Dari Imlek Hingga Jejak Tradisi Tionghoa di Bumi Pertiwi             

Akulturasi budaya menghadirkan warna tersendiri

Serang, IDN Times - Sulit rasanya melepaskan perayaan Imlek di Indonesia dari sosok Abdurrahman Wahid, cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Kiai Hasyim Asy’ari. Warga Tionghoa di Indonesia bisa merayakan Imlek secara terbuka berkat sosok yang kerap disapa Gus Dur itu.

Bermula ketika Gus Dur terpilih sebagai Presiden RI ke-4. Pada 17 Januari 2000, Gus Dur menganulir Instruksi Presiden (Inpres) No. 14/1967 yang selama masa Orde Baru dipakai penguasa untuk melarang segala hal berbau Tionghoa--termasuk Imlek-dilakukan secara terbuka. 

Ketika Gus Dur mencabut inpres tersebut, warga Tionghoa begitu bergembira. Sejak tahun itu, Imlek kembali dirayakan dengan terbuka dan meriah.

Hingga kemudian, pandemik COVID-19 melanda Tanah Air pada awal Maret 2020. Segala aktivitas yang mengundang kerumunan dibatasi bahkan dilarang, termasuk kegiatan keagamaan. 

Sedianya, Imlek 2021 jatuh pada Jumat, 12 Februari mendatang. Jelang Imlek, IDN Times Hyperlocals menghadirkan sejumlah artikel bertema tradisi hingga proses akulturasi budaya Tionghoa di Bumi Pertiwi hingga tokoh Tionghoa yang memiliki peran penting.

Selain itu, bagaimana kira-kira perayaan Imlek tahun ini? Apakah tetap meriah atau sunyi senyap? Simak yuk artikel kolaborasi di bawah ini.

Baca Juga: Mengenal Pehcun Tradisi Tahunan Kota Tangerang, Zaman Orba Dilarang

1. Imlek 2021, khidmat tanpa keramaian

Dari Imlek Hingga Jejak Tradisi Tionghoa di Bumi Pertiwi             Infografis Imlek (IDN Times/M Shakti)

Perayaan tahun baru Imlek bagi warga Tionghoa di Palembang pada 2021 nampaknya bakal diselenggarakan tanpa hingar bingar dan keramaian Setidaknya itu yang dikatakan sejumlah pengurus klenteng di sejumlah daerah di Tanah Air.

Pengelola Klenteng Tri Dharma Chandra Nadi (Soei Goeat Kiang), Tjik Harun yang berada di kawasan 10 Ulu, Palembang mengatakan, pihaknya tidak akan menggelar pagelaran barongsai pada 12 Februari mendatang. 

Imlek tahun ini, kata dia, bahkan terpaksa tidak dirayakan dengan kemegahan pemasangan ribuan lampu lampion.

"Dua kegiatan ini dikhawatirkan menimbulkan kerumunan banyak orang dan dapat menjadi penyebaran COVID-19," ujar Pengelola Klenteng Tri Dharma Chandra Nadi (Soei Goeat Kiang), Tjik Harun yang berada di kawasan 10 Ulu, Palembang, Jumat (5/2/2021).

Kebijakan tanpa perayaan itu, kata Harun, sebagai bentuk komitmen pengurus klenteng untuk mengikuti pemerintah daerah yang sudah mengeluarkan aturan melalui surat edaran tentang pelaksanaan tradisi perayaan Imlek di masa pandemik COVID-19.

Meski demikian, ibadah pada malam Imlek, tetap dilaksanakan seperti biasa tanpa dilakukan batasan karena biasanya memang tidak mengundang kerumunan.

"Tapi untuk barongsai, jidor, dan lampion ditiadakan karena ini yang biasanya mengundang orang datang," kata dia.

