Banjir Bandang dan Longsor Lebak, Salah Siapa? 

Reportase IDN Times tentang tambang emas liar di Lebak

Lebak, IDN Times - Awal Januari 2020, banjir bandang dan longsor menerabas apapun yang ada di hadapannya, di sepanjang aliran Sungai Cibeurang, Lebak. Semua dilumat, mulai dari jembatan, rumah, pohon, hingga manusia yang tak awas dan siap.

Setelah bencana mereda, diketahui sembilan orang tewas dan ribuan orang kehilangan tempat tinggal. Tak hanya itu, 30 jembatan penghubung hancur, beberapa ruas jalan terputus dan puluhan bangunan sekolah rusak berat.

Siapa yang salah? 

Tujuh hari pasca bencana alam tersebut memukul warga di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) itu, Presiden Joko "Jokowi" Widodo mengeluarkan perintah. Dia meminta Bupati Lebak dan Gubernur Banten agar menghentikan kegiatan penambangan emas dan pembalakan liar di sekitar Kawasan TNGHS.

Orang nomor satu di Indonesia ini memberikan penekanan khusus terhadap para penambang emas liar yang disebut jadi sebab adanya bencana itu.

"Dan yang di Lebak kita lihat memang ini karena perambahan hutan karena menambang emas secara ilegal. Tadi saya sudah sampaikan ke pak gubernur, ke bu bupati agar ini dihentikan, gak bisa lagi," tegas Jokowi di Kecamatan Lebak Gedong, Kabupaten Lebak, Banten, Selasa (7/1).

"Karena keuntungan satu dua orang kemudian ribuan yang lainnya dirugikan dengan banjir bandang ini," kata Jokowi lagi.  

Baca Juga: Gurandil Tambang Emas di Lebak Merasa Diperlakukan Bak Teroris 

1. Menolak disebut sebagai penyebab bencana di kampungnya, gurandil: kami hanya dijadikan kambing hitam

Banjir Bandang dan Longsor Lebak, Salah Siapa? IDN Times/Khaerul Anwar

Endil (bukan nama sebenarnya) mengaku resah. Pemuda 25 tahun itu kini tak lagi miliki pekerjaan sejak pertambangan emas tanpa izin (PETI) ditutup aparat.

Menurut dia, hampir 99 persen warga di kampungnya berprofesi sebagai penambang liar atau disebut gurandil. Jadi, tak hanya Endil saja yang bingung di kampung itu, warga lainnya yang ada Kampung C juga kehilangan sumber pencarian. 

"Soalnya mata pencaharian kami cuma di sana, jadi gurandil ini. Kalau gurandil ditutup gini, emang pemerintah sanggup membiayai hidup kami? Kan gurandil juga punya anak istri, pemerintah mau ngasih susu anak-anak kami? Ngasih makan anak istri kami di rumah?" kata Endil kepada IDN Times, beberapa waktu lalu. 

Endil pun menolak pernyataan yang menyebut gurandil disebut sebagai biang kerok dan penyebab banjir bandang dan longsor yang melanda Lebak. ketika bencana itu datang, menurut Endil, mereka masih menambang dan tidak terjadi bencana longsor.

Dia baru mengetahui banjir dan longsor dua hari setelah kejadian. "Kata saya mah, gurandil hanya dijadikan kambing hitam oleh pemerintah. Menurut saya ada unsur perusahaan besar mau masuk ke sana," kata dia. 

Endil bercerita, para gurandil belum pernah mendapatkan sosialisasi dari pemerintah bahwa jika ingin melakukan aktivitas pertambangan, harus berizin. Selama ini, menurutnya, mereka selalu menyetor kepada oknum agar tambang mereka aman dan tak diganggu soal izin dan lain halnya.

"Ada jatah setoran gitu. Waktu itu, setiap lobang dimintanya 2 beban. Nilainya belum tentu tergantung kandungan emas," kata dia. "Dua beban" yang dimaksud Endil adalah dua karung batu yang mengandung emas. 

IDN Times kemudian menelusuri sekitar lokasi pertambangan emas ilegal tersebut. Berdasarkan informasi yang IDN Times kumpulkan, praktik pertambangan ilegal ini mulai menjamur dari sekitar tahun 2008, setelah sebuah perusahaan tambang emas menyetop eksploitasinya.

Warga yang sebelumnya berprofesi sebagai petani dan pekerja kemudian beralih menjadi gurandil. Sementara yang memiliki modal kemudian mempekerjakan orang-orang untuk menambang di sekitar dan kawasan TNGHS.

Para pemodal itu rata-rata merupakan para kuasa atau jawara yang dikenal sebagai tokoh masyarakat di kawasan itu.

Hal tersebut juga diamini oleh Melky Nahar, Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).

