Bom Waktu Sampah Plastik Kala Pandemik 

Pandemik mendorong penggunaan plastik sekali pakai meningkat

Serang, IDN Times - Di tengah pandemik COVID-19, ada satu masalah krusial lain yang bisa menjadi bom waktu: sampah plastik. 

Penggunaan barang-barang berbahan plastik --termasuk yang sekali pakai-- meningkat.  Dan masalah ini terjadi di seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Pandemik memang memaksa orang untuk memakai masker, sarung tangan plastik, face shield, membungkus makanan, hingga membeli barang serba online demi terhindar dari COVID-19. 

Sebelum wabah COVID-19 menghantam saja, dunia belum bisa menemukan formula tepat menangani sampah plastik, baik itu di negara maju yang sudah baik dalam program daur ulang, maupun di negara berkembang dan miskin. 

Berdasarkan data The National Plastic Action Partnership (NPAP), ada sekitar 4,8 juta ton per tahun sampah plastik di Indonesia yang tidak terkelola dengan baik. Sebanyak 48 persen sampah dibakar di ruang terbuka, 13 persen sampah tidak dikelola dengan layak di tempat pembuangan sampah resmi, serta sisanya 9 persen mencemari saluran air dan laut.

Bagaimana kondisi sampah plastik di tengah pandemik COVID-19? 

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sempat menggelar survei pada 20 April-5 Mei 2020 di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) dengan judul Dampak PSBB dan WFH Terhadap Sampah Plastik di kawasan JABODETABEK.

Dari survei itu, LIPI berkesimpulan, mayoritas warga Jabodetabek melakukan belanja online yang cenderung meningkat di tengah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sebelumnya, mayoritas peserta survei mengaku hanya 1 hingga 5 kali belanja online dalam satu bulan. Angka itu meningkat menjadi 1 hingga 10 kali selama bekerja dari rumah atau PSBB.

Tak hanya itu, penggunaan layanan delivery makanan lewat jasa transportasi online pun meningkat. Padahal, 96 persen paket dibungkus dengan plastik yang tebal dan ditambah dengan bubble wrap.

Selotip, bungkus plastik, dan bubble wrap merupakan pembungkus berbahan plastik yang paling sering ditemukan. Bahkan di kawasan Jabodetabek, jumlah sampah plastik dari bungkus paket mengungguli jumlah sampah plastik dari kemasan yang dibeli.

IDN Times Hyperlocals membuat tulisan bersama yang merangkum persoalan sampah plastik--terutama di tengah pandemik ini. Berikut ulasannya. 

1. Mengandung plastik, masker dan limbah medis memerlukan ratusan tahun agar bisa terurai

Bom Waktu Sampah Plastik Kala Pandemik Sampah plastik (IDN Times/M Shakti)

Plastik merupakan salah satu hasil pengolahan minyak bumi. Untuk mengurai secara sempurna, plastik butuh waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk terurai sempurna. Sampai saatnya terurai, plastik pun beredar dalam ekosistem kehidupan dan sangat berbahaya. 

Di tengah pandemik saat ini, sejumlah alat kesehatan pun sebagian terbuat dari plastik. Sekretaris Utama LIPI Nur Tri Aries Suestiningtyas pernah mengungkap, timbulan limbah medis di Indonesia-- termasuk masker dan Alat Pelindung Diri (APD)-- tercatat telah mencapai 1.662,75 ton pada rentang bulan Maret sampai September 2020.

Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI Agus Haryono juga menyampaikan bahwa limbah medis--terutama masker yang mengandung plastik-- membutuhkan waktu hingga ratusan tahun untuk bisa terurai.

Hal ini, kata dia, tentu menjadi masalah bagi lingkungan, karena plastik sulit terurai. Selain itu, limbah masker juga sangat infeksius sehingga dapat membahayakan masyarakat, terutama petugas kebersihan.

Hasil kajian dari peneliti LIPI juga menemukan adanya timbulan limbah APD yang mengandung plastik yang dibuang di daerah teluk Jakarta, seperti di Marunda dan Cilincing. "Peningkatannya mencapai 5 persen di masa pandemik,” ungkap Agus, seperti dikutip dari laman LIPI.