Mengurangi kegiatan yang mengundang kerumunan juga ditempuh pengelola Vihara Thay Hin Bio di Pesawahan, Kecamatan Telukbetung Selatan, Kota Bandar Lampung. Vihara ini tetap menyiapkan vihara untuk ibadah, namun tidak melaksanakan bazar. 

Padahal, tahun-tahun sebelumnya, vihara ini kerap melaksanakan bazar untuk merayakan Imlek. 

Di Yogyakarta, panitia gelaran tahunan Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY) bakal menempuh kemasan acara yang berbeda. Tahun ini, sebetulnya PBTY sudah berusia 16 tahun.

Tahun-tahun sebelumnya, perhelatan PBTY 2021 ini meriah dengan wisata kuliner sebagai salah satu andalan untuk menarik perhatian pengunjung. Namun, tahun ini tidak ada keramaian dalam PBTY.

“Sesuai kondisi (pandemik COVID-19) ya. Kami menggelar secara virtual,” kata Humas PBTY 2021, Gutama Fantoni saat dihubungi IDN Times, 6 Februari 2021.

Meski virtual, PBTY tetap akan dilaksanakan selama tujuh hari. Tepatnya sejak 20-26 Februari 2021.

Gutama mengakui, membuat acara virutal itu lebih sulit karena harus menyesuaikan antara waktu dengan orang-orang yang akan dilibatkan untuk mengisi acara.

Beberapa narasumber yang telah menyatakan kesediaan untuk mengisi acara antara lain Hudayana dari Benteng Jakarta serta penari dan koreografer, Didik Nini Thowok.

Selain membatasi jumlah pengunjung dan menggelar acara virtual, pengelola Vihara Gunung Timur, yang berada di Jalan Hang Tuah Kecamatan Medan Polonia menerapkan sistem nomor antrean. 

"Karena area cukup luas, kita batasin sekitar 50 orang yang boleh masuk untuk sembahyang, dan itu kita lakukan secara bergantian," kata salah satu pengurus vihara bernama Vicky pada 4 Februari lalu.

Dia juga menegaskan, tidak akan ada ibadah tatap muka, karena biasanya umat yang datang beribadah dan langsung pulang. "Kalau untuk pesta kembang api di vihara gunung timur tidak ada, karena berdekatan dengan gedung pemerintah jadi ditiadakan," tutupnya..

Baca Juga: Imlek, Sembahyang di Vihara Gunung Timur Dibatasi hanya untuk 50 Orang

Baca Juga: Tahun Ini, Tak Ada Pasar Kuliner di Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta

2. Imlek dibayangi pandemik, berkumpul dengan hanya keluarga terdekat

Dari Imlek Hingga Jejak Tradisi Tionghoa di Bumi Pertiwi             

Berkumpul bersama keluarga inti menjadi pilihan beberapa warga Tionghoa keturunan yang merayakan Imlek. Semua dilakukan demi menekan penyebaran COVID-19.

Cindy Fransiba salah satu warga Bandar Lampung yang merayakan Imlek mengatakan, tahun ini tak melakukan banyak persiapan seperti tahun sebelumnya. Namun ia bakal tetap melakukan tradisi seperti memakai baju baru, bagi ampao dan makan bersama keluarga inti. "Karena di rumah aja. Kalau biasanya kan kumpul keluarga besar," jelasnya.

Hal yang sama juga akan dilakukan Cici Anel. Rencananya, ia hanya kumpul bersama keluarga terdekat, tak seperti perayaan tahun-tahun sebelumnya menyambangi ke rumah saudara, teman atau kerabat lainnya.

"Jadi hanya kumpul di rumah nenek aja untuk saudara-saudara yang satu kota. Saat ketemu pun gak bisa sebebas biasanya, harus tetap pakai masker, jaga jarak, rajin cuci tangan, begitu," katanya.

Dalam pelaksanaan Imlek yang sederhana ini, Virya hanya berharap pandemik segera berlalu. Meski tanpa perayaan tak akan mengurangi makna tahun baru Imlek kali ini.

Selain itu, menurut Virya, tahun kerbau nanti merupakan tahun untuk bekerja keras dan kerja cerdas agar bisa memulihkan kembali kondisi ekonomi yang terpuruk.

"Jadi di tahun 2021 ini gak boleh lengah, gak boleh bermalas-malasan karena situasi yang sulit dan tidak pasti ini tentu mendorong kita untuk berupaya apa pun meski berada di rumah tidak duduk diam dan pasrah tapi tetap melakukan banyak hal kebaikan," paparnya

Baca Juga: Perayaan Imlek di Palembang Tanpa Hingar Bingar Barongsai dan Lampion

Baca Juga: Imlek 2021, Tak Ada Bazar dan Perayaan di Vihara Thay Hin Bio

3. Tak ada keramaian, pedagang pernak-pernik Imlek pun terdampak

Dari Imlek Hingga Jejak Tradisi Tionghoa di Bumi Pertiwi             Infografis Imlek (IDN Times/M Shakti)

Tak ada kemeriahan, tak ada keramaian. Imlek di tengah pandemik membawa dampak bagi perajin hingga pedagang pernak-pernik perayaan. 

Salah satu tradisi Imlek yang jarang sekali disorot adalah kebiasaan membakar benda-benda dan uang kertas mainan untuk arwah leluhur. Nah, di Kota Bandung, terdapat satu toko yang sudah berjualan alat sembayang ini sejak 1940-an, yaitu PD Yong Sie yang berada di Gang Ibu Aisah. Toko pembuatan alat sembayang ini tidak terlalu mencolok, karena berada di jalan kecil.

IDN Times bertemu dengan Ko Ayun, pengelola toko sembayang PD Yong Sie pada Kamis (4/2/2021).

Esih, salah satu pengrajin kemudian menghampiri dan mengajak melihat pembuatan barang-barang sembahyang yang diproduksi. Beberapa barang yang dibuat adalah rumah-rumahan, mobil, televisi, kompor gas, gunung emas, koper, hingga orang-orangan yang akan dijadikan pembantu.

"Banyak kami buat. Untuk isi koper saja ini ada pakaian, sepatu, sandal, hingga uang yang nantinya dibakar," kata Esih.

Menurut Esih yang sudah bekerja di toko ini sejak 1992, pelanggan toko ini tak hanya dari Bandung, Sukabumi, Cianjur, namun juga hingga Bogor.  Bahkan, beberapa tahun kemarin penjualan bisa mencapai daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Selama pandemik COVID-19, penjualan alat sembayang ini sangat menurun. Untuk produk koer saja sebelum ada wabah corona penjualan bisa mencapai 2.000 setiap tahunnya.

Tapi selama 2020 barang yang keluar tidak sampai 1.000. Kondisi ini diperparah di mana banyak pembeli yang awalnya sudah memesan kemudian membatalkan pesanannya karena tidak bisa melaksanakan sembayang dengan membakar peralatan tersebut untuk arwah leluhur.

"Jadi barang menumpuk juga di gudang sekarang. Memang masih terpakai, tapi kan kagok (tanggung) sudah produksi," papar Esih.

Pedagang di Palembang bernama  Rini Susilawat juga mengeluhkan hal senada. Menurut dia, pandemik COVID-19 sangat terasa dampaknya jika dibandingkan sebelum momen Imlek berlangsung.

Rini merupakan pemilik Toko Guntur itu berkaitan dengan tradisi masyarakat Tionghoa,  seperti garu, angpao, kertas Shenfu (kertas Hu atau jimat), kalender China dan berbagai bentuk lampion.

"Faktor corona, turun hingga 75 persen pembeli. Apalagi Imlek ini, jauh peminatnya turun drastis lebih dari setengah," ujarnya.

