Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Siti Juliantari Rachman, mengatakan, pengadaan barang dan jasa pada proyek JRSCA tidak sesuai dengan kebutuhan.
Ardi menanggapi bahwa JRSCA sudah didiskusikan sebelum tahun 2007 dan dituangkan dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) badak Jawa tahun 2007 sampai dengan 2017.
Ardi membeberkan, dokumen roadmap JRSCA tahun 2015 - 2025 dengan SK Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam yang menyatakan bahwa pembangunan JRSCA itu mutlak dilakukan mengingat bahwa kenaikan populasi harus di atas 20 persen agar Badak Jawa tetap lestari.
“Berdasarkan data TNUK bahwa selama satu dekade ini kelahiran badak Jawa hanya 3 ekor per tahun rata-rata dan akan berdampak kepunahan secara sistematis. Belum lagi dengan menurunnya DNA yang ada selama ini akibat perkawinan sedarah/kerabat,” ucap Ardi.
Untuk itu, menurut Ardi, diperlukan bangunan dan fasilitas untuk breeding terkontrol, termasuk untuk mempercepat masa kawin, mempersingkat waktu sapih, termasuk ke arah ART atau Artifisial Reproduktion Teknologi dan bio bank untuk meningkatkan angka kelahiran badak Jawa dan perbaikan kondisi DNA.
Adapun proses perencanaan pembangunan JRSCA telah melalui tahapan sesuai prosedur dengan telah disusunnya studi kelayakan (feasibility study) pembangunan JRSCA pada tahun 2018 yang penyusunannya difasilitasi Yayasan Badak Indonesia.
Pada tahun 2021 melalui anggaran SBSN, dokumen studi kelayakan tersebut kemudian direvisi oleh Balai TNUK bekerja sama dengan tim ahli dari IPB, melalui swakelola tipe 2.
Bahkan, lanjut Ardi, di tahun yang sama tim ahli dari IPB juga menyusun Dokumen Enviromental Impact Assesment (EIA) sebagai prasyarat yang diminta oleh Unesco sebelum proses pembangunan JRSCA dilakukan.
“JRSCA ini juga telah ada feasility study (FS) yang dilakukan oleh IBP tahun 2021,” kata dia.
Bantahan pernyataan pengusaha dalam pengerjaan proyek
Ardi membantah pernyataan pengusaha asal Ujung Kulon bernama Samsuri yang menyebut proses lelang pekerjaan konstruksi di TNUK dilakukan menggunakan metode lelang terbatas.
“Penerapan lelang terbatas terhadap proses lelang proyek JRSCA tahun 2021-2023 sehingga hanya segelintir perusahaan yang ikut proses tender adalah tidak benar,” kata Ardi.
Menurutnya, istilah "lelang terbatas" berdasarkan peraturan pengadaan barang/jasa terbaru, sudah tidak dipergunakan lagi sesuai perka Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) RI Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Melalui Penyedia.
Ardi mengungkapkan, pelaksanaan pemilihan penyedia jasa konstruksi pada pekerjaan pembangunan JRSCA terdiri dari 18 paket tender pekerjaan konstruksi dan 2 paket seleksi pekerjaan perencanaan dan manajemen konstruksi (pengawasan).
“Dikarenakan keterbatasan personel pokja (kelompok kerja-red) pemilihan, maka Balai TNUK mengajukan permohonan bantuan tenaga pokja pemilihan melalui surat S.1081/T.12/TU/Ren/12/2020 tanggal 3 Desember 2020,” katanya.
Adapun komposisi pokja pemilihan paket pekerjaan Pembangunan JRSCA itu berasal dari satuan kerja (satker) TNUK 2 orang dan dari instansi pusat sebanyak 5 orang.
Dia menegaskan, proses pemilihan penyedia dilakukan secara terbuka dan diumumkan dalam aplikasi Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan penjelasan masing-masing paket pekerjaan.
Ardi juga membantah perusahaan pemenang menyerahkan pekerjaannya lapangan kepada subkontraktor.
Ardi mengatakan, sesuai aturan mengenai subkontrakor dalam Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana terakhir diubah dalam Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021 berkaitan dengan prestasi pekerjaan, pembayaran kepada penyedia baru dapat dilakukan ketika kontraktor utama telah melunasi pembayaran dan melampirkan bukti pembayaran/pelunasan terhadap sub-kontraktor sesuai dengan realisasi pekerjaannya, ini diatur dalam Pasal 53 ayat (3).
Pada pengadaan barang/jasa dalam bentuk tender/seleksi internasional pada Pasal 63 ayat (3), badan usaha asing perlu melakukan kerja sama usaha, salah satunya dalam bentuk subkontrak.