 Menurutnya, permasalahan limbah medis yang terjadi saat ini juga disumbang oleh banyaknya  pembuangan limbah APD oleh beberapa pihak secara sembarangan. 

Baca Juga: 350 Ton Sampah Liar di Kota Serang Tidak Terangkut Selama Pandemik

2. Persoalan sampah plastik menyeruak di sejumlah daerah

Bom Waktu Sampah Plastik Kala Pandemik Ilustrasi sampah (ANTARA FOTO/Irwansyah Putra)

Penanganan sampah menjadi masalah yang sampai saat ini belum terpecahkan di setiap daerah.

Di Ibu Kota Banten, Dinas Lingkungan Hidup Kota Serang mencatat adanya peningkatan signifikan sampah rumah tangga selama pandemik COVID-19.

Selama PSBB, banyak orang yang memusatkan sebagian besar aktivitasnya di rumah. Kebiasaan berbelanja pun tampak bergeser ke arah pembelanjaan daring. 

Kepala Dinas LH Kota Serang Ipiyanto mengatakan, dampak dari peningkatan sampah rumah tangga itu, timbulnya 350 sampah liar per hari di Kota Serang. Dari total 800 ton sampah yang mampu terangkut sebanyak 450 ton.

"Bukan sisanya (sampah) yang tidak terangkat tapi masyarakat tidak membuang sampah pada tempatnya," kata Ipi saat dikonfirmasi, Jumat (24/9/2021).

Dia mengatakan mayoritas sampah liar yang ada merupakan sampah plastik. Layanan pesan antar yang menjadi penyumbang sampah plastik terbesar.

"Masyarakat melakukan pemesanan melalui online dengan ada Gofood dan Grabfood. Jadi sampah plastik di perumahan lebih banyak. Sebelumnya kan sering makan di luar," katanya.

Persoalan serupa dihadapi Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Sumatra Selatan (DLHP Sumsel). Dinas ini mencatat peningkatan sampah plastik selama pandemik COVID-19. Pertambahan sampah plastik akibat meningkatnya aktivitas masyarakat dari rumah selama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

"Otomatis sampah yang dihasilkan dari kertas dan plastik meningkat," ungkap Kepala Seksi Pengelolaan Sampah B3 dan Limbah B3 dari DLHP Sumsel, Ali Husin kepada IDN Times, Kamis (23/9/2021).

Masyarakat Sumsel rata-rata menghasilkan 1.575 ton sampah per hari. Kota Palembang penyumbang sampah terbanyak sekitar 1.200 ton. Jumlah tersebut tidak jauh berbeda dengan data harian sampah yang dihasilkan pada 2020.

Hanya saja, DLHP Sumsel mencatat sampah plastik yang dihasilkan mengalami peningkatan, sedangkan sampah organik justru mengalami penurunan.

"Kalau tahun 2020, sampah organik (sisa makanan) masih berimbang dengan sampah anorganik (plastik dan kaleng). Namun pada tahun ini justru di sisi organik berkurang anorganik bertambah," kata dia. 

Sementara itu, Madiun juga melaporkan penambahan sampah yang masuk ke tempat pembuangan akhir (TPA) Kaliabu.

Peningkatannya, sekitar 10 ton rata-rata per hari selama pandemik COVID-19. Bila sebelumnya hanya 30 hingga 40 ton rata-rata per hari, kini menjadi 40 sampai 50 ton.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Madiun, Edy Bintardjo mengatakan 10 hingga 15 persen dari total sampah itu berjenis plastik. Mayoritas berupa bungkus makanan maupun minuman.

Sedangkan, Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang juga mencatat rata-rata produksi sampah pada tahun 2021 di Ibu Kota Jawa Tengah mencapai 800--900 ton per hari. Dari jumlah itu sampah plastik menyumbang 18 persen dari total produksi sampah per hari, sedangkan sisanya ada sampah organik 61 persen, dan sampah lain-lain sebesar 21 persen.

