Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

JPPI: Wisuda Anak Sekolah Cuma Jadi Ajang Pamer

ilustrasi wanita wisuda (pexels.com/HONG SON)
ilustrasi wanita wisuda (pexels.com/HONG SON)
Intinya sih...
  • JPPI menyoroti wisuda pendidikan dasar dan menengah yang lebih pamer kemewahan daripada penghargaan akademik.
  • Wisuda mewah minim nilai edukatif bagi siswa TK hingga SMA, berpotensi menanamkan materialisme sejak dini, dan memberi beban finansial pada keluarga.
  • Sekolah disarankan mengadakan perpisahan yang sederhana namun bermakna, serta mendukung regulasi pemerintah yang melarang praktik wisuda mewah dan konsumtif.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Tangerang Selatan, IDN Times – Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyoroti maraknya penyelenggaraan wisuda di tingkat pendidikan dasar dan menengah yang dinilai semakin jauh dari esensi pendidikan.

Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji menyatakan, bahwa praktik wisuda saat ini lebih sering menjadi ajang pamer kemewahan, daripada bentuk penghargaan atas capaian akademik siswa. Akhirnya, wisuda itupun hanya buang-buang uang orangtua dan wali murid.

"Ini sudah jauh melenceng dari esensi pendidikan itu sendiri dan lebih terkesan sebagai kompetisi terselubung antar orangtua untuk menunjukkan status sosial,” ujar Ubaid, Jumat (9/5/2025).

1. Ubaid menyebut wisuda mewah untuk siswa tak beri edukasi ke warga

Ilustrasi wisuda. (IDN Times/Mardya Shakti)
Ilustrasi wisuda. (IDN Times/Mardya Shakti)

Ia menilai, bahwa bagi siswa TK hingga SMA, wisuda mewah justru minim nilai edukatif. Menurutnya, pada jenjang TK dan SD, pemahaman siswa terhadap kelulusan masih sangat sederhana sehingga seremoni besar tidak relevan dengan pengalaman belajar mereka.

“Jika fokusnya hanya pada seremonial dan bukan pada refleksi proses belajar, maka nilai edukatifnya sangat dipertanyakan. Lebih sering ini hanya menjadi pelampiasan euforia sesaat tanpa meninggalkan kesan mendalam tentang pentingnya ilmu pengetahuan,” jelasnya.

Lebih lanjut, Ubaid mengingatkan bahwa wisuda berbiaya tinggi bisa memberikan dampak psikologi dan sosial yang negatif. Ia menyebut, anak-anak bisa tertanam nilai materialisme sejak dini, sementara keluarga dengan kondisi ekonomi terbatas bisa terbebani secara finansial.

“Bagi keluarga, jelas ini menjadi beban finansial yang signifikan, apalagi jika memiliki lebih dari satu anak yang lulus. Uang yang seharusnya bisa digunakan untuk kebutuhan pendidikan yang lebih penting, justru terkuras habis untuk acara seremonial yang hanya berlangsung beberapa jam,” tambahnya.

2. Ubaid juga menyoroti kecenderungan sekolah mengikuti tekanan sosial dan tren

Ubaid juga menyoroti kecenderungan sekolah mengikuti tekanan sosial dan tren daripada mengedepankan pertimbangan pedagogis. “Alasan pedagogis seringkali hanya dicari-cari pembenaran setelah keputusan untuk mengadakan acara mewah sudah diambil,” katanya.

Ia pun mengusulkan agar sekolah mulai mengedepankan bentuk perpisahan yang sederhana namun bermakna, seperti pameran karya, pertunjukan seni, sesi refleksi, atau kegiatan sosial yang membangun karakter siswa.

3. Pemerintah diminta membuat regulasi terkait wisuda yang mewah

Presiden Prabowo Subianto (dok. Sekretariat Presiden)
Presiden Prabowo Subianto (dok. Sekretariat Presiden)

Tak hanya itu, Ubaid juga mendukung adanya regulasi dari pemerintah yang secara tegas melarang praktik wisuda yang mewah dan konsumtif.

“Pemerintah perlu mendorong sekolah untuk mengadakan acara perpisahan yang sederhana, fokus pada nilai-nilai edukatif, dan melibatkan seluruh siswa tanpa diskriminasi,” tegasnya.

Ia pun mengajak kepada masyarakat dan sekolah untuk kembali pada nilai dasar pendidikan. “Perpisahan sekolah seharusnya menjadi momen yang bermakna secara edukatif dan emosional, bukan sekadar pesta hura-hura yang menguras dompet,” kata Ubaid.

Share
Topics
Editorial Team
Muhamad Iqbal
Ita Lismawati F Malau
Muhamad Iqbal
EditorMuhamad Iqbal
Follow Us