Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi palu hakim. (IDN Times/Rinda Faradilla)
Ilustrasi palu hakim. (IDN Times/Rinda Faradilla)

Intinya sih...

  • Pencabutan BAP dan laporan di tengah proses peradilan tak bisa jadi dasar hukum Saefi sebelumnya divonis bebas oleh PN Serang.

  • Komnas PA menduga kuat ada relasi kuasa terhadap korban, yang membuat korban mencabut laporan setelah adanya perdamaian dengan pelaku.

  • Putusan bebas ini bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum kasus kekerasan seksual terhadap anak, khususnya yang terjadi di lingkungan keluarga.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Serang, IDN Times – Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Provinsi Banten menyoroti putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang menguatkan vonis bebas terhadap Muhammad Saefi, terdakwa kasus pemerkosaan anak kandung di Kecamatan Waringinkurung, Kabupaten Serang.

Ketua Komnas PA Banten, Hendry Gunawan menilai, putusan tersebut menunjukkan lemahnya perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual, terutama yang melibatkan hubungan keluarga.

“Kami menghormati keputusan pengadilan, termasuk Mahkamah Agung yang menguatkan putusan sebelumnya. Namun secara moral dan etika, kami menolak dasar pembebasan pelaku yang menggunakan poin perdamaian,” kata Hendry saat dikonfirmasi, Kamis (9/10/2025).

1. Pencabutan BAP dan laporan di tengah proses peradilan mestinya tak bisa jadi dasar hukum

Ilustrasi pencabulan (IDN Times/Shukma Sakti)

Saefi sebelumnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri (PN) Serang pada 16 Januari 2025 dengan hakim ketua Hery Cahyono. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Serang kemudian mengajukan kasasi, namun MA menolak permohonan tersebut. Majelis hakim MA diketuai oleh Soesilo dengan anggota Achmad Setyo Pudjoharsoyo dan Yanto.

Menurut Hendry, alasan perdamaian antara pelaku dan korban tidak semestinya menjadi dasar pembebasan dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak. Ia menduga adanya relasi kuasa yang membuat korban mencabut keterangan dan laporan terhadap ayah kandungnya itu.

“Ini yang membuat korban berada dalam posisi rentan terhadap tekanan,” ujarnya.

2. Komnas PA menduga kuat ada relasi kuasa terhadap korban

Ilustrasi pencabulan (IDN Times/Sukma Shanti)

Hendry menjelaskan, Komnas PA Banten sempat melakukan pendampingan selama proses hukum berlangsung. Namun, ketika perkara disidangkan, korban mencabut laporan setelah adanya perdamaian dengan pelaku. Ia menduga terdapat tekanan psikologi terhadap korban yang selalu berada di bawah pengawasan keluarga pelaku.

“Yang perlu dipahami masyarakat adalah adanya relasi kuasa antara ayah dan anak. Dalam kasus seperti ini, relasi kuasa sangat rentan terhadap intimidasi atau tekanan. Kami khawatir hal itu terjadi dan berpengaruh pada hasil putusan,” katanya.

3. Putusan ini jadi preseden buruk bagi penegakan hukum kekerasan anak

Ilustrasi pencabulan/dok. Istimewa

Hendry menilai, putusan bebas ini bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum kasus kekerasan seksual terhadap anak, khususnya yang terjadi di lingkungan keluarga.

“Kasus ini menunjukkan bahwa korban anak masih sangat rentan ketika pelaku berasal dari lingkup domestik. Ini kemunduran besar bagi keadilan anak di Banten,” tegasnya.

Ia menambahkan, masih terbuka peluang untuk menempuh upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali (PK) apabila ditemukan bukti baru. Namun keputusan tersebut sepenuhnya berada di tangan kejaksaan.

Editorial Team