Kuliner Legend: Lawas, Tapi Bertahan dari Gempuran Zaman

Deretan kuliner ini gak hanya sekadar bikin perut kenyang

Serang, IDN Times - Pada satu titik, kuliner gak hanya sekedar makanan untuk mengenyangkan perut. Di titik ini, kuliner dimaknai sebagai perjalanan sejarah, nostalgia, perjuangan, bahkan identitas.

Di setiap daerah di Tanah Air, ada sejumlah tempat-tempat makan yang menyajikan kuliner dengan makna mendalam ini. Melintasi masa demi masa, bahkan pandemik COVID-19, pengelola tempat makan bisa terus menghadirkan makanan bagi penikmat setia mereka. 

Beberapa tempat makan ini jauh dari kata mewah. Beberapa tempat makan bahkan berbentuk rumah sederhana atau berada di dalam jalan yang kecil,  namun mereka tak pernah kehilangan pelanggan setia.

Tulisan kolaborasi hyperlocals IDN Times kali ini merangkum kisah-kisah pegiat kuliner di berbagai pelosok daerah yang menjadi legenda. A legend!

Seperti apa kisah mereka? Dan, apakah ada kuliner favorit keluargamu dari masa ke masa? Yuk Simak nih. 

Ny Lauw dan Kedai 55 menjadi bukti dan saksi keberadaan peranakan Tionghoa di Tanah Air

Kuliner Legend: Lawas, Tapi Bertahan dari Gempuran ZamanIDN Times/Muhamad Iqbal

Jika bicara dodol tau kue keranjang, susah rasanya mengesampingkan Ny Lauw. Berdiri sejak 1964, Ny Lauw menjadi merek dodol dan kue keranjang yang kesohor. Gak hanya itu, Ny Lauw pun menjadi salah satu ikon Kota Tangerang loh. 

Usaha kuliner ini kini dikelola generasi ketiga. Ci Lin, pengelola usaha kuliner itu mengungkap, Ny Lauw sendiri bukan merujuk ke nama orang, melainkan marga.  

Usaha ini didirikan kakeknya. "Nyonya Lauw merupakan nama marga dari kakek, perintis awal usaha," kata Lin, Jumat (4/3/2022). 

Bukan hal yang mudah bagi keluarga Lin untuk bertahan hingga tetap dikenal publik setelah setengah abad lebih. Mempertahankan resep asli dan kualitas serta tetap mengikuti keinginan pasar, menjadi kunci Ny Lauw bertahan hingga kini. 

Dodol dan kue keranjang merupakan salah satu dari sekian banyak kuliner peranakan Tionghoa yang berakar di Tanah Air. Kuliner peranakan Tionghoa ini biasanya sangat dicari ketika tahun baru China atau Imlek tiba.

Keluarga lain yang turut melanggengkan kuliner peranakan Tionghoa adalah keluarga Louis Mariani di Jawa Tengah. Keluarga ini merintis Kedai 55 di pesisir di Pantai Utara Jawa, Kota Semarang sejak 1958.

Budaya Tionghoa memang cukup kental memengaruhi khasanah kuliner di Ibu Kota Jawa Tengah. Pasalnya, imigran Tionghoa membawa resep-resep masakan dari negeri asalnya, kemudian mereka meracik makanan dengan menggunakan bahan-bahan lokal di Semarang. Resep-resep tersebut diwariskan ke keturunannya sehingga, muncullah kuliner peranakan Tionghoa yang sampai saat ini ditemui dan dijajakan di Kota Semarang. 

Kedai 55 Semarang menjadi salah satu dari ribuan kuliner peranakan Tionghoa yang masih eksis sampai saat ini. Louis, perempuan keturunan etnis Tionghoa berusia 87 tahun, menjadi penjaja kuliner peranakan sejak tahun 1958.

Warung makan tersebut jauh dari kata mewah. Keluarga Louis malah memanfaatkan garasi rumah untuk berjualan makanan, mulai dari lontong opor, nasi opor, nasi langgi, nasi berkat, gado-gado, hingga ayam goreng. Menu andalan Kedai 55 adalah lontong Cap Go Meh. 

Di usia senja itu, Mak Louis --begitu ia akrab disapa-- setia merawat resep kuliner keluarga yang diwariskan orangtuanya, Sie Tie Nio dan Kwik Kwat Ring selama lebih dari setengah abad. Tentu bukan hal mudah bagi sebuah usaha tempat makan bisa bertahan selama itu. 