Baca Juga: Sampah di Madiun Meningkat 10 Ton Perhari Selama Pandemik

3. Pentingnya kesadaran millennials soal sampah

Bom Waktu Sampah Plastik Kala Pandemik IDN Times/Irma Yudistirani

Sebagai salah satu tujuan wisata kelas dunia, Bali pun belum sepenuhnya terlepas dari persoalan sampah. 

Bali boleh dibilang menjadi salah satu wajah Indonesia di pentas dunia. Menjaga Bali dari sampah menjadi hal penting, terutama ketika sektor pariwisata mulai menggeliat di tengah pandemik. 

“Kalau (sampah) tidak betul-betul ditangani dengan baik, dengan cepat, profesional ya, Bali itu akan hancur. Apalagi di pariwisata," kata Komang Sudiarta pada Kamis (16/9/2021) malam.

Pria yang akrab disapa Om Beno ini pun tak hanya diam dan menjadi motor gerakan Malu Dong sejak 2009. Sudah 12 tahun, Komang konsisten mengajak dan merubah mental millennials di Bali agar lebih disiplin terkait sampah.

Laki-laki yang akrab disapa Om Bemo ini menilai bahwa masalah lingkungan adalah masalah kehidupan, yang ia artikan sebagai masalah bagi generasi yang akan datang.

Menurutnya kini sudah sekitar 60 persen dari generasi muda Bali yang mau mendedikasikan diri untuk peduli lingkungan bersama Malu Dong. Namun pendidikan mental peduli lingkungan ini, menurutnya, tetap tergantung pemimpin daerah. Begitu pula dengan para pengusaha, harus peduli dengan produk yang mereka hasilkan dan pasarkan sehingga bisa lebih ramah lingkungan.

Kesadaran serupa juga coba digaungkan melalui gerakan Trash Hero. Salah satu aktivis dan bendahara Trash Hero yang tinggal di Desa Kesiman Kertalangu, Denpasar, Putu Evi (39) menyampaikan bahwa ia mulai bergerak untuk lingkungan sejak tahun 2002.

Gerakan ini bermula dari keprihatinan banyaknya sampah di pinggir Pantai Biaung, terutama plastik. Lalu tahun 2004 ia memulai gerakan kecil dengan membawa tas kain sendiri dan berhenti menggunakan kantong plastik saat berbelanja. Semangatnya kian bertambah setelah semakin banyak muncul aksi kepedulian terhadap sampah, sebagaimana yang diunggah oleh sejumlah akun di media sosial.

“Apakah kita benar mau memberikan generasi yang buruk? Dari kita yang harus memulai. Kita yang menyadari, kita yang memulai. Jadi itu yang memotivasi dulunya,” ungkapnya.

Pada tahun 2007, Putu Evi mulai mendekati Kepala Desa Kesiman Kertalangu dan memulai gerakan peduli lingkungan dari tempat tinggalnya.

Evi mengungkapkan kegiatan bersih-bersih pantai yang pernah dilakukannya adalah membersihkan sampah pembungkus makanan yang dibuang begitu saja oleh para pengunjung. Sampah dari bungkus lumpia atau tipat tahu tersebut banyak ditemukan sengaja diselipkan di antara pasir pantai. Selain itu juga ada sedotan plastik yang banyak dibuang sembarangan. “Sedotan, kami sering banyak dapat,” katanya.

Selain itu, ia juga memerangi penanganan sampah dengan cara dibakar. Ia pun tak segan menegur para pelaku pembakar sampah. Menurutnya, apabila tidak ditegur langsung, maka ia mengambil potret pembakaran sampah tersebut dan meneruskannya ke Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DLHK) untuk segera ditangani.

Millennial asal Medan, Abdul Latif Wahid Nasution, mencoba menawarkan solusi penanganan lewat apa yang dia kuasai: teknologi. 

