lebih berpihak pada sektor yang benar-benar membutuhkan, khususnya Kemendikdasmen-Kemen Dikti Saintek yang memiliki tanggung jawab langsung terhadap pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi.

Pemerintah, lanjutnya, harusnya menjamin transparansi dan konsistensi informasi terkait anggaran pendidikan agar masyarakat tidak terus dibingungkan dengan pernyataan yang bertolak belakang.

"Memastikan tidak ada pemangkasan bantuan pendidikan, seperti PIP dan KIP-Kuliah yang berdampak langsung pada akses pendidikan bagi siswa dan mahasiswa dari keluarga kurang mampu," kata dia.

Sektor pendidikan justru harus diperkuat, termasuk dalam hal anggaran. "Jika tidak, ini akan menyalahi mandatory spending minimal 20 persen yang wajib ditunaikan oleh pemerintah, sebagaimana termaktub dalam UUD 1945, pasal 31," kata dia.

Sementara itu Muhammad Rizal, pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Medan (Unimed) dan Larispa juga mendesak agar efisiensi anggaran agar tidak merugikan dunia pendidikan. Menurutnya, efisiensi anggaran bagus dilakukan karena masyarakat melalui sekolah swasta sudah banyak berpartisipasi membangun dunia pendidikan melalui penyediaan sekolah-sekolah swasta.

"Jadi, akses pendidikan buat masyarakat khususnya untuk sekolah mulai jenjang SD, SMP hingga SMA itu bagus menurut saya," katanya pada IDN Times, Minggu (23/2/2025).

Dia juga menegaskan, biaya operasional sekolah dan gaji tenaga honorer, tidak boleh diefisiensikan.

"Seperti kemajuan ekonomi dan kualitas, kita harus berpikir untuk perkembangan d idunia pendidikan sehingga harus dilakukan pengkajian yang mendalam," kata dia.

Ubaid mengingatkan pemerintah bahwa pendidikan adalah investasi masa depan bangsa. "Jangan biarkan anak-anak dan mahasiswa Indonesia menjadi korban kebijakan yang tidak berpihak pada mereka," kata dia.

Tim penulis: M Iqbal dan Khaerul Anwar (Banten) | Eko Agus dan Indah Permata Sari (Sumut) | Komang Yuko Utami (Bali) |  Riyanto dan Ardiansyah Fajar (Jawa Timur) | Ashrawi Muin (Sulawesi Selatan) | Erik Alfian (Kalimantan) | Tama Wiguna (Lampung) | Herlambang Jati Kusumo (DIY) | Lia Hutasoit, Triyan Pangastuti, dan Yosafat Diva Bagus (Jakarta) 

Editorial Team