Louis mengatakan, kunci untuk bisa melanggengkan warisan kuliner keluarga adalah tidak pernah mengubah resep dari sang Ibu. 

"Jadi, masakan yang disajikan juga kurang lebih tetap sama dengan yang dibuat mama saya. Setiap hari mulai siang setelah kedai tutup saya sudah menyiapkan masakan untuk dijual esok hari," tuturnya kepada IDN Times, Jumat (4/3/2022). 

Mak Louis juga tak pernah bosan melayani pembeli yang datang di Kedai 55. Tangan keriputnya dengan luwes mengiris lontong lalu ditata di sebuah piring untuk melayani pembeli yang memesan lontong opor.

Kuliner Legend: Lawas, Tapi Bertahan dari Gempuran ZamanLouis Mariani (87 tahun) penjual kuliner peranakan Tionghoa sedang melayani pembeli di Kedai 55 di Jalan Puri Anjasmoro K-6/19 Semarang. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Baca Juga: Cara Dodol Ny Lauw Bertahan Lebih dari Setengah Abad

Baca Juga: Dari Kedai 55, Louis Mariani Langgengkan Kuliner Peranakan Tionghoa di Semarang

Ke Bandung, kita mengunjungi kuliner langganan Bung Karno

Kuliner Legend: Lawas, Tapi Bertahan dari Gempuran ZamanInstagram/Williamwongso

Bandung adalah surganya kuliner, bagi sebagian orang. Gak heran sih, Kota Kembang ini menjadi tujuan pecinta kuliner sejak dulu. 

Nah, ada satu tempat makan di Bandung yang benar-benar legend, bahkan menjadi langganan Presiden pertama Indonesia, Soekarno, zaman dulu. Tempat makan ini masih berdiri loh sampai sekarang dan namanya adalah Warung Nasi Ma Eha (Warung Nasi bu Eha).

Kamu jangan mengira lokasi warung ini di tempat hits Bandung seperti Dago atau Cihampelas ya. Warung dengan makanan lezat legendaris itu berada di dalam Pasar Cihapit.

Kios berukuran sedang itu menjajakan aneka makanan tradisional yang lezat. Bangku dan meja dipasang di depan warung berjajar lengkap dengan wasfatel di salah satu sudutnya.

Bentuk warungnya sederhana, menu makanan yang disajikan pun seperti warung nasi pada umumnya. Dengan konsep prasmanan, beragam makanan disajikan di atas meja, mulai dari olahan pepes, telur bumbu rendang, gepuk, tahu-tempe, ayam goreng, dan sebagainya.

Sepintas, warung ini tampak kolot. Meski demikian, tiga orang juru masak yang meramu setiap makanan Warung Nasi Ma Eha selalu memuaskan pelanggan yang datang.

Tempat kuliner ini dimiliki dan di kelola oleh Mak Eha. Tapi, sebetulnya usaha ini didirikan dan dirintis oleh ibunya yang bernama Eno, pada tahun 1947. Saat itu, lokasi warung belum di Pasar Cihapit, tapi di sebuah lapangan yang terletak di belakang pasar.

"Waktu itu belum di pasar seperti sekarang, cuma lapangan aja terus ada wasrei (laundry). Dari dulu masakannya gak jauh dari sekarang, cuma ada bistik, setup, sop-sop gitu karena yang beli masih kebanyakan orang Belanda," kata Eha, mengenang masa lalu.

Kala itu, ketia warung ini berdiri, Eha sendiri sedang berada di Yogyakarta. Kemudian pada 1949 dia pulang ke Bandung meneruskan bisnis ibunya.

Menu yang paling terkenal dari Warung Nasi Ma Eha adalah gepuknya yang begitu legendaris. Resepnya turun-temurun membawa gepuk Ma Eha jadi ciri khas dari rumah makan ini. Menyesuaikan dengan lidah warga lokal, masakan bistik dan setup yang dulu sempat menjadi best seller, kini tidak lagi disediakan.

Tak hanya Soekarno, anak-anaknya pun menjadi pelanggan di warung ini. Mak Eha bahkan sampai hapal makanan favorit anak-anak Soekarno. 

