Kuasa Hukum PIK: Tak Ada Sertifikat Laut, Hanya Lahan Terabrasi

- Muannas menegaskan klaim laut yang disertifikatkan tidak benar, yang terjadi adalah alih fungsi lahan tambak atau sawah milik warga yang terabrasi.
- Berdasarkan koordinasi dengan Lembaga Geospasial, Menteri ATR/BPN memerintahkan pemeriksaan garis pantai Desa Kohod untuk memastikan HGB dan SHM berada di dalam atau di luar garis pantai.
- Semua dokumen penerbitan HGB dan SHM diterbitkan melalui proses yang legal, lahan tambak atau sawah milik warga dialihkan menjadi SHGB milik PT setelah pembelian resmi.
Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Tangerang, IDN Times - Polemik terkait adanya sertifikat Hak Guna Bangun (SHBG) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di kawasan laut Utara Kabupaten Tangerang terus mencuat. Terbaru, Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid mengungkapkan ada 266 sertifikat tanah yang ternyata berada di luar garis pantai atau laut.
Namun, Kuasa Hukum PIK, Muannad Alaidid menegaskan, klaim laut yang disertifikatkan tidaklah benar. Menurutnya, yang terjadi adalah alih fungsi lahan tambak atau sawah milik warga yang terabrasi, namun batas-batasnya masih jelas dan kemudian dialihkan sesuai prosedur hukum.
“Pernyataan Menteri ATR/BPN kemarin sangat jelas. Tidak ada laut yang disertifikatkan. Yang ada adalah lahan tambak atau sawah yang terabrasi, namun batasnya tetap dapat diketahui dan tercatat dalam dokumen resmi, lalu dialihkan menjadi HGB dan SHM,” ujar Muannas dalam pernyataan yang diterima IDN Times, Rabu (22/1/2025).
1. Muannas sebut kavling HGB dan SHM adalah tambak warga yang terabrasi

Muannas mengungkapkan, berdasarkan koordinasi dengan Lembaga Geospasial, Menteri ATR/BPN sebelumnya telah memerintahkan Direktorat Jenderal Survei dan Pemetaan Pertanahan dan Ruang (SPPR) untuk berkoordinasi dengan Badan Informasi Geospasial (BIG) guna memeriksa garis pantai Desa Kohod. Pemeriksaan ini bertujuan memastikan apakah HGB dan SHM berada di dalam atau di luar garis pantai berdasarkan perubahan garis pantai sejak tahun 1982 hingga 2024.
Muannas juga menyebutkan bahwa pengecekan melalui Google Earth menunjukkan kavling HGB dan SHM yang berada di sekitar pagar bambu bukanlah laut, melainkan lahan warga yang telah terabrasi.
“Masalah ini muncul karena ada yang salah memahami bahwa pagar laut sepanjang 30 kilometer tersebut adalah bagian dari SHGB milik pengembang, padahal sebagian di antaranya adalah SHM milik warga,” tambahnya.
2. Muannas sebut semua proses sudah sesuai prosedur

Terkait penerbitan HGB dan SHM, Muannas memastikan bahwa semua dokumen diterbitkan melalui proses yang legal. Lahan yang semula berupa tambak atau sawah milik warga dialihkan menjadi SHGB milik PT setelah melalui pembelian resmi, pembayaran pajak, serta dilengkapi Surat Keputusan (SK) Izin Lokasi dan PKKPR (Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang).
“SHGB yang ada diterbitkan sesuai proses dan prosedur. Semula lahan tersebut SHM milik warga, dibeli secara resmi oleh PT, dibalik nama, dan pajaknya dibayar. Semua dokumen lengkap,” tegas Muannas.
3. Pagar laut sepanjang 30,16 kilometer bukan bagian HGB PIK

Muannas juga menyoroti adanya narasi yang salah kaprah mengenai pagar laut sepanjang 30 km. Isu ini mirip dengan narasi terkait Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dikaitkan secara keliru dengan PIK 2.
"Sama seperti itu, klaim bahwa seluruh pagar laut sepanjang 30 km adalah bagian dari HGB PIK juga tidak benar,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa selain HGB milik pengembang, terdapat juga SHM milik warga yang harus diperhatikan dalam konteks ini. “Keterangan BPN sudah jelas, tidak semua pagar laut ini terkait HGB PIK. Ada SHM warga lainnya yang terlibat,” tutupnya.