Ilustrasi Pencucian Uang (IDN Times/Aditya Pratama)
Dalam berkas dakwaan yang dibacakan sebelumnya, JPU menjabarkan kasus dugaan korupsi tersebut berawal saat terdakwa masih bekerja sebagai pegawai Pos Indonesia Pandeglang bagian persuratan. Pada tahun 2020, terdakwa bertemu dengan Andi Sofa dan membicarakan soal pengurangan pajak desa.
Saat itu, terdakwa mengatakan bahwa dapat membantu pengurangan pajak dengan ketentuan cukup membayar pajak 50 persen dari seharusnya pajak yang dibayar 100 persen.
Terdakwa kemudian meminta Andri Sofa mencari kepala desa. Merasa tak punya kenalan, Andri kemudian menghubungi Aep Saifullah. Akhirnya, ketiganya bertemu di rumah Aep yang diketahui Kepala Desa Seuat Jaya, Kecamatan Petir, Kabupaten Serang.
"Terdakwa mengatakan kepada Aep bahwa terdakwa bisa membantu membayar pajak dengan ketentuan pembayaran pajak cukup 50 persen dari total pembayaran pajak dengan kode billing pajak 100 persen yang harus dibayarkan oleh pihak Desa," katanya.
Saat pertemuan itu, disepakati pembagian uang hasil pemotongan 50 persen tersebut. Kesepakatannya yakni terdakwa sebesar 45 persen, Andri Sofa 30 persen dan Aep Saefullah 25 persen dari 50 persen besaran pajak yang tidak terbayarkan.
Setelah terjadi kesepakatan itu, Aep Saifullah kemudian menghubungi sejumlah perangkat desa terkait pengurangan pajak tersebut. Kabar dari Aep Saifullah tersebut menarik minat sejumlah perangkat desa di Kabupaten Serang untuk menggunakan jasa yang ditawarkan Aep Saifullah.
Diungkapkan Endo, desa yang menggunakan jasa terdakwa tersebut yakni Kampung Baru, Mongpok, Sukarame, Sukaraja, Cilayang, Sukaratu, Junti, Parakan, Kareo dan Katulisan.
Uang pajak desa tersebut diterima oleh Aep Saifullah, Dedy Ardiansyah (mantan sekretaris Desa Mekarbaru), Heru Chaerul Haqie, dan Dede Sapa'at.
"Jumlah uang yang diterima Heru Chaerul Haqie dari Desa Katulisan tahun 2020 Rp20 juta sampai dengan Rp30 juta, tahun 2021 Rp20 juta sampai Rp30 juta," katanya.