"Guntur dan Guruh (anak pertama dan ketiga Soekarno-Fatmawati) suka ke sini. Dulu Guntur masih jadi mahasiswa dan kerap makan di warung. Waktu dulu juga masa pembangunan pesan nasinya ke sini untuk proyekan," kata dia.

Menurutnya, masakan favorit keluarga ini adalah rendang otak dan udang. "Guntur pasti datang dengan teman-temannya, kalau Guruh makanan favoritnya jengkol, palingan," ujar Eha.

Bukan hanya keluarga presiden pertama saja, Gubernur Jawa Barat yang juga mantan Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil, juga kerapa datang untuk mencicipi masakan Mak Eha.

Katanya, dulu ketika masih menjabat Wali Kota Bandung, Emil setiap habis salat Jumat pasti mampir ke sini. Makanan kesukaannya adalah nasi merah dengan lauk pepes peda.

"Kang Emil pesannya pais dia mah. Ya pais, peda, dan nasi merah, bahkan suka ambil minum sendiri teh, masuk ke dapur," ungkapnya.

Baca Juga: Warung Ma Eha: Kuliner Langganan Soekarno hingga Ridwan Kamil

Songkolo Bagadang Timbang Alhamdulillah yang legendaris dari Makassar

Kuliner Legend: Lawas, Tapi Bertahan dari Gempuran ZamanSongloko Timbang Begadang Alhamdulillah, di Jalan Pannara, Antang, Kota Makassar. (IDN Times/Sahrul Ramadan)

Jika kamu berkunjung ke Makassar, Sulawesi Selatan, ada tempat makan yang wajib kamu datangi. Namanya  Songkolo Bagadang Timbang Alhamdulillah. 

Warung ini sudah berdiri sejak 1998 dan berada di Jalan Pannara, Kelurahan Antang, Kecamatan Manggala. Bagi warga Makassar, tempat makan ini sudah tak asing lagi. 
 
"Masuk di tahun 2022, (tempat) ini sudah 24 tahun," kata Nurul Mulisa, anak dari pemilik warung Songkolo Bagadang Alhamdulillah saat ditemui Kamis malam (3/3/2022).

Tempat ini didirikan oleh orangtua Nurul, HM Said (almarhum) dan H Haniah. Saat itu, keduanya berpikir bahwa belum ada penjual songkolo di dalam gang. Kala itu, penjual songkolo umumnya berjualan di sekitar kawasan Antang, terletak tepat di pinggiran jalan.

Songkolo merupakan makanan khas Sulsel berbahan dasar ketan hitam atau putih yang dimasak dengan berbagai campuran, termasuk kelapa. Di daerah lain mungkin makanan ini dikenal dengan nama ketan serundeng.

Dulunya, kata Nurul, orangtuanya hanya menjual songkolo dari pagi hingga malam hari. Di sela tutup itu, pembeli kerap datang untuk mencari songkolo. "Pasti ada saja orang yang datang panggil (membeli) tidak berhenti. Makanya dibuka saja 24 jam, sampai begadang," jelas Nurul.

Pekerja atau peracik songkolo ini juga didominasi oleh ibu-ibu. Mereka bergantian berjaga bersama beberapa pemuda bila malam telah larut.

Nurul menjelaskan, penambahan kata "Alhamdulillah" pada songkolo jualannya, sebagai wujud syukur kepada Allah SWT karena rezeki berdagang dimudahkan. "Kalau kata timbangnya, karena orangtua dulu sering keluar pergi belanja tidak ada yang jaga. Supaya rata kalau ada yang beli makanya ditimbang," ujar Nurul.

Popularitas Songkolo Bagadang Timbang Alhamdulillah telah menjangkau beragam kalangan di Makassar. Bukan hanya masyarakat umum, sejumlah pejabat pun kerap kali datang menyicipi gurihnya songkolo ini.

Di antaranya mantan Wali Kota Makassar Ilham Arif Sirajuddin, mantan penjabat Wali Kota Iqbal Suhaeb hingga Wakil Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman. Selain itu, juga ada nama pesepakbola Asnawi Mangkualam Bahar, yang rumahnya tak jauh dari warung ini.

"Cuman kalau lagi datang dia (Asnawi) di Makassar, mamaknya langsung yang datang pesankan di sini terus disuruh diantarkan ke rumahnya," ucap Nurul.

