May Day, Ribuan Buruh Bergerak untuk Menolak UU Cipta Kerja

Serang, IDN Times - Massa buruh kembali berencana turun ke jalan hari ini, (1/5/2023). Berdemo, buruh membawa sejumlah tuntutan dan salah satu yang utama adalah penolakan terhadap Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.
Ini bukan kali pertama buruh dan mahasiswa menggelar unjuk rasa untuk menolak UU Cipta Kerja yang sebelumnya disahkan DPR RI pada 21 Maret 2023 dari Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 2 Tahun 2022.
Hari Buruh menjadi salah satu momentum pekerja untuk berunjuk rasa dan mempertanyakan kembali keseriusan pemerintah dan DPR RI dalam melindungi buruh. Demo ini tak hanya di Jakarta dan sekitarnya. Massa buruh di berbagai daerah pun merencanakan aksi demo.
"MPBI DIY kecewa berat dan telah dikhianati oleh pemerintah dan DPR RI. Kami menolak dan meminta untuk dicabut UU Cipta Kerja yang disahkan secara cacat formil dan konstitusional," kata Koordinator MPBI DIY Irsad Ade Irawan.
1. Kelahiran Perppu Cipta Kerja yang kontroversial
Pada 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan UU nomor 11 tahun 2020 mengenai Cipta Kerja cacat formil dan prosedur sehingga bertentangan dengan UUD 1945 atau "inkonstitusional bersyarat". MK juga meminta pemerintah memperbaiki UU tersebut dalam waktu dua tahun, dengan melibatkan partisipasi publik.
Di akhir tahun 2022, Presiden Jokowi kemudian menerbitkan Perppu nomor 2 tahun 2022 untuk mengganti UU Cipta Kerja yang dinyatakan cacat formil itu. Dalam keterangan pers Jumat (30/12/2022), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengungkap, salah satu keterdesakan itu adalah pemerintah perlu bersiap-siap untuk menghadapi ancaman resesi global yang diperkirakan terjadi pada 2023.
"Juga ada beberapa negara sedang berkembang yang sudah masuk ke IMF (Badan Moneter Internasional). Jumlah lebih dari 30. Ke depan ada juga lagi yang antre 30 (negara). Jadi, kondisi krisis ini untuk emerging developing country sangat real," kata Ketua Umum Partai Golkar tersebut.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD juga mengklaim, perppu ini menggugurkan status inkonstitusional atas UU nomor 11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Dia berpendapat, dengan diterbitkannya perppu maka sudah ada perbaikan di dalam UU Cipta Kerja.
"Tetapi, hampir seluruh ahli hukum sependapat, menjadi hak subyektif presiden untuk mengeluarkan perppu," kata mantan Ketua MK tersebut.
Perppu yang kemudian disahkan DPR RI menjadi UU itu pun menimbulkan kontroversi. Penolakan demi penolakan bermunculan, khususnya dari kelompok buruh, mahasiswa, bahkan ahli hukum.
Salah satu persoalan yang mencuat adalah isi perppu ini sama dengan UU Cipta Kerja yang sebelumnya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh MK. “Namun ada sedikit perbaikan, umumnya sesuai dengan isi UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja,” kata Wakil Ketua Badan Legislatif (Baleg) DPR RI M Nurdin.
Ahli hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti mempertanyakan pendapat Mahfud bahwa perppu bisa i menggugurkan status inkonstitusional UU nomor 11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.
"Jadi, menurut saya, (Mahfud) keliru memahami dan patut disayangkan, dia yang pernah menjabat sebagai Ketua MK kok tidak paham makna dari putusan uji formil," tutur dia lagi.
Dia mengatakan, pembuat undang-undang--yakni pemerintah dan DPR--menjawab instruksi dari MK. Pertama, mereka harus memperbaiki metode omnibus law. Kedua, dalam proses perbaikan undang-undang harus melibatkan partisipasi publik.