"Sadar atau tidak persoalanan sampah ini tak pernah kunjung selesai. Saya berpikir mungkin lewat teknologi, persoalan sampah ini bisa diselesaikan,” kata pria berusia 26 tahun itu kepada IDN Times, Jumat (24/9/2021). 

Dia pun membuat aplikasi Kepedulian Lingkungan (Kepul.id). "Kebijakan pemerintah untuk menerapkan protokol kesehatan, seperti menjaga jarak dan menghindari kerumunan, membuat aplikasi ini justru diminati masyarakat. Sampah rumah tangga tetap ada setiap hari," tuturnya. 

Aplikasi Kepul ini merupakan startup atau perusahaan rintisan layanan pengelola sampah online. Platform ini didirikan pada 2018. Namun, kata Latif, aplikasi yang dibuatnya ini eksis pada 2020. Lebih lanjut, aplikasi ini dibentuk sebagai upaya optimalisasi jual beli sampah yang dapat didaur ulang.

Cara kerjanya sebenarnya sederhana. Aplikasi ini digunakan masyarakat yang ingin menjual sampah dan juga para pengepul yang pencaharian dengan membeli sampah. Para pengepul kemudian dijual kembali kepada pengepul besar, ataupun pabrik daur ulang sampah. 

“Jadi singkatnya masalah sampah yang ada pada hari ini bisa diselesaikan lewat teknologi dengan berkolaborasi bersama para pengepul sampah itu sendiri,” ucapnya.

Di masa pandemik COVID-19, aplikasi ini semakin berkembang dengan bantuan 40 orang anggota dan memiliki 10 mitra untuk kerja sama mengepul sampah. "Merekalah yang menjemput sampah ke rumah-rumah masyarakat, baru mengantarnya ke kantor pusat Kepul yang berada di Jalan Gurilla ini,” jelasnya.

“Secara tak langsung aplikasi jasa sampah ini membantu masyarakat mengatasi sampah-sampah rumah tangganya,” sambungnya. 

Saat ini, Latif bilang, masyarakat yang menjadi mitra semakin mengerti bahwa sampah memiliki potensi. Setidaknya ada 30 jenis sampah yang diterima timnya untuk diganti menjadi uang.

Beberapa di antaranya adalah sampah minyak jelantah, kertas, kardus, kaleng, aluminium, logam, botol plastik, cup plastik, sampah elektronik, sampah organik, dan sampah anorganik lainnya. 

4. Bersama, ayo kita kurangi penggunaan plastik dalam keseharian

Bom Waktu Sampah Plastik Kala Pandemik IDN Times/M Shakti

Di Semarang, kampanye pengendalian sampah plastik itu digalakkan, salah satunya, melalui Gerakan Wegah Nyampah dan Pilah Sampah.

Kepala DLH Kota Semarang, Sapto Adi Sugihartono mengatakan, Gerakan Wegah Nyampah ini digalakkan seiring berlakunya kebijakan perwal pengendalian sampah plastik tersebut. ‘’Kami mengimbau agar warga mengurangi kegiatan yang menimbulkan sampah. Implementasinya, larangan penggunaan plastik dalam aktivitas perdagangan. Bakal ada empat sanksi yang diterapkan bagi pelanggarnya,’’ katanya saat dihubungi IDN Times, Jumat (24/9/2021).

Dalam kebijakan tersebut bentuk plastik yang tidak diperbolehkan dan dikendalikan penggunaannya antara lain, kantong plastik, sedotan, pipet plastik, dan styrofoam. Sedangkan pelaku usaha yang tidak boleh menggunakan plastik dalam aktivitasnya di antaranya hotel, toko modern, restoran dan penjual makanan. Pengecualian berlaku bagi yang belum bisa menemukan alternatif lain selain plastik.

Sepanjang pemberlakuan kebijakan pengendalian sampah plastik tersebut, dalam dua tahun terakhir ini cukup efektif untuk menekan jumlah produksi sampah di Kota Semarang, khususnya mengurangi sampah plastik.

‘’Pada awal-awal penerapan, produksi sampah masih di angka rata-rata 1.200--1.300 ton per hari. Kini sudah 800-900 ton per hari. Kondisi ini turun karena ada pengelolaan sampah dari hulu,’’ tutur Sapto.

