Dakwaan kasus bos apotek gama (IDN Times/Khaerul Anwar)
Perkara ini bermula dari hasil pengawasan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Serang pada 2019. Saat itu, BPOM menerima informasi bahwa Apotek Gama 1 memperjualbelikan obat stelan atau obat keras tanpa kemasan dan keterangan resmi.
Menindaklanjuti laporan tersebut, BPOM mengeluarkan Surat Perintah Tugas pada 12 Februari 2019 untuk melakukan pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan, petugas menemukan sejumlah pelanggaran, di antaranya penyimpanan obat di gudang lantai 3 yang tidak memiliki izin, penyaluran obat keras tanpa resep dokter, serta peredaran obat racikan, obat tradisional, dan kosmetik tanpa izin edar.
Atas temuan itu, BPOM memberikan Surat Peringatan kepada Apotek Gama 1 pada 6 Maret 2019. Namun, pelanggaran tersebut kembali terulang.
Pada Januari 2024, BPOM kembali menerima informasi terkait penjualan obat stelan tanpa label di apotek yang sama. Untuk memastikan kebenaran informasi tersebut, petugas BPOM menyamar sebagai konsumen.
Dalam penyamaran itu, karyawan apotek sempat menawarkan obat bermerek Cataflam seharga Rp75 ribu. Setelah petugas meminta obat yang lebih murah, karyawan kemudian menjual satu paket obat seharga Rp25 ribu berisi 15 butir obat berupa kapsul hijau-kuning, tablet putih, dan tablet berwarna pink.
Obat-obatan tersebut tidak dilengkapi label yang mencantumkan nama obat, aturan pakai, maupun tanggal kedaluwarsa.
Selanjutnya, pada 19 September 2024, BPOM kembali melakukan inspeksi mendadak di Apotek Gama 1. Pemeriksaan yang disaksikan pihak apotek menemukan adanya ruang penyimpanan sediaan farmasi serta ruang penyimpanan cangkang kapsul di lantai 3 yang tidak memiliki izin resmi.
Berdasarkan rangkaian temuan tersebut, Lucky Mulyawan Martono bersama Popy Herlinda Ayu Utami dinyatakan terbukti menjual obat keras tanpa resep dokter dan melakukan pelanggaran peredaran obat.
Usai pembacaan tuntutan, Majelis Hakim menunda persidangan hingga pekan depan dengan agenda pembelaan atau pledoi dari kedua terdakwa.