Terpisah, salah satu penikmat Songkolo Bagadang Timbang Alhamdulillah, M Fadli mengaku dalam sepekan ia bisa dua hingga tiga kali makan di tempat ini.

"Sejak kuliah 2009-2010 juga sudah sering makan di sini, sampai sekarang kerja, biasa bos kalau mau makan, suruh datang beli di sini kalau tengah malam. Makanya kalau lagi mau sekali juga saya sendiri datang ke sini makan," imbuh Fadli.

Baca Juga: Sejarah Songkolo Bagadang Timbang Alhamdulillah di Makassar, Legend!

4. Gudeg Mbok Lindu yang bikin rindu di Yogyakarta

Kuliner Legend: Lawas, Tapi Bertahan dari Gempuran ZamanGudeg Mbok Lindu (IDN Times/Dyar Ayu)

Legend yang satu ini berasal dari Yogyakarta. Saking melegendanya, gudeg Mbok Lindu bahkan sampai masuk dokumenter Netflix, Street Food Asia loh.  Dalam dokumenter tersebut digambarkan bagaimana untuk menjajal gudeg ini saja pembeli harus rela antre atau datang sejak pagi.

Tahukah kamu, gudeg Mbok Lindu ini sudah eksis sejak zaman kolonial loh. Mbok Lindu sudah berjualan sejak usianya masih 13 tahun. Dia masih setia memasak gudeg hingga di akhir hayat dan meninggal dunia pada 12 Juli 2020. 

Kini usahanya diteruskan anak terakhirnya yang bernama Rutiyah. Perempuan berusia 56 tahun ini adalah anak yang paling dekat dengan Mbah Lindu, bahkan semasa ia kecil sampai dewasa, ia menghabiskan waktunya dengan belajar masak gudeg mengikuti resep sang ibu.

“Gak ada yang diganti, semua sama,” ucapnya di sela-sela melayani pembeli. Tangannya cekatan meletakkan nasi, gudeg, krecek dan lauk pilihan pembeli di atas piring plastik beralas kertas dan daun pisang.

Seorang rekan yang juga membantu melayani di Gudeg Mbok Lindu kemudian menimpali, meski anak-anak Mbah Lindu lainnya juga membuat gudeg, buatan Rutiyah yang rasanya paling mirip.

Walau begitu, tidak mudah ternyata perjuangan Mbah Lindu dan kini anaknya dalam menjajakan gudeg.

Rutiyah menerima banyak cerita bahwa semasa sang ibu berjualan. “Waktu itu (masa kolonial) ya saya belum lahir, tapi tahu kalau simbah dulu jualannya dipikul. Terus naik becak, terus jualan di sini (kawasan Sosrowijayan) meski tempatnya pindah-pindah,” kata Rutiyah.

Alasan mengapa Mbah Lindu menjajakan gudegnya dengan cara dipikul karena pada zaman dulu, jarak rumah ke rumah belum seperti sekarang sehingga berjualan harus dengan cara dipikul untuk menarik pembeli. Pada saat itu juga Mbah Lindu kerap memutari wilayah Malioboro dan sekitarnya.

Mbah Lindu dikenal sebagai pekerja keras. Hal ini pun menurun ke Ratiyah. Dia menuturkan, tempat jualannya nyaris tidak pernah tutup dan libur.  “Habis jualan sampai jam 11, terus nanti jam 3 mulai masak, jam 1 malam masak lagi sampai pagi terus berjualan,” ujarnya.

Ia kemudian mengenang sang ibu yang jarang sekali libur berjualan. Kalau tidak ada benar-benar sakit atau ada acara keluarga yang penting, Mbah Lindu akan tetap berjualan. Rutiyah kemudian mengaku juga begitu, jika tidak benar-benar lelah, ia tidak akan menutup lapaknya.

Baca Juga: Gudeg Mbok Lindu, Tak Lekang Digempur Zaman

Baca Juga: Bertahan Sejak 1975, Manisnya Wedang Kacang Kapuran Semarang Bikin Nagih

Sejak 1950, rasa Soto Kesawan di Medan ini terjaga selama tiga generasi

Kuliner Legend: Lawas, Tapi Bertahan dari Gempuran ZamanSoto Kesawan Medan (IDN Times/Yurika Febrianti)

Di Kota Medan, ada satu tempat makan soto yang begitu kesohor, bahkan sejak tahun 1950-an. Namanya Soto Kesawan.