Kini pengelolaan sampah dari hulu pun semakin digencarkan melalui Gerakan Pilah Sampah. Gerakan ini mengimbau masyarakat atau setiap rumah tangga untuk memilah sampah antara yang organik dengan anorganik.

Sampah anorganik seperti plastik, kertas, karet, dan lainnya yang bisa didaur ulang bisa disetorkan atau ditabung di bank sampah terdekak untuk didaur ulang menjadi berbagai kerajinan atau barang yang lebih bernilai guna.

"Adanya upaya mengurangi dan mengelola sampah dari bank sampah, TPS3R, maupun pengepul-pengepul sampah ini membuat potensi ekonomi dari sampah bisa ditumbuhkan,’’ kata Sapto.

Dalam survei LIPI berjudul ‘Dampak PSBB dan WFH Terhadap Sampah Plastik di kawasan JABODETABEK,’ sebanyak 60 persen responden menilai bahwa penggunaan bungkus plastik tidak mengurangi risiko terpapar COVID-19. Hal ini sesuai dengan penelitian bahwa virus COVID-19 dapat bertahan di permukaan plastik selama tiga hari, lebih lama disbanding permukaan lain seperti kardus atau stainless steel.

Data survei LIPI juga mengungkap tingkat kesadaran warga yang tinggi terhadap isu sampah plastik. Namun, sayangnya, kesadaran masyarakat belum dibarengi dengan aksi nyata. “Hanya separuh dari warga yang memilah sampah untuk didaur ulang. Hal ini berpotensi meningkatkan sampah plastik dan menambah beban tempat pembuangan akhir selama WFH (work from home),” kata peneliti Pusat Penelitian Oseonografi LIPI, Intan Suci Nurhati.

Intan mengajak setiap individu untuk melakukan aksi nyata dalam mengurangi sampah plastik, khususnya selama pembatasam aktivitas masyarakat ini. Beberapa cara tersebut antara lain: mendukung penjual dan produk tanpa pembungkus plastik, meminta penjual untuk mengurangi pembungkus plastik, membeli barang dalam kemasan besar atau satukan bermacam daftar belanjaan dalam satu pembelian, memanfaatkan kembali pembungkus plastik setelah dibersihkan, pilah sampah plastik untuk daur ulang, membeli barang dari lokasi yang lebih dekat dapat membantu mengurangi emisi gas rumah kaca.

There is 'U' in 'SOL-U-TION'. Mari kita bersama-sama mengurangi sampah plastik dalam berbelanja online,” imbuh Intan.

Baca Juga: Cara Jitu Warga Banyumanik Semarang Kurangi Timbunan Sampah, Bikin Bangga!

Baca Juga: Pandemik COVID-19, Perlu Kehati-hatian Dalam Tangani Sampah

5. Perlu bijak soal plastik dan limbahnya di tengah pandemik

Bom Waktu Sampah Plastik Kala Pandemik Ilustrasi Sampah Medis (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)

Di sisi lain, kehati-hatian dalam penanganan sampah di tengah pandemik saat ini menjadi sorotan. Masker sekali pakai dan berbagai alat kesehatan yang terbuat dari plastik membutuhkan penanganan khusus. 

Kepala Loka Penelitian Teknologi Bersih LIPI, Ajeng Arum Sari menilai, pengetahuan masyarakat akan pengelolaan limbah APD masih sangat minim. “Hal ini sangat beresiko pada pencemaran lingkungan dan penularan virus penyebab COVID-19 melalui limbah APD,” ungkapnya.

Dia menegaskan, penyadartahuan dan kolaborasi antar pihak terkait untuk penanganan limbah mutlak dilakukan. "LIPI telah mempunyai berbagai teknologi  penanganan limbah masker, lebih lanjut perlu regulasi yang jelas dan kerjasama dengan pihak terkait untuk penerapannya” tutur Ajeng.

