Kasepuhan Cisungsang, Masyarakat Pedalaman di Kaki Gunung Halimun  

Bagi mereka, padi hingga nasi tidak boleh diperjualbelikan

Lebak, IDN Times - Di Provinsi Banten ada dua kelompok masyarakat adat, yakni masyarakat adat Baduy atau orang Kanekes dan masyarakat adat Kasepuhan. Selama ini, Suku Baduy sudah banyak dibahas, kini giliran kasepuhan.

Ada perbedaan mencolok antara masyarakat adat Baduy dengan kelompok adat Kasepuhan. Masyarakat adat kasepuhan terbuka dengan budaya modern, sementara orang Kanekes lebih tertutup dengan perubahan zaman.

Salah satu masyarakat adat Kasepuhan yang masih eksis hingga kini adalah Kasepuhan Cisungsang. Kompok ini berada di kaki Gunung Halimun, Desa Cisungsang, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten.

Baca Juga: Tidak Punya NIK, Bagaimana Nasib Vaksinasi Suku Baduy Dalam? 

1. Sejarah berdirinya adat Kasepuhan Cisungsang

Kasepuhan Cisungsang, Masyarakat Pedalaman di Kaki Gunung Halimun  Dok. Istimewa/Noci

Sejarah awal berdirinya Kasepuhan Adat Banten Kidul ini dimulai dengan musyarawah para sesepuh pada zaman dahulu. Dari musyawarah itu, tercipta lima turunan mandiri kasepuhan adat di seputar Banten selatan.

Satu kasepuhan berada di daerah Bayah, sedangkan saudara serumpun tercipta di daerah lainnya. Saudara serumpun itu dibagi menjadi dua istilah, yaitu ‘dulur awewe’ (saudar perempuan dan ‘dulur lalaki’ (saudara lelaki). Dulur Awewe saat ini, yaitu Kasepuhan Cicarucub dan Citorek. Sedangkan Dulur Lalaki adalah Kasepuhan Cisungsang dan Kasepuhan Ciptagelar yang ada di Sukabumi, Jawa Barat.

Karena tinggal di pegunungan, tak heran jika leluhur masyarakat adat Kasepuhan Cisungsang merupakan masyarakat agraris. Mereka mengandalkan cocok tanam, terutama padi.

Masyarakat ini dipimpin oleh seorang Abah yang memiliki puncak piramida kekuasaan, memiliki keahlian dalam bidang pertanian teknis dan simbolis, pemberi doa dan restu segala kegiatan masyarakat di Kasepuhan Cisungsang.

Sementara untuk menangani kesehatan, ritual pertanian dan siklus hidup diurus oleh seorang yang diberi gelar dukun.

Juru Wicara Adat Kasepuhan Cisungsang Henriana Hatra Nochi mengatakan, dari berbagai legenda masyarakat agraris di Nusantara, keberadaan Dewi Sri sangat disakralkan. Tak terkecuali, para leluhur Sunda yang dahulu mengamalkan keyakinan Sunda Wiwitan dan Hindu.

Meski kini sebagian besar masyarakat Sunda beragama Islam, namun warga adat seperti di Kampung Cisungsang masih meyakini keberadaan Dewi Sri--yang dalam masyarakat Sunda disebut Nyi Pohaci-- sebagai lambang kesuburan.

"Meskipun demikian warga adat kasepuhan umumnya memeluk agama Islam. Hal tersebut dilakukan semata-mata hanya tradisi dan mempertahankan tradisi leluhur," kata Henriana kepada IDN Times, Selasa (23/3/2021).

2. Bertani adalah keharusan bagi masyarakat adat Cisungsang

Kasepuhan Cisungsang, Masyarakat Pedalaman di Kaki Gunung Halimun  Dok. Istimwa/Noci

Masyarakat adat Kasepuhan, kata Henriana, menyadari bahwa dalam pengelolaan alam, masyarakat harus menitikberatkan pada keseimbangan. Artinya, apa yang diambil, harus berbanding lurus dengan apa yang diberikan terhadap alam.

Sistem pertanian di masyarakat adat Kasepuhan terbagi menjadi dua, yaitu sistem pertanian lahan kering atau huma dan pertanian lahan basah atau sawah.  Selain keduanya terdapat juga ladang atau perkebunan yang ditanami berbagai macam pohon kayu dan buah-buahan serta aneka pangan lain.

Bagi masyarakat Kasepuhan bertani sawah merupakan sebuah keharusan, bahkan bagi warga yang tidak mempunyai sawah pun tetap bisa menggarap sawah orang lain atau istilahnya "nengah" atau sistem bagi hasil.