Dalam hal mencapai tujuan pengadaan dan meningkatkan peran serta usaha mikro usaha kecil atau UMKM dan koperasi, maka penyedia usaha non-kecil atau koperasi dapat melakukan kerja sama dalam bentuk salah satunya subkontrak, jika ada usaha kecil atau koperasi yang memiliki kemampuan di bidang yang bersangkutan.Iini diatur di Pasal 65 ayat (7).
“Dengan demikian subkontrak merupakan skema kerja sama usaha yang dimungkinkan untuk dapat dilakukan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, menjadi bentuk kerja sama usaha yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan pengadaan barang/jasa pemerintah, karena dengan adanya skema ini (subkontraktor) memberikan perluasan / peningkatan peran serta usaha kecil dan koperasi,” kata Ardi.
Ardi menyampaikan, secara keseluruhan tidak ada kontraktor pelaksana yang men-subkontrakkan pekerjaannya, yang ada adalah bahwa sebagian kontraktor melibatkan vendor lokal dalam mengerjakan pekerjaannya, baik untuk pelibatan tenaga kerja dan pembelian barang, terutama berupa batu belah dan agregat.
“Bahwa pada setiap tahapan mulai penandatanganan kontrak MC - 0, MC -40, MC -60, MC80, MC -100, direktur dari masing-masing kontraktor pelaksana selalu hadir di lokasi pekerjaan mulai dari dokumen pemilihan hingga kontrak/SPK, PPK tidak menginstruksikan adanya pekerjaan yang di subkontrakkan,” katanya.
Di sisi lain, Ardi juga membantah penyedia menggunakan pasir pantai dalam proyek JRSCA. Ardi menilai, fakta yang terjadi di lapangan bahwa pada tanggal 10 Juni 2022, pihak Balai TNUK mendapatkan informasi dari konsultan manajemen konstruksi terkait adanya beberapa kontraktor yang telah membeli pasir hasil galian masyarakat di muara Sungai Cikawung.
Kemudian pada tanggal 11 Juni 2022, pihak Balai TNUK bersama dengan konsultan, tim teknis dinas PUPR dan tim pendamping dari Inspektorat Jenderal Kementerian LHK telah melakukan pemeriksaan lapangan atas adanya dugaan penggunaaan pasir muara tersebut.
“Dari hasil pemeriksaan lapangan tersebut didapatkan fakta bahwa kontraktor pelaksana dengan terpaksa membeli pasir tersebut karena warga lokal yang menjualnya dan setengah memaksa untuk dibeli pasirnya dengan alasan agar warga lokal di desa Ujung Jaya mendapatkan penghasilan dari menjual pasir tersebut,” kata dia.
Pada saat itu, pasir muara tersebut belum sempat dipergunakan oleh kontraktor pelaksana, sehingga pihak Balai TNUK memerintahkan untuk mengembalikan pasir tersebut kepada penjualnya sehingga tidak ada di lokasi proyek.
“Bahkan ada beberapa kontraktor pelaksana yang menyumbangkan pasir muara tersebut untuk pembangunan masjid yang berada di sekitar Desa Ujung Jaya dan Taman Jaya,” ucap Ardi.
Jadi, kata Ardi, pada saat pemeriksaan oleh tim Balai TNUK bersama dengan tim teknis PUPR dan tim pendamping Inspektorat Jenderal Kementerian LHK pasir muara yang telah dibeli dari warga lokal belum sempat dipergunakan.
Atas kejadian tersebut, Balai TNUK mengeluarkan instruksi melalui surat nomor : S. 25/T.12/DIPA-PBJ/SBSN/6/2022 tanggal 13 Juni 2022.
Ardi menyebut, pengusaha bernama Samsuri merupakan pengusaha lokal yang ditunjuk oleh pihak YABI untuk melaksanakan kegiatan pekerjaan konstruksi awal pembangunan JRSCA yang dimulai pada tahun 2010 sampai dengan 2011.
Adapun pekerjaannya, pembangunan kantor JRSCA YABI yang terletak di Legon Pakis, pembangunan Pos Jaga Cilintang yang terletak di Cilintang, pembangunan pagar pembatas JRSCA sepanjang kurang lebih 6 km.
“Keseluruhan anggaran bersumber dari anggaran YABI sehingga pelaksanaan pemilihan penyedia tidak mengikuti aturan tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah,” kata Ardi.
Kemudian, tuduhan bahwa pelaksanaan pekerjaan tidak melibatkan orang-orang lokal, Ardi pun membantahnya. Berdasarkan data pelaksanaan asal penyedia pekerjaan konstruksi adalah dari Serang 6, Pandeglang 10, Bandung 1, Karawang 2, Jakarta 1 penyedia.
“Berdasarkan data tersebut diambil kesimpulan bahwa sebanyak 50 persen pelaksana pekerjaan konstruksi berasal dari lokal Pandeglang,” katanya.