Pemerintah daerah, kata dia, telah ikut berpartisipasi dalam menyediakan sarana dan prasarana bagi pembuangan limbah masker yang bersumber dari rumah tangga, seperti penyediaan dropbox. “Sedangkan limbah APD pada fasilitas kesehatan yang berasal dari pasien COVID-19 dapat dimusnahkan dengan insenerator ataupun autoklaf berpencacah,” terang Ajeng.

Sementara Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI Agus Haryono juga menambahkan, permasalahan limbah medis yang terjadi saat ini juga disumbang oleh banyaknya  pembuangan limbah APD oleh beberapa pihak secara sembarangan. “Kasus pelanggaran pembuangan limbah APD akan makin banyak muncul jika tidak adanya sinergi dari berbagai pihak terkait. “Bersinergi akan mempercepat hilirisasi inovasi teknologi yang dimiliki oleh LIPI untuk menangani limbah medis,” tegasnya.

Agus menyebutkan, beberapa teknologi yang dimiliki LIPI diantaranya insenerator sampah infeksius COVID-19, alat penghancur jarum suntik, riset daur ulang limbah masker serta instalasi pengolahan air limbah dengan plasma nanobubble.

Masalah limbah di tengah pandemik ini juga disadari betul oleh Budi Isroi. Dia merupakan Ketua Paguyuban TPS 3R Dusun Bayen, Purwomartani, Kalasan, Sleman. 

Budi menjelaskan, ada yang berbeda dari proses pengambilan dan pemilahan sampah. Jika sebelumnya sampah selalu dipilah baru kemudian residunya dibuang, maka untuk sampah warga yang tengah isolasi mandiri disendirikan dan tidak mengalami proses pemilahan.

"Ketika ada warga isoman, sampah kita tidak pilah, dimasukkan ke plastik khusus langsung dibuang ke TPA. Jadi lebih ke jaga-jaga," ungkapnya pada Rabu (22/9/2021).

Baca Juga: Startup Kepul Ciptaan Anak Medan, Ajak Warga Olah Sampah Jadi Duit

Baca Juga: Gerakan Wegah Nyampah Tekan Produksi Sampah Plastik di Semarang 

6. Bank sampah, sebuah alternatif solusi

Bom Waktu Sampah Plastik Kala Pandemik Ilustrasi daur ulang sampah (ANTARA FOTO/Syaiful Arif)

Daur ulang menjadi formula yang diyakini bisa memberi nilai tambah pada limbah plastik. Seiring kampanye daur ulang ini, bank sampah pun bermunculan di berbagai daerah sebagai salah satu solusi masalah sampah.

Salah satunya di Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Bank sampah juga menjadi salah satu pilihan solusi Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Samarinda untuk menangani persoalan sampah, khususnya plastik.  Kepala Dinas LH Kota Samarinda Nurrahmani mengungkap, saat ini ada  33 titik lokasi bank sampah di Samarinda. 

Keberadaan bank sampah ini dirasakan efektif dalam mengurangi sampah plastik di Samarinda.  

“Dari teman-teman bank sampah, aktif memberikan bimbingan pada warga, salah satunya dimulai dari memilah sampah. Meskipun muatan TPA kita saat ini sudah di luar batas, namun syukurnya, sampah plastik itu sudah mulai berkurang,” ungkapnya. 

Namun klaim Pemkot Samarinda soal sampah itu diragukan Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kaltim Yohana Tiko. Pemerintah daerah, menurut dia, tidak secara spesifik menyampaikan indikator penurunan kuantitas sampah plastik di Samarinda. 

“Kalau pemerintah bilang biasa saja dan sama jumlah dengan sebelum pandemik itu indikator penilaiannya seperti apa? Kami tidak bisa menerima data ini," ujarnya. 

Yohana mengatakan, keberadaan sampah plastik persentasenya makin mengkhawatirkan setiap tahun. Terlihat dari jumlah tumpukannya di tempat  pemrosesan akhir sampah.  

