Ilustrasi TKP (IDN Times/Arief Rahmat)
Hakim ketua Pengadilan Negeri Tangerang Klas I A yang memimpin sidang kasus tersebut, Arif Budi Cahyono mengatakan, dia hanya bertugas untuk memeriksa perkaranya saja. Hakim, kata dia, tidak bisa memerintahkan kejaksaan untuk meminta hasil diagnosa tidak bisa.
"Enggak bisa. Itu dasar hukumnya enggak ada. Itu enggak ada kaitannya dengan unsur-unsur pidana. Saya hanya periksa perkaranya saja," katanya.
Arif mengaku selama perkara ini masuk tahap persidangan, dia belum pernah melihat surat diagnosa tersebut. Bahkan dia tak mengetahui keberadaan surat tersebut.
"Saya sendiri juga gak mengetahui bahwa surat itu dimana, karena saya enggak tau kalau surat itu ada atau tidak," katanya.
Arif pun mendukung keluarga korban kembali lapor ke polisi apabila surat tersebut diragukan. Sehingga, hal ini bisa menjadi perkara baru terkait dugaan pemalsuan dokumen.
"Kalo saya kepentingannya apa? Kalau menilai surat itu palsu, kan gak ada kepentingan nya. Kepentingan saya hanya periksa perkaranya saja," tambah Arif.
Kata Arif, bila dilaporkan polisi, maka aparat akan melakukan penyelidikan sehingga hasil diagnosa tersebut akan terungkap. "Statement ada surat keterangan sakit, ya itu aja dikejar," tuturnya.
Pengakuan kalau pelaku menderita hepatitis B kronis ini pun membuat RMS tidak ditahan. RMS tidak ditahan sejak ditetapkan sebagai tersangka pada Maret 2021.
"Pertama coba tanya aja polisi kenapa awalnya enggak ditahan, Mulai pertama enggak ditahan di polisi juga. Kejaksaan ngikutin, kami juga ngikut," katanya.
Arif menjelaskan sebenarnya ada beberapa alasan bila tersangka atau terdakwa tidak ditahan. Polisi dapat menjamin kalau terdakwa atau tersangka tidak melarikan diri, menghilangkan batang bukti dan melakukan tindak pidana serupa.
"Ketika polisi tidak menahan polisi yakin bahwa orang itu tidak melakukan tiga hal itu kemudian kejaksaan cuma mengikuti dan saya juga ngikut aja," jelas Arif.