"Prosesnya harus sesuai dengan instruksi MK itu. Artinya, partisipasi bermaknanya harus ada. Sedangkan, Perppu ini tidak ada partisipasi bermakna," ungkap Bivitri kepada IDN Times pada Jumat, (30/12/2022). Menurut Bivitri, yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Joko "Jokowi" Widodo adalah langkah culas dalam sistem demokrasi.
Lebih lanjut, menurut Bivitri, keadaan mendesak bukan datang dari luar Indonesia. Desakan itu muncul dari pengusaha yang gamang lantaran tak ada kepastian terkait implementasi UU Cipta Kerja.
"Karena bedakan antara desakan pengusaha, kegentingan pengusaha, dengan kegentingan yang diisyaratkan dalam pasal 22 UUD 1945. Aturan itu kan yang dijadikan dasar untuk mengeluarkan perppu. Kalau dilacak pasal 22 UUD 1945 dibuat karena ada situasi yang dialami oleh Indonesia sendiri," tutur dia.
Ia memberikan contoh negara terdekat Indonesia berperang sehingga dampaknya terasa hingga ke Tanah Air, maka DPR nya tidak bisa menggelar sidang. Sementara, bila tahun depan terjadi resesi ekonomi, parlemen tetap bisa menggelar sidang dan membahas undang-undang.
"Jadi, kegentingan memaksa seperti yang dibayangkan oleh pembuat UUD dan para pendiri bangsa ini, situasi ini gak ada sebenarnya. Karena resesi ekonomi tidak tepat dijadikan alasan untuk mengeluarkan Perppu. Kan tidak tiba-tiba hari ini resesi lalu keesokan harinya negara ini akan bangkrut," ujarnya.
LBH Jakarta pun mengkritik langkah DPR RI yang mengesahkan perppu itu. Dalam keterangan yang dikutip dari lamannya, LBH Jakarta berpandangan DPR RI telah mengkonfirmasi ketidakberpihakannya terhadap suara-suara rakyat, khususnya kelas pekerja.
LBH pun memberikan catatan bahwa Presiden Jokowi memilih jalan pintas untuk memberlakukan kembali Omnibus Law Cipta Kerja sudah dinyatakan inkonstitusional dengan menetapkan Perppu Cipta Kerja yang muatan materinya identik (10 klaster).
"Hal lain yang paling serius adalah Presiden RI dan DPR RI secara bermufakat mengulang masalah pembentukan UU yang cacat formil,dengan tidak memberikan akses kepada masyarakat," demikian pernyataan LBH Jakarta.
Pengesahan UU Cipta Kerja ini, menurut LBH Jakarta, berimplikasi terhadap kehidupan masyarakat luas di lintas sektor ketenagakerjaan, masyarakat adat dan lingkungan hidup. Praktik-praktik yang melanggar hak rakyat--seperti pasar tenaga kerja fleksibel, politik upah murah dan sentralistik, perluasan sistem outsourcing, ancaman lingkungan hidup dan perampasan wilayah adat--akan berlanjut dan dilegitimasi, melalui tindakan persetujuan Perppu Cipta Kerja oleh DPR RI.
"Keputusan DPR RI yang menyetujui Perppu Cipta Kerja menjadi UU merupakan preseden buruk," kata LBH Jakarta.
Untuk itu, LBH Jakarta mendesak Presiden RI dan DPR RI untuk berhenti melakukan praktik buruk legislasi yang tidak melaksanakan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
Majelis Pekerja Buruh Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (MPBI DIY) juga menyayangkan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja itu. Masalah UU Ciptaker menjadi salah satu isu yang akan diangkat para buruh pada Hari Buruh yang dinilai banyak merugikan buruh.
"MPBI DIY kecewa berat dan telah dikhianati oleh pemerintah dan DPR RI. Kami menolak dan meminta untuk dicabut UU Cipta Kerja yang disahkan secara cacat formil dan konstitusional," kata Koordinator MPBI DIY, Irsad Ade Irawan, Sabtu (29/4/2023).