(Bangunan di komplek PTPN Serpong yang dulunya adalah markas NICA) IDN Times/Muhamad Iqbal
Versi itu juga menjelaskan, pasukan berkekuatan 400 orang di bawah pimpinan KH. Ibrahim, sesampainya di Tenjo bergabung dengan pasukan laskar dari Tenjo yang dipimpin oleh KH. Harun, seorang ulama yang terkenal sebagai Abuya Tenjo. Laskar Tenjo berjumlah sekitar 300 orang.
Pada tanggal 25 Mei 1946, kedua pasukan tersebut dengan hanya menggunakan senjata tajam, terus berjalan kaki menuju Parungpanjang, suatu tempat di sebelah barat Serpong.
Di sepanjang perjalanan dalam misi mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamirkan dan mengusir pasukan NICA di Serpong, pasukan bertambah terus di antaranya dari dari Kampung Sengkol pimpinan Jaro Tiking, pasukan dari Rangkasbitung pimpinan Mama Hasyim, dan pasukan laskar pimpinan Nafsirin Hadi dan E. Mohammad Mansyur.
Sampai di Kademangan, Serpong, pada 25 Mei 1946 malam, para pimpinan pasukan berunding untuk mengatur siasat pertempuran. Esok harinya, tanggal 26 Mei 1946 mereka melancarkan serangan.
Laskar rakyat Banten di bawah pimpinan KH. Ibrahim dengan hanya menggunakan senjata tajam dan teriakan takbir itu membuat pasukan Belanda waspada dan siap mengambil posisi di tempat-tempat yang strategis.
Pasukan laskar Banten maju terus dengan mengumandangkan takbir, sementara di lain pihak, pasukan Belanda gencar menembaknya melalui senapan-senapan mesin yang ditempatkan di tempat strategis, seperti di atas bukit di sekitar jalur penyerangan laskar Banten.
Alhasil korban berjatuhan di pihak rakyat Banten. Suara takbir lambat laun melemah dan akhirnya tidak terdengar lagi di mana sekitar 200 laskar Banten gugur, termasuk KH. Ibrahim dan Jaro Tiking.
Untuk mengurus dan memakamkan jenazah para korban, Nafsirin Hadi berhasil menemui pimpinan tentara Belanda, seorang Letnan KNIL.
Permintaannya dikabulkan dengan mengatakan, “Saya diharuskan memberikan Tuan izin untuk menguburkan jenazah-jenazah itu, tetapi hanya oleh empat orang dari Pasukan Tuan. Dan pukul 06.00 sore, Tuan harus sudah meninggalkan tempat ini”.
Atas persetujuan pimpinan tentara Belanda, para korban itu pada tanggal 27 Mei 1946 siang, dikubur secara massal dalam tiga lubang besar. Namun tempat pemakaman itu kemudian diberi nama “Makam Pahlawan Seribu Serpong” yang terletak di Kampung Pariang, Serpong, yang saat ini sudah menjadi jalan ke arah Cisauk, Kabupaten Tangerang.
Di lokasi tersebut, dibangun juga Monumen Tugu Pahlawan. Tapi, seiring pesatnya perkembangan wilayah, membuat makam para pahlawan itu seolah terpinggirkan oleh kesibukan perniagaan komersial, ditambah lagi, pertigaan Cisauk memang kondang akan kemacetan lalu-lintasnya.
Alhasil, TMP di lokasi titik pertempuran Pahlawan Seribu itu pun dipindahkan ke tempatnya yang sekarang.
Sementara itu, TB Sos Renda meyakini jumlah korban adalah 700 orang. Mereka dimakamkan dalam dua lubang. Satu untuk pimpinan pasukan yakni KH. Ibrahim dan satu lagi untuk 699 orang laskar yang dimakamkan massal.
"Mereka dimakamkan secara massal, tapi untuk KH. Ibrahim dimakamkan sendiri di mana sebelum ditutup pakai tanah kembali para jasad ditabur kapur dengan jumlah yang banyak, makanya pas digali kembali, tulang belulang sangat sedikit bahkan hampir tak ada. Mirisnya saat pemakaman itu banyak laskar juga yang belum mati, kena tembak tapi gak bisa lari atau bangkit pergi, artinya mereka dikubur hidup-hidup saat masih sadar atau sekarat, tak ada yang bisa menolong, lantaran NICA mengawasi dengan senapan-senapannya," tutur TB Sos Renda.