Kuliner Legend: Lawas, Tapi Bertahan dari Gempuran Zaman

Serang, IDN Times - Pada satu titik, kuliner gak hanya sekedar makanan untuk mengenyangkan perut. Di titik ini, kuliner dimaknai sebagai perjalanan sejarah, nostalgia, perjuangan, bahkan identitas.
Di setiap daerah di Tanah Air, ada sejumlah tempat-tempat makan yang menyajikan kuliner dengan makna mendalam ini. Melintasi masa demi masa, bahkan pandemik COVID-19, pengelola tempat makan bisa terus menghadirkan makanan bagi penikmat setia mereka.
Beberapa tempat makan ini jauh dari kata mewah. Beberapa tempat makan bahkan berbentuk rumah sederhana atau berada di dalam jalan yang kecil, namun mereka tak pernah kehilangan pelanggan setia.
Tulisan kolaborasi hyperlocals IDN Times kali ini merangkum kisah-kisah pegiat kuliner di berbagai pelosok daerah yang menjadi legenda. A legend!
Seperti apa kisah mereka? Dan, apakah ada kuliner favorit keluargamu dari masa ke masa? Yuk Simak nih.
Ny Lauw dan Kedai 55 menjadi bukti dan saksi keberadaan peranakan Tionghoa di Tanah Air
Jika bicara dodol tau kue keranjang, susah rasanya mengesampingkan Ny Lauw. Berdiri sejak 1964, Ny Lauw menjadi merek dodol dan kue keranjang yang kesohor. Gak hanya itu, Ny Lauw pun menjadi salah satu ikon Kota Tangerang loh.
Usaha kuliner ini kini dikelola generasi ketiga. Ci Lin, pengelola usaha kuliner itu mengungkap, Ny Lauw sendiri bukan merujuk ke nama orang, melainkan marga.
Usaha ini didirikan kakeknya. "Nyonya Lauw merupakan nama marga dari kakek, perintis awal usaha," kata Lin, Jumat (4/3/2022).
Bukan hal yang mudah bagi keluarga Lin untuk bertahan hingga tetap dikenal publik setelah setengah abad lebih. Mempertahankan resep asli dan kualitas serta tetap mengikuti keinginan pasar, menjadi kunci Ny Lauw bertahan hingga kini.
Dodol dan kue keranjang merupakan salah satu dari sekian banyak kuliner peranakan Tionghoa yang berakar di Tanah Air. Kuliner peranakan Tionghoa ini biasanya sangat dicari ketika tahun baru China atau Imlek tiba.
Keluarga lain yang turut melanggengkan kuliner peranakan Tionghoa adalah keluarga Louis Mariani di Jawa Tengah. Keluarga ini merintis Kedai 55 di pesisir di Pantai Utara Jawa, Kota Semarang sejak 1958.
Budaya Tionghoa memang cukup kental memengaruhi khasanah kuliner di Ibu Kota Jawa Tengah. Pasalnya, imigran Tionghoa membawa resep-resep masakan dari negeri asalnya, kemudian mereka meracik makanan dengan menggunakan bahan-bahan lokal di Semarang. Resep-resep tersebut diwariskan ke keturunannya sehingga, muncullah kuliner peranakan Tionghoa yang sampai saat ini ditemui dan dijajakan di Kota Semarang.
Kedai 55 Semarang menjadi salah satu dari ribuan kuliner peranakan Tionghoa yang masih eksis sampai saat ini. Louis, perempuan keturunan etnis Tionghoa berusia 87 tahun, menjadi penjaja kuliner peranakan sejak tahun 1958.
Warung makan tersebut jauh dari kata mewah. Keluarga Louis malah memanfaatkan garasi rumah untuk berjualan makanan, mulai dari lontong opor, nasi opor, nasi langgi, nasi berkat, gado-gado, hingga ayam goreng. Menu andalan Kedai 55 adalah lontong Cap Go Meh.
Di usia senja itu, Mak Louis --begitu ia akrab disapa-- setia merawat resep kuliner keluarga yang diwariskan orangtuanya, Sie Tie Nio dan Kwik Kwat Ring selama lebih dari setengah abad. Tentu bukan hal mudah bagi sebuah usaha tempat makan bisa bertahan selama itu.
Louis mengatakan, kunci untuk bisa melanggengkan warisan kuliner keluarga adalah tidak pernah mengubah resep dari sang Ibu.
"Jadi, masakan yang disajikan juga kurang lebih tetap sama dengan yang dibuat mama saya. Setiap hari mulai siang setelah kedai tutup saya sudah menyiapkan masakan untuk dijual esok hari," tuturnya kepada IDN Times, Jumat (4/3/2022).
Mak Louis juga tak pernah bosan melayani pembeli yang datang di Kedai 55. Tangan keriputnya dengan luwes mengiris lontong lalu ditata di sebuah piring untuk melayani pembeli yang memesan lontong opor.