Kamu bisa menemukan tempat kuliner ini di Jalan Ahmad Yani, kawasan kota tuanya Medan. Soto ini punya ciri khas tiga jenis, yakni jeroan sapi, ayam dan udang.

Tempat makan soto ini didirikan oleh M Panut di Kesawan karena lokasinya yang merupakan area perkantoran. Kawasan ini banyak bangunan peninggalan Belanda.

Kini, usaha tersebut dikelola generasi ketiga bernama Dewi. “Mencoba di sini, mungkin karena di sini daerah perkantoran. Di sini mungkin cocok dulu dan bertahan sampai sekarang,” kata Dewi.

Di Soto Kesawan ini kalian bisa rasakan sensasi makan udang dengan kuah soto. “Untuk udang Rp30 ribu per porsi, ayam Rp 25ribu dan sapi Rp 28ribu. itu harga sudah sama nasi ya,” tambah Dewi.

Soto ini memakai bumbu kuning dan santan sehingga rasanya gurih karena kaya rempah-rempah. Daging sapi dan ayam serta isian soto direbus dahulu, kemudian di goreng agar rasanya terasa gurih.

Soto Kesawan tak lengkap rasanya kalau tidak disajikan dengan perkedel, daun bawang dan sambal cabai rawit. Semakin sempurna dengan taburan bawang goreng yang diberi potongan jeruk nipis.

Salah satu pelanggan warung ini, Rijaldi, mengaku kerap datang ke sini karena tempat kerja yang dekat.  “Rasa ya enaklah. Aku suka pesan Soto Jeroan Sapi ya, paru atau usus itu,” kata dia.

Baca Juga: Soto Kesawan yang Melegenda di Medan, Menjaga Rasa Sejak 1950-an 

Mie Khodon "original" di Jalan Ikan Bawal Bandar Lampung

Kuliner Legend: Lawas, Tapi Bertahan dari Gempuran ZamanSuparno sedang membuat mie khodon. (IDN Times/Rohmah Mustaurida).

Kuliner legendaris lainnya bisa kamu temukan di Bandar Lampung. Namanya Kedai Mie Khodon dan bisa kamu datangi di Jalan Ikan Bawal, Kelurahan Pesawahan, Kecamatan Teluk Betung Selatan. 

Soal rasa, kamu gak perlu ragu karena tempat kuliner ini sudah teruji selama puluhan tahun. Pemilik kedai, Suparno, mengaku bisnis kuliner itu dirintis kakeknya tahun 1963.

"Waktu itu kakek saya yang jualan. Dulu beliau jualnya dipikul mbak, keliling Teluk Betung, dan masaknya masih pakai arang,” ceritanya ketika diwawancarai di kedainya, Rabu (2/3/2022).

Suparno sendiri mendapatkan "lungsuran" bisnis keluarga ini pada tahun 2010. “Tidak ada yang memaksa. Memang saya yang mau lanjutkan karena saya tidak sekolah, jadi saya saja yang dagang,” ungkapnya.

Sampai saat ini, Ia masih belum tahu apakah resep mie khodonnya akan diwariskan ke anaknya atau tidak. “Saya ingin anak saya sekolah dulu saja yang tinggi,” imbuhnya.

Suparno menceritakan, kata ‘khodon’ dalam nama mie muncul ketika pelanggan yang sering membeli mie kakeknya tersebut memanggil dengan nama khodon.

“Nama asli kakek saya kan Atmodiwiryo, dulu menurut cerita yang saya dengar,  katanya ada orang chinese yang manggil kakek saya ‘khodon’ gitu. Jadi orang-orang ikutan panggil khodon dan jadilah dinamai mie khodon,” paparnya.

Setiap usaha pasti memiliki pesaing, begitupun dengan usaha milik Suparno. Ia mengatakan mie khodon lainnya sudah mulai bermunculan di beberapa tempat sejak lama. Namun Suparno tak gentar dan percaya diri terhadap mie khodonnya.

“Ini aslinya dari kakek saya, tapi lama-lama banyak yang ikutan buat. Tapi yang pasti, cara kita mempertahankan mie khodon kita ya dengan rasa dan kualitas yang terjamin,” ujarnya.