Walhi Kaltim pun mempertanyakan komitmen pemerintah dalam mengurangi penggunaan plastik. Seperti mendorong pelarangan penggunaan kantong plastik pada toko-toko besar di Samarinda.  

“Ada aturan kan pedagang dilarang menyediakan plastik sebagai kantong belanja. Mulai dari pedagang online makanan minuman, terus kaki lima, market, perkantoran, perkampungan itu harus terus diselipkan sosialisasi tentang sampah plastik," tegasnya.

Walhi Kaltim yakin sampah plastik di Samarinda sudah masuk pada status pandemik plastik.

Di tempat terpisah, pengelola bank sampah di Samarinda mengalami penurunan omzet setoran sampah plastik dibanding hari-hari biasa. Selama musim pandemik ini, sampah plastik dikumpulkan maksimal sebanyak 20 ton dari biasanya bisa mencapai 60 ton. 

“Jauh sekali angka penurunannya. Kita juga belum tahu karena apa. Mungkin saja memang masyarakat sudah mulai sadar dalam penggunaan plastik itu,” kata Ketua bank sampah di Samarinda bernama Ames ini. 

Namun pernyataan ini langsung dipatahkan seorang pengepul sampah plastik Samarinda yang panen rezeki selama pandemik ini. Bahkan dalam kurun waktu sehari saja, limbah plastik mampu dikumpulkan bisa mencapai 1 ton dari biasanya hanya 30 kilo.

Para pemulung menyetorkan sampah plastik lebih banyak dari sebelumnya. “Dulu saya bisa panen itu 1 hari sampai 30 kilo, sekarang 1 hari sudah mau 1 ton loh,” kata pengepul sampah plastik di Samarinda Yono (50). 

Sementara itu, geliat bank sampah juga terlihat di Kota Bandar Lampung. Ketua RT di Kelurahan Talang bernama Zainal menyebut, warga di sekitarnya sudah aktif mengadakan kegiatan bank sampah. Bahkan kampungnya pernah ditunjuk mengikuti kegiatan dari NGO lingkungan dalam mengampanyekan bank sampah.

Dia mengakui, bank sampah yang di lingkungannya itu dikelola secara mandiri. "Namanya kita mandiri, jadi ya butuh dukungan lah biar lebih gencar lagi. Sebenarnya bank sampah masih jalan kok, masih ada kawan yang angkut sampahnya. Karena masyarakat udah sadar sampah itu punya nilai ekonomis," terangnya.

Ke depan Zainal berharap, dalam dua rumah memiliki satu takakura. Sehingga sampah rumah tangga bisa terkoordinir di beberapa titik. "Sampah itu bukan musuh kita, tapi sampah itu berkah dan ada nilai ekonomis," tuturnya.

Sementara salah satu bank sampah di Tangerang, Banksasuci, sempat mampu membuat Taman Bank Sampah Sungai Cisadane. Sayangnya, tujuan wisata ini terpaksa tutup selama PPKM. 

Baca Juga: Aktivis Lingkungan Banksasuci Bantu Percepatan Vaksinasi 

Baca Juga: Kisah Warga Bandar Lampung Olah dan Sedekah Sampah, Anggap Berkah

Plastik membutuhkan puluhan hingga ratusan tahun untuk terurai. Bijaklah dalam menggunakannya, meskipun di tengah pandemik saat ini. Ingat: There is 'U' in 'SOL-U-TION'. Mari kita bersama-sama mengurangi sampah plastik.

Plastik yang kita gunakan hari ini menjadi masalah serius bagi kesehatan anak dan cucu kita, guys.

Baca Juga: Sampah Plastik di Samarinda Diklaim Turun selama Pandemik COVID-19

Tulisan ini merupakan kolaborasi hyperlocals IDN Times. Adapun penulisnya adalah: Masdalena Napitupulu, Khaerul Anwar, Anggun Puspitoningrum, Fariz Fardianto, Ayu Afria Ulita Ermalia, Silviana, Sri Wibisono, Rangga Erfizal, Siti Umaiyah, Nofika Dian Nugroho, Siti Umaiyah, M Iqbal.

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya