Potret Ang Ban Tjiong dan sampul buku "Pantoen Melajoe-Makassar" karyanya. (Kolase Berbagai Sumber)
Sulit mengesampingkan peran Ang Ban Tjiong dalam kesusasteraan tradisional Makassar. Dia menapaki usaha akulturasi budaya jauh melampaui zamannya. "Pantoen Melajoe-Makassar" pun jadi bentuk kecintaan Ang pada Makassar.
Dalam lembar pengantar buku kumpulan pantunnya, ia menulis bahwa tujuan memadukan bahasa Melayu dan Makassar semata-mata "boeat propagandaken bahasa Makassar." Ya, Ang sudah menganggap bahasa Makassar perlu diperkenalkan ke khalayak luas sejak dekade 1930-an.
Coba baca baik-baik pantun dari dekade 1930-an ini :
"Sarung sutera nijaik-jaik (dijahit-jahit), dalam rumah tukang manjaik (penjahit).
Nona seorang minang kungai (paling kusuka), paling kupuji-puji bajik pakmaik (baik hati)."
Bagi orang Makassar, guratan kata-kata itu boleh jadi sesuatu yang asing. Seperti diketahui, tradisi berpantun sejatinya jadi ciri khas orang-orang Melayu. Tak ada catatan pasti kapan kebiasaan bertukar empat syair rima identik ini mulai dilakukan. Namun banyak sejarawan merujuk pada abad 16, saat sufi asal Aceh bernama Hamzah al-Fansuri mulai menulis bait-bait pujian pada Sang Pencipta.
Kembali pada pantun unik pembuka tulisan ini. Terdapat beberapa kosakata asal bahasa Makassar sebagai pendamping serasi ungkapan khas Melayu. Nah, pantun Melayu-Makassar ini lahir dari guratan pena seorang sastrawan Tionghoa bernama Ang Ban Tjiong pada dekade 1930-an.
Pakar sastra Tionghoa-Melayu Myra Sidharta dalam buku Dari Penjaja Tekstil sampai Superwoman (KPG, 2004), mencatat Ang Ban Tjiong lahir di Makassar pada 3 Juni 1910. Ia merupakan anak kedua dari lima bersaudara pasutri Ang Tjong Sioe dan Lie Loan Tien Nio.
Setelah lulus dari Hollandsch Chineesche School (HCS), sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda untuk anak-anak keturunan Tionghoa. , Ang remaja mulai mengenal dunia jurnalistik saat bekerja di redaksi majalah Favoriet yang dipimpin pamannya sendiri, Ang Tjong Giao. Sayangnya Favoriet hanya berusia singkat lantaran minimnya jumlah pembaca.
Ang pindah ke harian Pemberita Makassar. Di sinilah Ang mulai menaruh minat besar terhadap gerakan teosofi (filsafat keagamaan) yang dibawa novelis Inggris Annie Bessant dan filsuf asal India yakni Jiddu Khrisnamurti. "Alhasil tulisannya kebanyakan mengenai mistik, kehidupan spiritual dan masalah sosial," jelas Myra.
Masuk dekade 1930-an, Ang turut membidani kebangkitan kembali pers Tionghoa setelah memimpin surat kabar Sin Hwa Po yang berdiri pada Desember 1933. Dengan nama pena "Mendoesin" (artinya: terbangun sebentar saat tertidur), ia melanjutkan tulisan-tulisan bertema spiritual dan sosial.
Yerry Wirawan, dalam artikel "In Memorial Ang Ban Tjiong 1910-1938, Buku Pantun Melayu-Makassar," menjelaskan minat Ang terhadap sastra mulai meningkat juga pada 1930-an. Ia rajin menulis cerita pendek, sebelum akhirnya dikenal lewat pantun.
Lantas dari mana Ang mendapat ide memadukan bahasa Melayu dan Makassar dalam pantun? Myra Sidharta menyebut ini tak lepas dari ketertarikan masyarakat Makassar (termasuk Tionghoa) kepada tradisi bertutur puitis Tanah Melayu saat itu. Namun, tak ada yang berani mengambil inisiatif memadukan dua bahasa dan tiga budaya. Ang memberanikan diri jadi pelopor.
"Ang mengambil jalan keluar dengan menciptakan pantun-pantun bilingual Makassar dan Melayu. Di sekujur pantun-pantunnya, kedua bahasa digunakan seimbang dan konsisten. Pantun itu dipengaruhi oleh pantun-pantun Melayu Jakarta dan bahasa Makassar pada setiap akhir lariknya. Dan terlihat penggunaan leksikal yang merupakan hibrid (perpaduan) dari tiga budaya: Makassar, Melayu dan Tionghoa," jelas Myra.
Ang Ban Tjiong meninggal pada 1930 di usia yang sangat muda, 28 tahun. Namun pantun Melayu-Makassar karyanya tetap diingat oleh banyak orang Tionghoa hingga dekade 1980-an.
Saat nama dan karyanya mulai dilupakan, inisiatif menjaga tradisi lisan akulturasi tetap dilakukan sejumlah pihak. Contohnya, "Pantoen Melajoe-Makassar" telah diterbitkan ulang sebanyak dua kali. Yakni pada 2004 dan tahun 2020, bertepatan dengan Hari Jadi ke-351 Sulsel.
Tulisan ini hanya merangkum sebagian kecil jejak tradisi dan akulturasi budaya Tionghoa di Tanah Air. Namun, seperti konsep kebangsaan Gus Dur bahwa tak ada yang namanya pribumi dan nonpribumi.
Di mata Gus Dur, juga gak ada yang namanya “keturunan masyarakat asli” di Indonesia, karena bangsa ini dibentuk oleh perpaduan tiga ras, yakni Melayu, Astro-melanesia, dan China. Gak heran kan, Gus Dur mendapat julukan Bapak Tionghoa Indonesia.
Entah berkelakar atau tidak, Gus Dur pernah menyebut dirinya sebagai "China tulen."
Selamat merayakan Imlek bagi kamu merayakannya....
Tulisan ini merupakan kolaborasi dari beberapa hyperlocals IDN TImes. Penulis: Feny Maulia Agustin, Pito Agustin Rudiana, Anggun Puspitoningrum, Muhamad Iqbal, Ayu Afria Ulita Ermalia, Silviana, Debbie Sutrisno, Indah Permatasari, Masdalena Napitupulu,
Ach. Hidayat Alsair