Romadona (35), salah satu pelanggan setia Mie Khodon milik Suparno mengaku sengaja datang dari rumahnya di Jati Agung Kabupaten Lampung Selatan. “Saya memang sering ke sini karena rasanya enak dan memang cocok,“ ujarnya.

Ia mengaku, mengetahui Mie Khodon ini sejak ia masih kecil dan sudah mencoba semua mie khodon yang ada di beberapa tempat. "Beda tempat, beda rasa. Tapi memang paling cocok di lidah saya ya yang di sini,” katanya.

Ia juga berharap agar mie khodon di Telukbetung Selatan ini tetap konsisten dengan resep yang sudah ada dan terus mempertahankan rasanya yang khas.

Baca Juga: Mie Khodon Kuliner Legendaris Bandar Lampung, Dulu Dimasak Pakai Arang

Berburu kuliner Makassar di Balikpapan Kota, jangan lewatkan Jhony Konro

Kuliner Legend: Lawas, Tapi Bertahan dari Gempuran ZamanNex Carlos, youtuber yang sempat mengunjungi Jhony Konro pada akhir 2019 lalu (youtube/Nex Carlos)

Baca Juga: Jhony Konro, Kuliner Legendaris Balikpapan yang Bertahan Sejak 1974

Di antara deretan gedung tinggi di Jalan Jenderal Sudirman, Pasar Baru, Klandasan Ilir, Balikpapan Kota, Kalimantan Timur (Kaltim), terselip aroma kuliner nikmat yang cukup melegenda.  Ialah Jhony Konro atau biasa disebut Konro BCA.

Legendaris, warung makan ini justru berada di sebuah gang sempit dan diapit oleh dua gedung bank besar. Meski demikian, pelanggan setia mereka selalu kembali.

"Kami juga memiliki pelanggan setia yang juga puluhan tahun selalu makan di sini, mulai dari dia (pelanggan) muda sampai akhirnya punya anak dan cucu," kata Bunda Armi, sapaan akrab si pemilik Jhony Konro saat ditemui di kedainya, Sabtu (5/3/2022). 
 
Uniknya, tempat makan ini malah menyajikan semua menu asal Makassar, Sulawesi Selatan. Tapi ada yang berbeda. 

Bunda Armi juga mengolah sop konro, soto makassar, dan sop saudara miliknya tidak menggunakan kelapa goreng dan santan seperti masakan Bugis kebanyakan. Hal itu karena dia memikirkan kesehatan para pembelinya.

Soal rasa, tak perlu diragukan karena teruji cocok di lidah pelanggannya sejak tahun 1978. 

Sedikit cerita dari Bunda Armi, sebenarnya usaha sop kondro ini dimulai oleh suaminya yang bernama Jhony Anies. Usaha ini berdiri sebelum dirinya menikah dengan sang suami yang baru saja meninggal tahun 2020.

Jika diingat-ingat, Bunda Armi menyebut rumah makannya sudah ada bahkan 25 tahun lalu atau merupakan hitungan sejak ia menikah dengan suaminya. Tetapi jadi bisa usaha Jhony Konro sebenarnya ada diperkirakan berdiri sejak tahun 1974.

Awalnya ia terjun ke bisnis tersebut setelah suaminya memintanya untuk berhenti dari pekerjaannya yang semula adalah pekerja kantoran. Sempat dirundung bimbang harus tetap bekerja dengan kondisi anaknya yang masih bayi.

"Akhirnya saya memutuskan untuk ikut bersama suami berjualan, memang sempat ada keluhan karena pekerjaan membuat masakan ini berat tetapi melihat ramainya pengunjung dan hasilnya yang lumayan, saya pikir lagi cukup baik," jelasnya.

Sejak suaminya meninggal, kini Bunda Armi pun meneruskan bisnis ini bersama anak dan keponakannya. 

Roti Bluder Cokro Madiun sukses berkat ketekunan

Kuliner Legend: Lawas, Tapi Bertahan dari Gempuran ZamanRoti bluder yang dipajang di outlet Roti Bluder Cokro, Kota Madiun diserbu pembeli. IDN Times/Nofika Dian Nugroho

Setelah dodol, mi, hingga soto, kini kita bicara roti. Salah satu satu roti yang melegenda ada di Kota Madiun. Namanya, Roti Bluder Cokro.