Toko yang terletak di Jalan Sayangan Kawasan Pasar Tradisional 16 Ilir ini sudah puluhan tahun berdiri. Pelanggannya pun gak hanya dari Kota Palembang, melainkan dari beragam Kota/Kabupaten di Sumsel. Rini menyebut, banyak pembeli yang berasal dari wilayah pedesaan.

"Borong dari luar kota ada kebanyakan dari Muara Enim, Prabumulih, Lubuklinggau, Muaratara dan lain-lain. Tapi kalau dari klenteng memang kurang sekali tahun ini," ungkap dia.

Diapun berharap, kondisi ke depannya membaik dan kembali normal seperti sebelum pandemik. "Paling tidak, pendapatan seperti tahun-tahun kemarin," kata dia.

Baca Juga: Nasib Pedagang Pernak-pernik Imlek di Tengah Pandemik COVID-19 

Baca Juga: Imlek di Tengah Pandemik, Perajin Alat Sembahyang Sepi Pembeli

4. Tradisi Tionghoa yang lekat dengan kuliner

Dari Imlek Hingga Jejak Tradisi Tionghoa di Bumi Pertiwi             Cara Buat Kue Bulan Sajian Khas Imlek Masyarakat Tionghoa di Palembang (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Hal lain yang kental dengan Imlek adalah kuliner khas dan biasanya muncul saat tahun baru. Salah satunya, adalah kue bakul. Sebagian orang mengenal panganan ini dengan nama kue keranjang. 

Di Medan, pandemik COVID-19, tidak menyurutkan semangat para pelaku UMKM untuk membuat kue khas Imlek tersebut. Meski sepi, kue bakul akan selalu diincar oleh siapa saja yang merayakan tahun baru Imlek. Sebab, selain untuk dikonsumsi, kue bakul diutamakan sebagai pelengkap ritual sembahyang para dewa dan leluhur.

Salah satu pembuat kue bakul asal Medan, Cece (47), mengatakan dia tetap membuat makanan khas itu tahun ini, meski ada pandemik. "Hadirnya kue bakul sebagai lambang pengharapan agar hidup di tahun baru menjadi manis. Sama manisnya dengan kue bakul," ujar Cece.

Pembuatan kue bakul sudah dikerjakan keluarga Cece sejak tahun 1990-an. "Keluarga besar mulai ama, akong, mama saya, tante, buat ini semua dulu," tambah Cece. 

Kue bakul buatan Cece dinamakan "Kue Bakul Christoper" yang dibanderol Rp60 ribu-Rp90 ribu per kilogramnya. "Satu pack itu ada yang isi 2,3, atau 4 buah. Tergantung permintaan aja," tuturnya. 

Kue khas lainnya yang wajib ada saat Imlek adalah moon cake. Menurut Ellia Sunarlin, penjual moon cake Dapur Mommy Lia Palembang, rasa manis kue bulan berasal dari gula sirup juga isinya, yakni adonan kacang hijau dan kacang merah yang telah dihaluskan sehingga ketika dicicipi kue terasa lembut.

"Bagian luar kue renyah dan tekstur dalam kue lembut. Biar adonan kenyal, bisa ditambah air abu, tapi saya tidak menambahkannya," kata pemilik akun @lia_dapurmommylia itu.

Resep kue bulan ala Ellia bisa kamu klik di sini.

Baca Juga: Cerita Cece, Tiga Dekade Jalani Bisnis Kue Bakul di Medan

Baca Juga: Menjaga Tradisi Resep Leluhur Lunpia Semarang dari Tangan Millennial

5. Festival Cisadane, akulturasi budaya Cina Benteng di Tangerang

Dari Imlek Hingga Jejak Tradisi Tionghoa di Bumi Pertiwi             IDN Times/Muhamad Iqbal

Sejarah panjang tradisi keturunan Tionghoa bisa ditemui-- salah satunya di Kota Tangerang. Banyaknya warga keturunan yang bermukim di wilayah barat ibu kota itu bahkan memberi identitas baru bagi warga keturunan tersebut dengan nama "Cina Benteng".