Secara garis besar, kata Melky, sejarah pertambangan di Lebak berawal dari masa kolonial Belanda pada sekitar tahun 1870 -an. Singkat cerita, kemudian pada era 1970 -an perusahaan negara, yaitu PT Aneka Tambang (PT Antam), beroperasi di wilayah itu hingga tahun 2008.

Ketika Antam berhenti beroperasi, gurandil atau para penambang lokal mulai menambang di lahan-lahan yang ditinggalkan perusahaan milik negara itu. 

"Artinya, masyarakat -- dari konteks pengetahuan itu--semacam dipandu memang oleh korporasi tadi itu yang rentang waktunya tidak terlalu jauh dibanding kita bicara pada zaman Belanda. Jadi dari konteks informasi dan pengetahuan saya kira masyarakat belajar dari PT Antam sehingga kemudian mereka memutuskan untuk beralih profesi dari sebelumnya petani ada yang kerja di sektor jasa dan lain sebagainya kemudian memutuskan untuk menjadi gurandil," kata Melky.

Berdasarkan data yang diterima IDN Times dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) di kawasan Lebak yang berbatasan langsung dengan wilayah Jawa Barat itu memiliki potensi kandungan emas sebesar 120 ton. Sementara yang sudah tereksploitasi oleh perusahaan resmi baru sekitar 60 ton.

2. Gurandil menggunakan sianida dan merkuri karena mendapat informasi dari pemodal

Banjir Bandang dan Longsor Lebak, Salah Siapa? IDN Times/Muhammad Atib

Berdasar keterangan Endil, para pemodal pulalah yang membawa masuk praktik-praktik pengolahan hasil tambang menggunakan zat kimia berbahaya, seperti merkuri dan sianida.

Penggunaan zat berbahaya sianida di Kabupaten Lebak untuk proses pemurnian emas sendiri mulai terjadi sejak 2016 ketika ada yayasan asal Korea datang ke kampung mereka. Mereka mengajarkan para gurandil di Kabupaten Lebak mengolah emas agar lebih simpel.

"Kita juga penasaran orang Korea datang tiba-tiba ngajarin. Ngenalin diri dari yayasan ini ke bos-bos gede, lalu dari bos-bos gede dipagahannya (diajarkan)," katanya.

Awalnya, para gurandil mendapatkan zat berbahaya tersebut dengan mudah. Sebuah toko di Lebak, kata dia, menyediakan sianida itu. Namun akhir-akhir ini, pembeli harus menunjukkan kartu identitas jika ingin membeli.

Selain dari toko itu, ada juga penjual yang langsung memasok kepada para gurandil. Gurandil membeli sianida di kisaran Rp5 juta untuk satu tong berisi 60 liter air.

Sementara merkuri lebih mahal, di kisaran Rp1,5 juta per 1 kilogram. "Kalau kami, suka ada yang pasok, dibawain ke atas (ke lubang tambang). Tapi, ada juga yang masih pakai merkuri," katanya.

Tentu saja zat kimia itu dipasok oleh pemodal yang memiliki otoritas atas keberlangsungan pertambangan mereka. Endil menyebut, upahnya dalam dua minggu menggali lubang tambang berkisar antara Rp4 sampai Rp8 juta. Cukup menggiurkan.

Baca Juga: Sianida dan Merkuri, Zat Kimia Berbahaya yang Dipakai Para Gurandil

3. Selain gurandil, DLHK Banten dan IAGI ungkap hal lain sebab bencana

Banjir Bandang dan Longsor Lebak, Salah Siapa? IDN Times/khaerul anwar

Sementara itu, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Banten mencatat ada lima lima faktor yang menjadi penyebab utama banjir bandang dan tanah longsor di wilayah Cipanas itu. 

Dan memang, lubang-lubang tambang merupakan adalah salah satunya. DLHK Banten memastikan, lubang tambang emas ilegal yang ada di wilayah TNGHS menjadi salah satu faktor yang menimbulkan tanah longsor dan banjir bandang. 

Berdasarkan data yang diterima IDN Times dari DLHK Banten, ada lima faktor yang diduga kuat menjadi penyebab banjir bandang dan tanah longsor di Lebak pada 1 Januari lalu.

Pertama, curah hujan yang tinggi. Menurut DLHK Banten, hujan yang turun 31 Desember 2019 hingga 1 Januari 2020 lalu merupakan yang tertinggi dalam 150 tahun catatan Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG).

Kedua, jenis tanah di hulu sungai yang membawa material longsor bersama banjir bandang memiliki keterbatasan dalam menyerap air hujan.

Ketiga, kondisi tutupan atau permukaan lahan di wilayah itu.  Berdasarkan peta 2018, kondisi tutupan lahan pada Sub DAS Ciberang sebagai berikut:

1. Pemukiman atau tempat tinggal, sungai dan bukit pasir darat (sebesar 3,70 persen)

2. Hutan rimba (42,44 persen)

3. Perkebunan atau kebun, sawah, semak belukar atau alang-alang, tanah kosong dan gundul serta tegalan atau ladang (53,86 persen).

Faktor keempat adalah kerentanan tanah. Berdasarkan peta zona kerentanan tanah, sebagian besar wilayah Sub DAS Ciberang sebagian besar masuk zona gerakan tanah menengah hingga tinggi.

Faktor kelima, adanya perubahan penggunaan lahan. Aktivitas penambangan emas liar menyebabkan perubahan fungsi lahan hutan. 

Tak hanya penambang ilegal, berdasar keterangan pihak DLHK Banten, di wilayah itu juga ada perusahaan lokal tambang emas yang beroperasi. IDN Times berusaha mengonfirmasi hal itu kepada Dinas Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM), hingga berita ini diturunkan pihaknya belum memberi jawaban.

Selain itu, DLHK Banten juga mencatat, 4.000 hektare lahan di TNGHS rusak setelah bencana banjir bandang dan longsor di Lebak.

Kerusakan itu terlihat dari pemantauan melalui citra satelit oleh DLHK Banten. Selain di kawasan TNGHS, bagian kiri dan kanan tebing sungai Ciberang pun turut terdampak. "Dan itu kita akan hijaukan untuk kestabilan tebing," kata Kepala DLHK Husni Hasan, Jumat (7/2).

Husni mengatakan, ada 140 titik di sekitar kawasan TNGHS yang rawan longsor. Sebanyak 50 titik di antara telah terjadi longsor saat bencana banjir menerjang Lebak saat pergantian tahun ke 2020 itu.

Serupa dengan data DLHK, Ketua Umum Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sukmandaru Prihatmoko menilai, banjir dan longsor yang terjadi di Lebak, memiliki penyebab yang berbeda. Banjir, kata dia, memang muncul utamanya karena curah hujan yang tinggi di lokasi, dan di hulu sungai.

Saat hujan lebat itu, tidak ada pepohonan yang menahan air dan membuat air meresap ke dalam tanah, sehingga dia mengalir sebagai air permukaan.

Sementara longsor yang berada di kaki gunung itu jauh dari sumber air yang terkena hujan lebat di atas gunung. Longsor itu, Sukmandaru memperkirakan, disebabkan beberapa faktor.

Pertama, curah hujan yang tinggi, "airnya banyak di situ". Kedua, tanah tidak mampu untuk menahan air dalam jumlah besar itu. "Sehingga waktu ada resapan-resapan air atau guyuran hujan, mereka akan mendorong tanah atau batuan yang di atas yang pada kontur lebih tinggi, akan jatuh ke bawah," kata Sukmandaru kepada IDN Times.

Sukmandaru menilai, adapun kaitannya dengan penambang-penambang tanpa izin yang ada di bagian hulunya, tapi kalau dilihat, lokasi itu lumayan jauh dari tempat kejadian banjir dan longsor yang ada di Lebak. "Mungkin bisa jadi sekitar 10 kilometer ke atas itu baru ada banyak penambang di sana," kata Sukmadaru.

Kalau kami melihat, lanjut Sukmandaru, tentunya penambang-penambang ini pengaruhnya terhadap penebangan pohon-pohon, penggundulan hutan-hutan di sana karena aktivitas penambangan. Sehingga air yang harusnya bisa ditahan di atas menjadi mengalir di air permukaan.

"Jadi penyebab tidak langsung mungkin ada seperti itu, tetapi kalau langsung menyebabkan longsor yang ada di bawah, saya kira agak jauh terjadi," kata Sukmandaru.

4. Para kuasa dan kasus yang jalan di tempat di Polda Banten

Banjir Bandang dan Longsor Lebak, Salah Siapa? IDN Times/Muhamad Atib

Sudah hampir dua bulan lebih Tim Satgas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) bekerja, namun belum juga menetapkan tersangka. Dikonfirmasi, Kapolda Banten Irjen Pol Agung Sabar Santoso memastikan proses penyidikan kasus tambang emas ilegal di kawasan TNGHS tetap berlanjut.

"Masih berjalan (penanganan kasus) tetap jalan (penyidikan tambang ilegal)," kata Kapolda saat dikonfirmasi, Selasa (18/2).

Agung mengatakan, saat ini tim Satgas PETI masih mengejar para bos besar pertambangan emas ilegal di TNGHS tersebut. Aktivitas tambang emas ilegal yang ada di kawasan TNGHS disebut-sebut menjadi penyebab terjadinya banjir bandang dan tanah longsor di Kabupaten Lebak pada awal tahun.

"Kita akan terus mengejar sampai yang (memberi modal PETI di Lebak)," katanya.

Meski demikian, Kapolda mengaku hanya mengantongi empat nama calon tersangka. Mereka ada pemilik lubang pertambangan emas di kawasan TNGHS. Berikut data para pemilik tambang yang dibidik polisi:

1. Tambang di Kampung Cikomara, Desa Banjar Irigasi, Kecamatan Lebak gedong milik Entus dan Suhaemi.
2. Pengolahan emas di Kampung Hamberang, Desa Luhur Jaya, Kecamatan Cipanas, Lebak milik Jalaludin.
3. Pengolahan ema di Kampung Tajur, Desa Mekarsari, Kecamatan, Cipanas, Kabupaten Lebak s milik H Toharudin.

"Ditetapkan tersangka kapan? Nanti," kata Agung.

Untuk diketahui, Tim Satgas Peti sudah menutup 36 lubang tambang ilegal, menyita barang bukti dari lokasi dan juga memeriksa saksi dari ahli, pekerja tambang dan juga pengawas.

Namun, tim belum memeriksa para pemilik tambang itu. Pasalnya, para pemilik tambang tidak berada di lokasi maupun di rumah masing-masing ketika aparat menutup lubang-lubang tambang. Para bos itu disebut-sebut kabur ke wilayah Jawa Barat.

Dalam wawancara khusus dengan pihak Polda Banten sebelumnya, IDN Times sudah berusaha mengonfirmasi soal pemodal-pemodal pertambangan ilegal itu yang salah satunya merupakan nama besar, namun untuk kepentingan penyidikan pihak Polda tak memberi jawaban. Pihaknya hanya menyebut sudah memintai beberapa keterangan saksi.

5. Jatam: penegakan hukum harus jujur, adil, dan terbuka

Banjir Bandang dan Longsor Lebak, Salah Siapa? Kepala Pengkampanye JATAM, Melky Nahar (IDN Times/Muhamad Iqbal)

Melky dari Jatam juga menilai ada kekeliruan dalam upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian di Lebak Banten. Melky menerangkan, ketika Presiden Jokowi sudah mengeluarkan pernyataan resmi untuk menindak para perambah hutan dan penambang ilegal, penegakan hukum keliru jika hanya menyasar para gurandil semata.

"Padahal ada aktivitas lain yang itu dilakukan oleh pihak korporasi atau pihak lain yang sejenis yang berkontribusi terhadap alih fungsi lahan atau perusakan kawasan hutan. Mestinya Presiden Jokowi memerintahkan anak buahnya untuk menelusuri atau mengidentifikasi secara serius dan jujur terkait dengan aktivitas apa saja dan aktor siapa saja yang kemudian menyebabkan kawasan di situ hancur, kemudian disampaikan secara terbuka ke publik baru masuk ke konteks penegakan hukumnya," kata Melky.

Melky menilai, kalau tiba-tiba pernyataan Jokowi menjadi kesimpulan atas kasus yang ada, artinya yang di sasar hanya gurandil sementara pihak lain yang berkontribusi terhadap perusakan kawasan itu diabaikan atau memang sengaja didesain untuk diselamatkan dalam kasus ini.

Di sisi lain, Melky menilai gurandil bermunculan sebetulnya merupakan dampak kegagalan pemerintah dalam memberikan alternatif sumber perekonomian yang baru. "Tidak ada satu orang pun yang kemudian memilih satu pekerjaan yang dia tahu, dia mendapat keuntungan tapi di saat yang sama memberikan efek berbahaya untuk dia," kata Melky.

Jika pemerintah hadir di sana, masyarakat akan sadar bahwa tambang itu bukan sumber penghasilan yang menguntungkan tapi malah akan merugikan dirimu serta anak cucumu, mestinya pemerintah menyiapkan sumber alternatif perekonomian kepada masyarakat.

Solusinya seharusnya, lanjut Melky, sebelum masuk ke konteks penegakan hukumnya, yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi seluruh persoalan. Lalu yang kedua yang paling penting adalah mesti ada pemulihan. Pemulihan ini terkait dengan kondisi lingkungan atau kondisi sosial akibat konflik.

"Karena ini kan pertarungan mempertahankan perut masing-masing. Yang mestinya dilakukan juga oleh pemerintah adalah memastikan penegakan hukum ini harus berefek jera terhadap perusahaan atau pihak-pihak yang punya kekuatan besar yang terbukti berkontribusi dengan praktek penghancuran yang terjadi di Lebak, Banten," kata dia. 

Semoga masalah ini segera tuntas.

https://www.youtube.com/embed/LGuA3NLO9GI

Baca Juga: Selain Tambang Ilegal, Ini 4 Faktor Lain Penyebab Bencana di Lebak

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya