Foto hanya ilustrasi. (IDN Times/Irma Yudistirani)
Sebagai salah satu tujuan wisata kelas dunia, Bali pun belum sepenuhnya terlepas dari persoalan sampah.
Bali boleh dibilang menjadi salah satu wajah Indonesia di pentas dunia. Menjaga Bali dari sampah menjadi hal penting, terutama ketika sektor pariwisata mulai menggeliat di tengah pandemik.
“Kalau (sampah) tidak betul-betul ditangani dengan baik, dengan cepat, profesional ya, Bali itu akan hancur. Apalagi di pariwisata," kata Komang Sudiarta pada Kamis (16/9/2021) malam.
Pria yang akrab disapa Om Beno ini pun tak hanya diam dan menjadi motor gerakan Malu Dong sejak 2009. Sudah 12 tahun, Komang konsisten mengajak dan merubah mental millennials di Bali agar lebih disiplin terkait sampah.
Laki-laki yang akrab disapa Om Bemo ini menilai bahwa masalah lingkungan adalah masalah kehidupan, yang ia artikan sebagai masalah bagi generasi yang akan datang.
Menurutnya kini sudah sekitar 60 persen dari generasi muda Bali yang mau mendedikasikan diri untuk peduli lingkungan bersama Malu Dong. Namun pendidikan mental peduli lingkungan ini, menurutnya, tetap tergantung pemimpin daerah. Begitu pula dengan para pengusaha, harus peduli dengan produk yang mereka hasilkan dan pasarkan sehingga bisa lebih ramah lingkungan.
Kesadaran serupa juga coba digaungkan melalui gerakan Trash Hero. Salah satu aktivis dan bendahara Trash Hero yang tinggal di Desa Kesiman Kertalangu, Denpasar, Putu Evi (39) menyampaikan bahwa ia mulai bergerak untuk lingkungan sejak tahun 2002.
Gerakan ini bermula dari keprihatinan banyaknya sampah di pinggir Pantai Biaung, terutama plastik. Lalu tahun 2004 ia memulai gerakan kecil dengan membawa tas kain sendiri dan berhenti menggunakan kantong plastik saat berbelanja. Semangatnya kian bertambah setelah semakin banyak muncul aksi kepedulian terhadap sampah, sebagaimana yang diunggah oleh sejumlah akun di media sosial.
“Apakah kita benar mau memberikan generasi yang buruk? Dari kita yang harus memulai. Kita yang menyadari, kita yang memulai. Jadi itu yang memotivasi dulunya,” ungkapnya.
Pada tahun 2007, Putu Evi mulai mendekati Kepala Desa Kesiman Kertalangu dan memulai gerakan peduli lingkungan dari tempat tinggalnya.
Evi mengungkapkan kegiatan bersih-bersih pantai yang pernah dilakukannya adalah membersihkan sampah pembungkus makanan yang dibuang begitu saja oleh para pengunjung. Sampah dari bungkus lumpia atau tipat tahu tersebut banyak ditemukan sengaja diselipkan di antara pasir pantai. Selain itu juga ada sedotan plastik yang banyak dibuang sembarangan. “Sedotan, kami sering banyak dapat,” katanya.
Selain itu, ia juga memerangi penanganan sampah dengan cara dibakar. Ia pun tak segan menegur para pelaku pembakar sampah. Menurutnya, apabila tidak ditegur langsung, maka ia mengambil potret pembakaran sampah tersebut dan meneruskannya ke Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DLHK) untuk segera ditangani.
Millennial asal Medan, Abdul Latif Wahid Nasution, mencoba menawarkan solusi penanganan lewat apa yang dia kuasai: teknologi.
"Sadar atau tidak persoalanan sampah ini tak pernah kunjung selesai. Saya berpikir mungkin lewat teknologi, persoalan sampah ini bisa diselesaikan,” kata pria berusia 26 tahun itu kepada IDN Times, Jumat (24/9/2021).
Dia pun membuat aplikasi Kepedulian Lingkungan (Kepul.id). "Kebijakan pemerintah untuk menerapkan protokol kesehatan, seperti menjaga jarak dan menghindari kerumunan, membuat aplikasi ini justru diminati masyarakat. Sampah rumah tangga tetap ada setiap hari," tuturnya.
Aplikasi Kepul ini merupakan startup atau perusahaan rintisan layanan pengelola sampah online. Platform ini didirikan pada 2018. Namun, kata Latif, aplikasi yang dibuatnya ini eksis pada 2020. Lebih lanjut, aplikasi ini dibentuk sebagai upaya optimalisasi jual beli sampah yang dapat didaur ulang.
Cara kerjanya sebenarnya sederhana. Aplikasi ini digunakan masyarakat yang ingin menjual sampah dan juga para pengepul yang pencaharian dengan membeli sampah. Para pengepul kemudian dijual kembali kepada pengepul besar, ataupun pabrik daur ulang sampah.
“Jadi singkatnya masalah sampah yang ada pada hari ini bisa diselesaikan lewat teknologi dengan berkolaborasi bersama para pengepul sampah itu sendiri,” ucapnya.
Di masa pandemik COVID-19, aplikasi ini semakin berkembang dengan bantuan 40 orang anggota dan memiliki 10 mitra untuk kerja sama mengepul sampah. "Merekalah yang menjemput sampah ke rumah-rumah masyarakat, baru mengantarnya ke kantor pusat Kepul yang berada di Jalan Gurilla ini,” jelasnya.
“Secara tak langsung aplikasi jasa sampah ini membantu masyarakat mengatasi sampah-sampah rumah tangganya,” sambungnya.
Saat ini, Latif bilang, masyarakat yang menjadi mitra semakin mengerti bahwa sampah memiliki potensi. Setidaknya ada 30 jenis sampah yang diterima timnya untuk diganti menjadi uang.
Beberapa di antaranya adalah sampah minyak jelantah, kertas, kardus, kaleng, aluminium, logam, botol plastik, cup plastik, sampah elektronik, sampah organik, dan sampah anorganik lainnya.