Kata "benteng" erat kaitannya dengan peninggalan masa kolonialisme di Kota Tangerang yang dulunya dikenal sebagai Benteng batas peperangan dengan Kesultanan Banten.

Lekatnya warga Cina Benteng melahirkan budaya yang sudah terasimilasi dan termodifikasi dengan menyesuaikan kultur asli lokal. Salah satu yang paling kentara adalah Festival Cisadane. Itu salah satu rangkaian kegiatan perayaan pehcun dari orang-orang Tionghoa yang banyak bermukim di wilayah Tangerang, khususnya di sepanjang bantaran Sungai Cisadane.

Kata “Pehcun” sendiri merupakan dialek Amoi (Minan) yang berarti “(men)-dayung perahu ba chuan” dalam bahasa mandarin hari raya ini disebut Duanwujie. Tak heran, perlombaan dayung perahu naga menjadi ritual rutin dalam Festival Cisadane.

Fendi Frengklin, akademisi dan peneliti budaya Tionghoa asal Tangerang menyebut, di Tangerang perayaan Pehcun sudah dilakukan sejak 1910 loh. Wow, lama juga ya. 

Seperti Imlek dan tradisi Tionghoa lainnya, festival ini juga dilarang dilaksanakan di masa Orde Baru. 

"Festival ini lenyap di zaman Orde Baru. Tak hanya itu kami juga banyak yang meninggalkan nama asli kami dengan alasan asimilasi," kata Fendi yang juga seorang etnis Tionghoa Tangerang atau biasa disebut Cina Benteng, kepada IDN Times, Minggu (7/2/2021).

Fendi melanjutkan,  era reformasi membuat festival ini kemudian bisa diselenggarakan kembali hingga sekarang. Biasanya, festival ini digelar akhir Juli hingga pertengahan Agustus. "Festival Pehcun akhirnya menjadi tradisi yang menyatukan warga Kota Tangerang," kata dia.

Sayang, festival ini tak dilakukan sejak 2020 dan tahun ini. Bukan karena alasan politis, namun karena pandemik COVID-19. 

Baca Juga: Pangeran Wiraguna, Arsitek Menara Banten Asal Tionghoa

Baca Juga: Cina Benteng dan Legenda Tjen Tji Lung di Tangerang 

6. Di Bali, dupa menjadi saksi akulturasi budaya Tionghoa lainnya

Dari Imlek Hingga Jejak Tradisi Tionghoa di Bumi Pertiwi             Umat Hindu melakukan persembahyangan Hari Pagerwesi, di Pura Jagatnatha, Denpasar, Bali pada Rabu 3 Februari 2021 (ANTARA FOTO/Fikri Yusuf)

Jejak akulturasi budaya lainnya ada Bali. Umat Hindu di Bali hampir setiap hari menggunakan dupa sebagai sarana persembahyangan.

Budayawan Bali, I Made Bandem, menyampaikan bahwa kebudayaan Tiongkok berkembang sangat baik dan banyak memengaruhi negara lainnya di Asia. Dupa menjadi salah satu bukti adanya bauran budaya ini.

“Itu memang diproduksi di Tiongkok pada awalnya,” ungkap Made Bandem saat dihubungi IDN Times pada Jumat (5/2/2021).

Kemudian, pembuatan dipa ini berkembang ke negara lain seperti Indonesia-- di Bali khususnya. Nah, pada abad ke-7 sampai ke-8 di Tiongkok, di bawah kekuasaan Dinasti Tang, banyak sekali pendeta Buddha yang berziarah ke India melalui Indonesia.

Saat itu, kepercayaan Buddha hampir sama dengan yang tumbuh di Bali, yakni menyalakan api menggunakan pasepan. Pasepan dimaknai sebagai pembakaran kemenyan, kayu cendana, dan kayu majegau untuk wewangian.

