Ilustrasi (IDN Times/Arief Rahmat)
Lantaran perusahaannya yang bukan bergerak di bidang esensial, hal tersebut membuat pabrik tempat Ahmad bekerja semakin terpuruk. Apalagi, saat pemerintah mewajibkan 100 persen work from home (WFH) untuk perusahaan nonesensial.
"Waktu itu kita masih boleh kerja, tapi memang gantian kerjanya, misalnya yang biasanya Senin sampai Sabtu masuk, waktu itu cuma 2 kali seminggu," ungkap Ahmad.
Lantaran diupah harian, Ahmad Syahroni pun hanya bisa menerima gaji Rp360 ribu saja per bulan. Gaji sebesar itu dia dapat setelah bekerja 2 kali dalam seminggu.
"Gaji saya Rp45 ribu aja sehari, kalau seminggu cuma dua hari kerja ya seminggu Rp90 ribu. Satu bulan Rp360 ribu, dapat apa?" kata Ahmad.
Meski begitu, ia masih berusaha bertahan bekerja di pabrik tersebut lantaran memang produksi pabrik di mana dia bekerja turun signifikan. Terlebih, ia hanya sekolah sampai jenjang SMP saja.
"Jadi prinsip saya, ya kita sama-sama susah lah sama pabriknya juga, masih mending saya engga dipecat, masih ada pemasukan walau sedikit," ujarnya.
Namun, lantaran kasus pandemik yang tak kunjung hilang, ia pun akhirnya terkena PHK, bersama puluhan orang lainnya.
"Tiba-tiba perusahaan bilang ada pengurangan karyawan, karena udah gak sanggup bayar. Akhirnya ya saya kena juga," jelasnya.