Berbeda dengan pertanian lahan kering yang tidak tergantung pada air, pertanian sawah lebih membutuhkan perhatian ekstra agar kondisi air tetap terkontrol. 

"Masyarakat adat kasepuhan ini bertani berladang dan di situ muncul ritual dengan aktivitas pertanian, siklus satu tahun masing-masing ada ritualnya," katanya. Salah satu ritual paling menonjol, menurut dia, adalah Seren Taun atau ritual adat panen padi.

3. Warga Kasepuhan Cisungsang tidak boleh menjualbelikan padi

Kasepuhan Cisungsang, Masyarakat Pedalaman di Kaki Gunung Halimun  Dok. Istimewa/Noci

Bagi masyarakat adat Cisungsang, padi dan beras merupakan komoditas sakral yang memiliki strata tersendiri dan istimewa. Oleh karena itu, hasil pertanian tidak boleh memperjualbelikan padi, beras atau bahan makanan yang berbahan dasar beras.

Padi diposisikan sebagai tanaman yang harus dijaga mulai dari penanamannya, perlakuan mènanamnya, mengolah sampai di atas piring makan-- ada ritual tersendiri. Mereka lebih memilih untuk memberikan padi kepada orang membutuhkan ketimbang menjual.

"Kaitannya dengan ketika ada ritual seperti Seren Taun, makan silakan (makan) sekenyangnya, mau pengunjung mau orang lewat, siapapun. Bukan hanya di imah gede, tapi terjadi juga di rumah warga yang lain. Tidak ada orang Cisungsang jual nasi," katanya.

4. Wasiat leluhur kasepuhan yang harus dijalani masyarakat

Kasepuhan Cisungsang, Masyarakat Pedalaman di Kaki Gunung Halimun  Dok. Istimewa/Noci

Berikut beberapa Wasiat Lisan dari Kasepuhan Cisungsang :

1. “Nyucrug galur mapay wahangan, Nete taraje nincak ambalan”
(melalui jalur mengikuti sungai, memanjat tangga, menginjak anak tangga = harus sesuai alur tradisi)

2. “Mipit kudu amit, Ngala kudu menta, Nganggo kudu suci”

(memetik harus ijin, mengambil harus bilang, memakai harus yang bersih).

“Ngadahar anu halal, Ngecap Sabenerna, Nganjuk kudu naur, Ngahutang kudu Mayar, Nginjem kudu mulangkeun, Sing Tigin kana janji, Iman ka diri sorangan”

(Makan harus yang halal, bicara yang sebenarnya, hutang harus dibayar, meminjam harus mengembalikan, harus setia pada janji, percaya terhadap diri sendiri).

3. “Sing sarua cangkang jeung eusina, bisi pahili adina patukeur lanceukna, bisi jadi kawih mamaruhan”

(harus sama bungkus dengan isinya, khawatir tertukar adiknya dengan kakaknya, takut terjadi lagu yang tidak sesuai iramanya).

4. “Bisi jadi genteng kukadekna, legok ku amal perbuatan-nana”

(takut terjadi bekas akibat goloknya, terdorong oleh amal perbuatanya).

5. “Moal di duduka ku batur mun urang teu ngaduduka batur, Moaldicabok batur, mun urang teu nyabok batur, Moal di kadek batur, mun urang teu ngadek batur”

(tidak akan dihina orang lain kalau kita tidak menghina orang lain, tidak akan dipukul, kalau tidak memukul orang lain, tidak akan dibacok orang lain, kalau kita tidak membacok orang lain).

6. “Ka cai kudu saleuwi, ka darat kudu saleugok, sareundeuk saigeul, sa bobok sa pihanean”

(ka = Keu, Cai = Air, sa = Se-, Leuwi = Danau, Darat = daratan, leugok = bekas galian, sareundeuk = seirama, saigeul = satu gerakan.

7. “lamun lelemburan kumaha batur salembur, mun makaya kumaha batur sacatihan” (kalau main ke tempat lain bagaimana teman ditempat itu saja, kalau bekerja bagaimana teman terdekat saja).

8. “Dug hulu pet nyawa, congeang balik aseupan”

(Hulu = kepala, pet = hilang, nyawa = nyawa, congeang = ungkapan sehari hari ketika alat/benda dibalik seketika, Aseupan = dandang dari anyamanan bambu untuk masak nasi).

Baca Juga: Di Balik Ritual Kawalu Suku Baduy Dalam, Doa dan Puasa untuk Indonesia

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya