Didik menegaskan selama VM selalu berpindah-pindah tempat, sebab selain di Kejati Banten tersangka VM juga tengah diburu beberapa instansi lain.
"Dia sudah merasa (menjadi target pencarian), dia buronan pajak, leasing juga dikejar, sehingga dia pindah-pindah rumah. Buron beberapa pihak, mungkin setelah ini pihak pajak juga memeriksa dia," tegasnya.
Diketahui sebelumnya, kasus ini bermula ketika tahun 2017, ada perjanjian kerja sama antara PT SC dengan PT SCC untuk pengadaan aplikasi Smart Transportation SC.
"Dimana item pekerjaan berdasarkan kontrak yaitu berupa pengadaan Smart vehicle Toyota sebanyak 90 unit, Link Internet, Cloud System App M force 20 user dan Internet Device laptop atau Hp sebanyak 90 unit dengan nilai Rp19 miliar," kata Didik.
Menurut Didik, untuk melaksanakan pekerjaan tersebut, PT SCC menunjuk PT TAP sebagai subkontrak melalui mekanisme penunjukkan langsung dengan nilai kontrak sekitar Rp17 miliar.
"Penunjukan langsung kepada PT TAP sebagai mitra oleh PT SCC merupakan praktik pengkondisian atas inisiasi tersangka BP bersama VM," kata Didik.
Didik menegaskan PT TAP bukanlah perusahaan Telkom Group, Telkom Sigma Group, Partnership Kemitraan, Provide atau operator, agen tunggal, distributor, principal, pemegang lisensi untuk produk jasa spesifik.
"PT SC sebagai pemberi pekerjaan kepada PT SCC merupakan perusahaan yang terafiliasi dengan PT TAP sebagai vendor Telkomsigma. Dimana pengendali kedua perusahaan yaitu VM dan Direksi kedua perusahaan tersebut mempunyai hubungan keluarga, yaitu VM sebagai Presiden Direktur PT SC dengan LM Direktur Utama PT TAP," tegasnya.
Didik menerangkan PT SCC telah membayar ke PT TAP seluruhnya sebesar Rp17 miliar, namun Pekerjaan tidak ada atau tidak ada barangnya alias fiktif.
Didik mengatakan dalam kasus ini PT SCC menderita kerugian sebesar sebesar Rp17 miliar, dari nilai pekerjaan yang telah dibayarkan kepada PT TAP. "PT TAP tidak pernah melaksanakan project dan PT SC selaku customer tidak pernah melakukan pembayaran kepada PT SCC," katanya.