Proses produksi hingga penjualannya mulai dirintis oleh almarhumah Suzana di era 1987-an. Waktu itu, ia menerima saran untuk berbisnis roti dari sejumlah kerabat dan yang sempat mencicipi roti buatan tangan Suzana.

Perempuan yang memiliki hobi cooking dan baking itu pun tertarik. Roti yang dulunya dikenal sebagai makanan kaum bangsawan Belanda ini mulai dititipkan kepada penjual kue di Pasar Kawak di Jalan Kutai.

Penjualan per hari kala itu masih sangat sedikit. “Dari 20 yang dititipkan, laku satu atau dua saja per hari,” kata Hary Sasono, anak Suzana dan penerus Roti Bluder Cokro, saat ditemui IDN Times, Jumat (4/3/2022).

 Tapi, hal itu tak lantas membuat patah semangat Suzana. Dia lantas menawarkan roti buatannya ke sejumlah toko di Kota Madiun. Secara perlahan, penjualannya juga meningkat hingga 50 biji roti bluder per hari.

Seiring dengan itu jumlah produksi roti yang berlangsung di kediaman keluarga Hary di Jalan Cokroaminoto, Kota Madiun ditambah. Upaya ini untuk memenuhi permintaan konsumen yang juga meningkat. Hingga akhirnya, di era 1990-an pemilik usaha mendapatkan pesanan 1.000 pcs roti bluder dari pihak Lanud Iswahjudi.

Sejak merintis usaha roti, baru kali itu Suzana mendapatkan orderan banyak. Tak ingin kehilangan kepercayaan, dia mengerjakan hingga lembur. “Kalau nggak salah butuh waktu dua hari, sampai lembur-lembur,” kenang Hary yang kini berusia 42 tahun itu.

Rupanya, pesanan dari lanud itu menjadi kunci dan peluang roti bluder buatan Suzana pun meluas dan diberi merek Cokro. Tak hanya Madiun, roti itu pun dikirim ke lanud lain di  Makassar dan Jakarta.

“Dari situ, banyak yang tahu jika di Madiun ada yang membuat roti bluder. Perminataan juga semakin bertambah,” ujar suami dari Erica Puspa Sari Santoso ini.

Merintis usaha bukan tanpa kendala. Di awal, salah satu tantangannya adalah alat. Di tengah permintaan yang naik drastis, Suzana hanya mampu memproduksi 120-150 pcs per hari, kala itu. 

Jumlah produksi berangsur meningkat setelah usaha roti bluder dipegang oleh kakak dari Hary Sasono. Dalam sehari, rata-rata roti yang dihasilkan sebanyak 300 -400 pcs yang terhitung antara tahun 2004 hingga  2013. "Pada tahun 2004 mama meninggal dunia, usaha roti diteruskan oleh kakak," ucap Hary.

Berhasil melewati berbagai rintangan dan tantangan zaman, kini roti Cokro bisa memproduksi hingga ribuan roti per hari. Di bawah pengelolaannya, Hary melakukan sejumlah inovasi, termasuk pembaharuan alat yang sebelumnya manual menjadi otomatis.

Tak hanya itu, Hary juga membangun pabrik baru di Jalan Hayam Wuruk, karena kapasitas tempat usaha yang lama di Jalan Cokroaminoto, Kota Madiun tak lagi mencukupi. 

Di tempat baru dengan gaya bangunan klasik Eropa itu, jumlah produksi yang mampu diproduksi sebanyak 12 ribu hingga 15 ribu rata-rata per hari. “Untuk varian rasa, sekarang ada 21. Selain coklat, keju, original, ada kismis, coklat keju, taro, klepon, kopi, bluerberry, dan sebagainya,” jelas Hary sembari menyatakan resep roti bluder tidak diubah sejak era Suzana.

Ayam betutu Men Tempeh yang tak tergerus zaman

Kuliner Legend: Lawas, Tapi Bertahan dari Gempuran ZamanGoogle/Kadek Wiyana

Terakhir, kita ke Bali. Di sini, salah satu tempat makan legend adalah warung ayam betutu Men Tempeh yang sudah ada sejak tahun 1978. 

Ayam betutu merupakan masakan dari Gilimanuk, Kabupaten Jembrana, yang diracik menggunakan bumbu-bumbu khas Bali. Salah satu yang membuat kuliner ini digemari adalah sambal matahnya. 

Berlokasi di Jalan Gilimanuk, Melaya, Jembrana, warung Men Tempeh ini buka dari jam tujuh pagi hingga delapan malam waktu setempat. Salah satu alasan warung ayam betutu ini legendaris karena sambalnya yang mantap dan super pedas. Selain itu, ayam betutunya memakai ayam kampung jadi kuah kaldunya lebih gurih dan penuh bumbu.

Selain varian autentik yang ayam betutu kuah ada juga betutu goreng. Satu porsi dibanderol Rp95 ribu terdiri dari nasi, ayam betutu utuh, kacang goreng, plecing kangkung, sambal terasi dan sambal matah. Kalau datang sendiri bisa pesan paket ayam betutu per potong atau yang setengah ekor saja.

Baca Juga: Rekomendasi 12 Warung Ayam Betutu Pedas Paling Nikmat di Bali

Mereka mampu bertahan di tengah gempuran zaman

Kuliner Legend: Lawas, Tapi Bertahan dari Gempuran ZamanIDN Times/Muhamad Iqbal

Seperti merintis, mempertahankan sebuah usaha kuliner bukanlah hal mudah. Melintasi masa dan hantaman para pesaing, mereka membuktikan diri mampu bertahan.

Ada beberapa hal yang membuat usaha mereka bertahan, bahkan di tengah sulitnya kondisi karena pandemik COVID-19. 

Ci Lin, pengelola Ny Lauw mengungkap, rahasia mereka bertahan adalah tetap mempertahankan resep utama. Gak hanya itu, pengelola merek Ny Lauw juga mempertahankan pembuatan dodol dan kue keranjang ini dengan tenaga manual manusia, meski pada akhirnya memakan waktu lama lantaran, harus diaduk secara manual.

Untuk menjaga kualitasnya mutu dan rasa, Ny Lauw masih mempertahan cara masak tradisional menggunakan kayu bakar dan resep alami turun-menurun.

Di sisi lain, pengelola juga menambah varian rasa yang mengikuti zaman. Untuk dodol sendiri, varian rasa lebih variatif, seperti rasa dodol, duren, cimpedak, lapis, wijen hingga kacang mede. "Paling laris sih rasa duren ya," singkat Ci Lin.

Mempertahankan rasa asli juga menjadi rahasia warung Jhony Konro, Soto Kesawan, Kedai 55 Semarang, hingga Mak Eha di Bandung. 

"Agar masakan yang mayoritas berbahan santan itu tetap enak disantap dan tidak mudah basi, semua bahan harus segar," ujarnya. 

Di tengah banyaknya warung makan modern, banyak orang yang sekarang lebih memilih datang ke kafe atau tempat makan kekinian. Bahkan karena menurunnya pengunjung, Eha harus mengurangi karyawan dari tujuh menjadi tiga orang.

Namun, dia tidak mempermasalahkannya. Eha akan tetap mempertahankan warung makan warisan ibunya itu. Meski di dalam pasar, Eha memastikan pelayanan yang diberikan cukup baik untuk masyarakat menyantap masakannya.

Pengelola gudeg Mbok Lindu di Yogyakarta bahkan melewati tiga masa berat, mulai dari penjajahan, reformasi, dan kini pandemik COVID-19. 

Rutiyah mengungkp, gudeg Mbok Lindu sempat tutup 3 bulan karena pandemik. Dia pun berinovasi dengan membuat gudeg frozen. Terbukti, penjualan gudeg beku itu meningkat. 

Gudeg frozen Mbok Lindu memang tidak tersedia di e-commerce, melainkan bisa dibeli melalui jastip atau pengiriman dengan ojek daring. 

Konsistensi rasa dan kualitas, dibarengi dengan inovasi dalam hal menu membuat Gudeg Mbok Lindu bertahan sampai sekarang. Sang anak, Rutiyah yang kini meneruskan usahanya pun jadi bukti bahwa meski sudah beda generasi, pelanggan sejak lama sampai pelanggan baru bisa dijaga dengan mempertahankan resep yang sudah melegenda ini.

Tim Penulis: Yurika Febrianti, Muhammad Iqbal, Irma Yudistirani, Riani Rahayu, Dyar Ayu, Fariz Fardianto, Sahrul Ramadan, Nofika Dian Nugroho, Debbie Sutrisno, Rohmah Mustaurida, Anggun Puspitoningrum.

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya