Dari gerakan pesantren dan madrasah, KH Syam'un bertransformasi menjadi tokoh militer dan ikut andil dalam sejarah kemerdekaan Indonesia khususnya di Banten. Status sosialnya sebagai ulama di Banten menjadikan Syam'un diangkat menjadi komandan batalyon (daidancho) Peta bersama KH Achmad Chatib bentukan Jepang.
Setelah Jepang kalah oleh pasukan sekutu, KH Syam'un kemudian diangkat menjadi ketua Badan Keamanan Rakyat (BKR) untuk Keresidenan Banten dan Serang pada 1945. Badan ini kemudian yang mengusir tentara Jepang di markas Kenpetai melalui baku tembak di kampung Benggala.
Pada Oktober 1945 begitu dibentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Komandemen 1/Jawa Barat membentuk Divisi 1 TKR dengan nama Divisi 1000/1 dengan panglima divisi KH Syam'un dengan pangkat kolonel. Di bawah pimpinannya, Divisi 1 TKR menumpas Gerakan Dewan Rakyat yang menangkap tokoh-tokoh penting pemerintahan di Banten.
Bahkan karena gerakan ini, ada desas-desus Banten akan melepaskan diri dari Indonesia, hal ini kemudian mendorong Sukarno dan Hatta harus turun ke Banten dan meyakinkan rakyatnya.
Pada 1946, terjadi penggantian jabatan di Banten dan pilihnya jatuh ke KH Syam'un menjadi Bupati Serang. Naiknya ulama di lingkungan pemerintahan diharapkan menjaga kedaulatan RI dari ancaman termasuk tentara Belanda yang datang setelah Jepang kalah dari sekutu.
Saat Tentara Keamanan Rakyat mengalami perubahan dan restrukturisasi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) pada 1946, Komandemen 1/Jawa Barat berubah menjadi Divisi I/Siliwangi dan dipimpin oleh Panglima Jenderal Mayor AH Nasution.
Divisi ini kemudian membawahi lima brigade salah satunya Brigade I/Tirtayasa di Banten dengan komandan Kolonel KH Syam'un. Dalam perkembangannya, karena merangkap menjadi Bupati, ia kemudian diganti oleh Letnan Kolonnel Soekanda Bratamenggala.