“Pada saat itu karena mereka traveling, kan tidak terlalu praktis. Jadi diciptakanlah yang namanya dupa semacam itu," ungkap Made Bandem.

Sejak saat itu dupa mulai digunakan, termasuk di Pulau Bali hingga saat ini. “Saya rasa Bali dapat pengaruh ya dari Tiongkok itu,” ungkapnya.

Baca Juga: Mengenal Awal Mula Masuknya Dupa di Bali, Budayawan: Pengaruh Tiongkok

7. Lumpia Semarang, sebuah akulturasi dan kisah cinta

Dari Imlek Hingga Jejak Tradisi Tionghoa di Bumi Pertiwi             Generasi kelima penemu Lunpia Semarang dan pemilik Java Loenpia, Shella Audry Kurnia. Instagram/@javaloenpia

Jejak akulturasi pun ditemukan dalam kuliner lunpia Semarang. Lumpia merupakan makanan khas Semarang yang lahir dari kisah cinta pemuda asal Tiongkok, Tjoa Thay Joe dan gadis Jawa bernama Wasih.

Kisah mereka berawal pada tahun 1870. Setelah menjadi pasangan, keduanya pun membuat lunpia dengan menyesuaikan selera lidah dari masyarakat Semarang yang mayoritas umat Islam. Mereka mengombinasikan rebung, telur, udang, dan dibumbui dengan bawang putih, gula jawa, lada sehingga menciptakan rasa manis nan gurih dalam setiap gigitannya.

Akulturasi budaya Tiongkok dan Jawa tersebut kini telah menjadi identitas kuliner dan oleh-oleh wajib khas Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah tersebut.

Ketika berkunjung ke Kota Semarang, banyak penjaja lunpia yang berjualan di sejumlah ruas jalan. Adapun, diantara mereka merupakan keturunan dari Tjoa Thay Joe dan Wasih. Para pewaris resep kuliner legendaris itu berupaya melanggengkan lunpia di segala zaman.

Salah satunya Shella Audry Kurnia, pewaris resep Lunpia Semarang dari kalangan generasi millennial. Pemilik Java Loenpia tersebut mulai ikut melanggengkan lunpia sejak tahun 2016. Dia merupakan generasi kelima, keturunan Tjoa Thay Joe dan Wasih.

Perempuan berusia 27 tahun itu mewarisi resep Lunpia Semarang dari kakeknya, Siem Swie Yek yang merupakan generasi ketiga atau cucu dari generasi pertama. Shella pun menceritakan awal mulai menjalani bisnis kuliner oleh-oleh khas Semarang itu.

‘’Memulai bisnis Lunpia ini sebenarnya tidak sengaja. Sebab, Java Loenpia merupakan project tugas akhir kuliah. Namun, setelah menikah saya pengin punya kesibukan sendiri dibandingkan bekerja dengan orang lain. Selain itu, prinsip saya juga tidak mau bergantung secara finansial kepada suami, maka saya realisasikan project Java Loenpia itu,’’ ungkapnya saat dihubungi IDN Times, Jumat (6/2/2021).

Lulusan Culinary Business Universitas Ciputra Surabaya itu ingin melestarikan kembali generasi penerus warisan lunpia yang sempat putus di generasi keempat.

‘’Jadi kakek saya yang mendapat warisan resep lunpia ini tidak bisa meneruskan berjualan, karena mempunyai pekerjaan lain. Kemudian mau diberikan ke anaknya, tapi anaknya perempuan semua dan menantunya punya pekerjaan masing-masing. Maka itu, sempat putus di generasi keempat. Kemudian, baru saya yang memulai lagi, karena kebetulan ilmu pendidikan saya berhubungan dengan bisnis kuliner,’’ jelasnya putri dari pasangan Liem Bobby K dan Susanti itu.

