Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Times/Muhamad Iqbal

Lebak, IDN Times - Semenjak tahun 2017 lalu, isu adanya upaya meng-Islam-kan, atau “Islamisasi” warga adat suku Baduy sudah kencang berembus di kalangan peneliti dan bahkan sempat mengisi jagat maya media sosial.

Isu tersebut semakin menggema lantaran di awal 2017 itu pula mulai menjamur yayasan-yayasan yang membangun kamp-kamp penampungan mualaf yang diklaim sebagai orang suku Baduy yang dipandang secara stereotipe sebagai komunitas warga yang masih primitif dan belum beragama.

Tapi, sejak aliran penghayat kepercayaan sah diakui negara dan boleh masuk KTP, benarkah umat Sunda Wiwitan dan  Baduy tetap ditempatkan dalam status sebagai orang tidak beragama? Apakah dengan pengakuan negara tersebut, mereka masih boleh dijadikan objek rekrutmen anggota baru bagi agama-agama besar?

IDN Times berusaha mencari informasi kebenaran adanya isu yang sudah hangat diperbincangkan oleh warganet bahkan kalangan peneliti itu.

Beberapa fakta berhasil kami kumpulkan. Lantas benarkah ada misionaris Islam yang memulai gerakan Islamisasi suku Baduy?

1. Setiap tahun, selalu ada orang Baduy yang keluar dari komunitas adatnya

IDN Times/AshariAR

Urang Kanekes, sebutan asli suku Baduy, adalah komunitas adat yang mendiami hulu sungai Ciujung, sebuah perbukitan di selatan Banten yang kehidupannya sudah tak asing dengan agama Islam. Sudah jamak diketahui Banten merupakan basis pemeluk Islam yang besar.

Pun secara geografis, keseharian mereka selalu akan berinteraksi dengan orang-orang beragama Islam. Baduy Luar berbatasan dengan Ciboleger dan Baduy Dalam berbatasan langsung dengan Cijahe, dua pemukiman Muslim yang berbatasan langsung dengan tanah adat suku Baduy.

Tak pernah sekali pun terdengar adanya gesekan di wilayah-wilayah perbatasan mereka. Hingga pada 2017 muncullah isu datangnya para misionaris Islam yang hadir melalui yayasan-yayasan amal yang menyediakan rumah dan fasilitas penunjang untuk Baduy yang telah mualaf.

Jaro Saija, Kepala Desa Kanekes (semacam kepala pemerintahan desa adat suku Baduy) kepada IDN Times, Jumat (9/8) lalu, menyebut benar adanya warga Baduy yang keluar dari Baduy dan kepercayaannya sebagai pemeluk agama wiwitan setiap tahun. Meski begitu, jumlahnya tak signifikan. Rata-rata alasannya adalah tak sanggup mengikuti aturan adat.

Keluarnya orang Baduy dari komunitas adat beberapa waktu lalu karena orang-orang dari masyarakat adat dianggap belum beragama. Tapi, sejak aliran penghayat kepercayaan sah diakui negara dan boleh masuk KTP, benarkah umat Sunda Wiwitan, Kaharingan, Parmalim, dan sebagainya menurunkan angka orang Baduy keluar dari komunitas adatnya?

"Untuk masyarakat Baduy yang keluar dari adat Baduy memang ada saja. Setiap tahunnya keluar rata-rata mereka yang keluar dari adat Baduy karena mereka tidak mampu bertahan dengan adat," kata Saija.

Dan mereka yang memilih menjadi Landeuh, harus menerima konsekuensi tak lagi memiliki hak untuk menempati perkampungan Baduy dan menggarap lahan di tanah adat milik suku Baduy.

Saija mengungkapkan, mereka yang Landeuh (keluar dari kepercayaan dan adat istiadat Baduy) tak sanggup mengikuti tata cara hidup seperti, tak boleh menggunakan teknologi dan hidup secara sederhana, baik secara ekonomi mau pun secara pergaulan sosial.

"Sebenarnya masyarakat Baduy itu hidup sederhana yang penting Waluya, yang berarti kebutuhan apa saja ada (berkecukupan). Namun tidak ada keinginan untuk memiliki rumah gedong atau kendaraan karena tidak boleh oleh hukum adat yang berlaku," ungkapnya.

Dijelaskan Saija, 13.600 jiwa warga Baduy Dalam mau pun Baduy Luar, tersebar di 65 kampung yang terbagi sekitar 12.800 jiwa Baduy Luar dan sekitar 800 jiwa di Baduy Dalam yang hidup di tiga kampung yang masih memegang teguh istiadat hidup tanpa teknologi dan pola hidup sederhana. Seperti tercermin dari ajaran turun-temurun adat istiadat mereka;

“Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang diruksak, lojor teu meunang dipotong, pendek teu meunang disambung,"

Yang artinya, “gunung tidak boleh dihancurkan, lembah tidak boleh dirusak panjang tidak boleh dipotong pendek tidak boleh disambung”. Sebuah sastra lisan yang menjadi pedoman hidup mereka. Kesederhanaan adalah jalan mereka menuju Tuhan.

Pun fakta itu yang ada di lapangan ketika IDN Times mengunjungi mereka. Orang-orang Baduy itu sendiri bisa saja menjadi lebih dari hidup sederhana dengan keuletan mereka dalam bekerja.

Namun menjadi kaya bukanlah hal baik bagi mereka. Mereka akan merasa malu kepada Dewi Sri (Dewi padi/rezeki dewa-dewi dalam ajaran Baduy) jika tidak mensyukuri apa yang mereka hasilkan dengan mengikuti hawa nafsu duniawi yang akan mendatangkan angkara murka dari Shang Hyang Widi.

2. Banyak aturan adat, kata-kata Puun adalah fatwa

Editorial Team

Tonton lebih seru di