Saat era kepemimpinan Gubernur Jenderal Belanda era penaklukan Belanda oleh Prancis era Napoleon Bonaparte, yakni Herman Willem Daendels, proyek strategis pembangunan jalan raya Anyer-Panarukan digelar.
Dalam berbagai catatan, tujuan pembangunan jalan ini untuk dua kepentingan, yaitu membantu penduduk dalam mengangkut komoditas pertanian ke gudang pemerintah atau pelabuhan dan untuk kepentingan militer.
Di sinilah mulai terbentuk distrik militer dan gudang-gudang penyimpanan lada dan kopi (rempah-rempah) dari Banten Selatan (Pulosari dan Karang) sebelum di bawa ke Batavia.
Pada tahun 1808-1809 Daendles mulai pembuatan jalan dengan rute Batavia-Banten. Tahap pertama 1808 merupakan pembuatan jalan untuk membuka poros Batavia–Banten pada tahun 1808, pada masa itu Daendels memfokuskan kegiatannya pada pembangunan dua pelabuhan di utara yakni Merak dan di selatan yakni Ujung Kulon.
Jalur ini melalui garis pantai dari Batavia menuju Carita, Caringin, menembus Gunung Pulosari, Jiput, Menes, Pandeglang, Lebak hingga Jasinga, Bogor.
Tahap kedua 1809, dimulai dari Anyer melalui Pandeglang jalan bercabang dua menuju Serang di utara dan Lebak di selatan. Daendels juga sempat memerintahkan pembuatan jalan di selatan Pulau Jawa, rutenya di mulai dari sebelah barat Jawa yakni; Bayah menuju Pelabuhan Ratu, terus ke selatan ke daerah Sukabumi, Cimanuk dan seterusnya hingga ke Pangandaran, Purwokerto dan Yogyakarta.
Banten merupakan tempat yang paling banyak memiliki cabang-cabang Jalan Deandels sebab Banten cukup banyak menghasilkan rempah-rempah. Anyer dijadikan titik kilometer nol karena kota ini sudah di pola Daendels untuk mempermudahkan pengangkutan hasil bumi dari Banten menuju dua pelabuhan yaitu pelabuhan Merak dan Pelabuhan Ujung Kulon.
Banten sendiri sudah dilokalisasi dalam segi hasil bumi oleh Daendels karena Banten Subur dan Kaya akan hasil buminya terutama rempah-rempah.