Shella mantap berbisnis lunpia khas Semarang berbekal ilmu yang dikenyam selama kuliah sebagai konsultan bisnis kuliner, resep warisan keluarga, dan dukungan orang-orang terdekatnya. 

Dari sang ibu, Shella mendapatkan resep lunpia warisan kakeknya yang juga perintis Lunpia Gang Lombok. Belum puas dengan resep yang ada, Shella mencoba untuk mengolah dan mengembangkan lagi sesuai selera kekinian.

Kini Lunpia Semarang buatan Java Loenpia telah menjelajah dunia. Melalui konsumen setia mereka, oleh-oleh kebanggaan Kota Semarang itu sudah sampai ke Jepang, Dubai, Korea Selatan, Australia, Hongkong, hingga Afrika. Mereka membawa kudapan tersebut sebagai teman perjalanan dan buah tangan untuk kerabat di sana.

Baca Juga: Menjaga Tradisi Resep Leluhur Lunpia Semarang dari Tangan Millennial

8. Ang Ban Tjiong menapaki usaha akulturasi budaya jauh melampaui zamannya

Dari Imlek Hingga Jejak Tradisi Tionghoa di Bumi Pertiwi             Potret Ang Ban Tjiong dan sampul buku "Pantoen Melajoe-Makassar" karyanya. (Kolase Berbagai Sumber)

Sulit mengesampingkan peran Ang Ban Tjiong dalam kesusasteraan tradisional Makassar. Dia menapaki usaha akulturasi budaya jauh melampaui zamannya. "Pantoen Melajoe-Makassar" pun jadi bentuk kecintaan Ang pada Makassar.

Dalam lembar pengantar buku kumpulan pantunnya, ia menulis bahwa tujuan memadukan bahasa Melayu dan Makassar semata-mata "boeat propagandaken bahasa Makassar." Ya, Ang sudah menganggap bahasa Makassar perlu diperkenalkan ke khalayak luas sejak dekade 1930-an.

Coba baca baik-baik pantun dari dekade 1930-an ini :

"Sarung sutera nijaik-jaik (dijahit-jahit), dalam rumah tukang manjaik (penjahit).
Nona seorang minang kungai (paling kusuka), paling kupuji-puji bajik pakmaik (baik hati)."

Bagi orang Makassar, guratan kata-kata itu boleh jadi sesuatu yang asing. Seperti diketahui, tradisi berpantun sejatinya jadi ciri khas orang-orang Melayu. Tak ada catatan pasti kapan kebiasaan bertukar empat syair rima identik ini mulai dilakukan. Namun banyak sejarawan merujuk pada abad 16, saat sufi asal Aceh bernama Hamzah al-Fansuri mulai menulis bait-bait pujian pada Sang Pencipta.

Kembali pada pantun unik pembuka tulisan ini. Terdapat beberapa kosakata asal bahasa Makassar sebagai pendamping serasi ungkapan khas Melayu. Nah, pantun Melayu-Makassar ini lahir dari guratan pena seorang sastrawan Tionghoa bernama Ang Ban Tjiong pada dekade 1930-an.

Pakar sastra Tionghoa-Melayu Myra Sidharta dalam buku Dari Penjaja Tekstil sampai Superwoman (KPG, 2004), mencatat Ang Ban Tjiong lahir di Makassar pada 3 Juni 1910. Ia merupakan anak kedua dari lima bersaudara pasutri Ang Tjong Sioe dan Lie Loan Tien Nio.

Setelah lulus dari Hollandsch Chineesche School (HCS), sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda untuk anak-anak keturunan Tionghoa. , Ang remaja mulai mengenal dunia jurnalistik saat bekerja di redaksi majalah Favoriet yang dipimpin pamannya sendiri, Ang Tjong Giao. Sayangnya Favoriet hanya berusia singkat lantaran minimnya jumlah pembaca.

Ang pindah ke harian Pemberita Makassar. Di sinilah Ang mulai menaruh minat besar terhadap gerakan teosofi (filsafat keagamaan) yang dibawa novelis Inggris Annie Bessant dan filsuf asal India yakni Jiddu Khrisnamurti. "Alhasil tulisannya kebanyakan mengenai mistik, kehidupan spiritual dan masalah sosial," jelas Myra.

Masuk dekade 1930-an, Ang turut membidani kebangkitan kembali pers Tionghoa setelah memimpin surat kabar Sin Hwa Po yang berdiri pada Desember 1933. Dengan nama pena "Mendoesin" (artinya: terbangun sebentar saat tertidur), ia melanjutkan tulisan-tulisan bertema spiritual dan sosial.


Yerry Wirawan, dalam artikel "In Memorial Ang Ban Tjiong 1910-1938, Buku Pantun Melayu-Makassar," menjelaskan minat Ang terhadap sastra mulai meningkat juga pada 1930-an. Ia rajin menulis cerita pendek, sebelum akhirnya dikenal lewat pantun.

Lantas dari mana Ang mendapat ide memadukan bahasa Melayu dan Makassar dalam pantun? Myra Sidharta menyebut ini tak lepas dari ketertarikan masyarakat Makassar (termasuk Tionghoa) kepada tradisi bertutur puitis Tanah Melayu saat itu. Namun, tak ada yang berani mengambil inisiatif memadukan dua bahasa dan tiga budaya. Ang memberanikan diri jadi pelopor.

"Ang mengambil jalan keluar dengan menciptakan pantun-pantun bilingual Makassar dan Melayu. Di sekujur pantun-pantunnya, kedua bahasa digunakan seimbang dan konsisten. Pantun itu dipengaruhi oleh pantun-pantun Melayu Jakarta dan bahasa Makassar pada setiap akhir lariknya. Dan terlihat penggunaan leksikal yang merupakan hibrid (perpaduan) dari tiga budaya: Makassar, Melayu dan Tionghoa," jelas Myra.

Ang Ban Tjiong meninggal pada 1930 di usia yang sangat muda, 28 tahun. Namun pantun Melayu-Makassar karyanya tetap diingat oleh banyak orang Tionghoa hingga dekade 1980-an.

Saat nama dan karyanya mulai dilupakan, inisiatif menjaga tradisi lisan akulturasi tetap dilakukan sejumlah pihak. Contohnya, "Pantoen Melajoe-Makassar" telah diterbitkan ulang sebanyak dua kali. Yakni pada 2004 dan tahun 2020, bertepatan dengan Hari Jadi ke-351 Sulsel.

Tulisan ini hanya merangkum sebagian kecil jejak tradisi dan akulturasi budaya Tionghoa di Tanah Air. Namun, seperti konsep kebangsaan Gus Dur bahwa tak ada yang namanya pribumi dan nonpribumi.

Di mata Gus Dur, juga gak ada yang namanya “keturunan masyarakat asli” di Indonesia, karena bangsa ini dibentuk oleh perpaduan tiga ras, yakni Melayu, Astro-melanesia, dan China. Gak heran kan, Gus Dur mendapat julukan Bapak Tionghoa Indonesia. 

Entah berkelakar atau tidak, Gus Dur pernah menyebut dirinya sebagai "China tulen." 

Selamat merayakan Imlek bagi kamu merayakannya....

Baca Juga: Ang Ban Tjiong, Pelopor Tradisi Pantun Melayu dengan Bahasa Makassar

Tulisan ini merupakan kolaborasi dari beberapa hyperlocals IDN TImes. Penulis: Feny Maulia Agustin, Pito Agustin Rudiana, Anggun Puspitoningrum, Muhamad Iqbal, Ayu Afria Ulita Ermalia, Silviana, Debbie Sutrisno, Indah Permatasari, Masdalena Napitupulu, 
Ach. Hidayat Alsair  

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau
  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya