Cerita Milenial Pandeglang Jalani Ramadan di Vatikan

Deni menjadi minoritas dan belajar tentang toleransi

Pandeglang, IDN Times - Studi perbandingan agama pada Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN Jakarta) tentang toleransi dan peran penting warga Katolik di Labuan, Pandeglang membawa Deni Iskandar hingga ke Roma, Italia. Penelitian pemuda itu mendapat apresiasi dari banyak pihak hingga dia mendapat beasiswa. 

Pemuda 26 tahun itu berasal Kampung Montor, Pagelaran. Ini adalah daerah di sekitar kawasan bersejarah di Banten, yakni Teluk Lada. 

Sebagai muslim yang lahir di Banten dan beragama Islam, Deni mendapat banyak pelajaran selama tinggal dan menimba ilmu di Eropa sejak Februari lalu. Di sana, Deni merupakan minoritas dan belajar tentang toleransi, utamanya soal modernitas dan cinta damai.

Pengalaman paling mendalam dia rasakan, terutama di momen ibadah puasa di bulan Ramadan dan dia rasakan di pusat penyebaran Katolik, Vatikan. Untuk mengetahui cerita menarik dari Deni, IDN Times mewawancarai Deni secara khusus, sebagai berikut. 

Apa yang sedang kamu lakukan di Vatikan?

Cerita Milenial Pandeglang Jalani Ramadan di VatikanDok. IDN Times/Deni Iskandar

Saya di Vatikan ini sedang melakukan studi belajar soal dialog lintas agama, baik secara teoritis maupun secara praktis. Jadi di Vatikan ini juga, saya belajar mengenai apa, bagaimana dan seperti apa, dialog lintas agama atau interreligious dialogue itu, terkhusus dalam perspektif Gereja Katolik.

Saya belajar di sini itu, karena Negara Vatikan yang diwakili oleh Nostra Aetate Foundation Disaster Interreligious Dialogue (NAF-DID) memberikan saya beasiswa secara penuh atau full. Nah, di sini saya belajar di universitas-universitas milik Dewan Kepausan negara Vatikan, yang letaknya ada di Kota Roma, Italia.

Seperti misalnya saya belajar di Pontifica University Thomas Aquinas-Angelicum. Di sana saya belajar tentang teologi. Sementara di Pontifica University Gregoriana saya belajar tentang misiologi, dalam pembahasan yang spesifik, itu adalah interrelogious dialogue atau dialog lintas agama.

Jadi Vatikan itu, negara terkecil dunia, yang mempunyai ekstra teritori di Kota Roma, semua lembaga pendidikan milik dewan kepausan Vatikan itu, setau saya adanya di Kota Roma semua.

Soal Nostra Aetate Foundation itu, adalah lembaga dialog lintas agama milik Negara Vatikan.

Jadi Pasca Gereja Katolik menggelar Konsili Vatikan II tahun 1965, sikap Gereja Katolik berubah dan lebih terbuka. Gereja Katolik itu punya komitmen untuk membangun dialog sebagai jalan untuk membangun peradaban dan perdamaian dunia.

Nah komitmen itu diwujudkan dalam banyak hal, salah satunya melalui Nostra Aetate. Jadi Nostra Aetate ini, sebuah lembaga dialog antar agama milik Vatikan, yang dikhususkan, untuk dialog kepada pemeluk agama di luar Katolik. Salah satunya Islam.

Lembaga dialog antara Katolik dan Islam ini dibangun oleh Vatikan di lima wilayah, diantaranya, desk Katolik-Islam Asia dan Pasifik, desk Eropa, desk Afrika, dan lainnya. Begitu juga dengan lembaga dialog lintas agama, seperti Katolik-Yahudi, Katolik Buddhis, Hindu dan aliran kepercayaan lainnya.

Nah, kalau untuk dialog lintas agama desk Asia-Afrika itu, untuk orang RI yang berasal dari Banten, baru saya sendiri yang kuliah di Vatikan.

Selama menjalani keseharian di Vatikan, sebagai minoritas apa yang kamu rasakan?

Cerita Milenial Pandeglang Jalani Ramadan di VatikanSuasana Masjid Raya Makassar saat bulan Ramadan, Jumat (23/4/2021). IDN Times/Sahrul Ramadan

Jadi selama saya hidup di sini, aman-aman saja, bahkan orang-orang di tempat yang saya tinggali ini, semuanya baik dan respect kepada saya.

Kemudian, orang-orang Katolik di tempat saya tinggal ini, semuanya terbuka dan ikut memahami apa yang saya lakukan di bulan Ramadan ini.

Kemudian juga, jika ingin Salat Tarawih, itu di sini tuh ada Masjid Agung di Kota Roma, dan ada juga musala-musala yang itu biasa digunakan untuk tempat Salat Jumat.

Selama saya hidup di sini, saya melihat banyak musala-musala, dan umat Muslim juga bisa beribadah dengan tenang, bahkan negara Italia maupun Vatikan yang itu adalah mayoritas penduduknya, beragama Katolik, justru memberikan jaminan, kepada semua pemeluk agama, terkhusus kepada umat muslim.

Sebagai seorang muslim yang menjalani puasa Ramadan di Vatikan, bagaimana rasanya?

Cerita Milenial Pandeglang Jalani Ramadan di VatikanDok. IDN Times/Deni

Karena puasa ini adalah bagian dari pada Rukun Islam, dan hukum-nya wajib, maka bagi saya dalam kondisi apa pun, ya harus dilakukan. Puasa di Roma itu, tentu berbeda dengan puasa di Indonesia. Perbedaan yang paling mendasar itu, adalah soal perbedaan waktu.

Di Roma ini, umat muslim itu berpuasa durasi waktunya sepanjang 14 jam. Alhamdulillahnya, pada kondisi puasa ini, sudah memasuki musim semi. Kalau dihitungnya, dari mulai Imsak, pukul 04.40 dan buka puasa 19.40. Maka waktu puasa umat muslim di Roma ini terhitung panjang, dan itu dirasakan oleh semua muslim di Roma.

Selama puasa di Kota Roma ini, saya merasa nyaman, dan beribadah juga merasa berkualitas. Jadi saya merasakan, bahwa makna puasa itu bukan untuk diri kita, tapi untuk Tuhan. Karena yang tahu diri kita berpuasa atau tidak itu, hanya Tuhan.

Baca Juga: Cara Salat Idul Fitri, Niat hingga Bacaannya

Dimana kamu menjalankan ibadah, semisal Salat Jumat atau Tarawih dan Idul Fitri?

Cerita Milenial Pandeglang Jalani Ramadan di VatikanJadwal salat dan imsakiyah Masjid di Kota Roma (Dok. IDN Times/Deni)

Jadi di Kota Roma ini, ada satu Masjid Agung di Kota Roma, dan ada juga masjid-masjid biasa semacam musala, yang itu letaknya ada di setiap wilayah. Contohnya yang biasa saya Salat Jumat dan Tarawih itu Musala Baitu Salam, yang letaknya ada di Victoria Emmanuelle di Roma.

Untuk pengelola Masjid Agung itu, kalau gak salah itu, orang Al-Azhar, Mesir.

Tentu untuk solat Idul Fitri mah, rencananya nanti, saya akan salat di KBRI Roma, kebetulan KBRI Roma menyediakan tempat. (Tempat) Yang itu khusus untuk orang Indonesia.

Baca Juga: 6 Keutamaan Istigfar, Salah Satunya Rezeki Mengalir Bagai Air

Apa pengalaman berkesan atau menarik yang kamu rasakan saat menjalani Ramadan di Vatikan?

Cerita Milenial Pandeglang Jalani Ramadan di VatikanIlustrasi Kota Vatikan (Pixabay)

Selama menjalankan ibadah puasa di sini, saya merasakan bagaimana hidup dengan orang yang berbeda dengan kita. Tradisi kita kan kalau menyambut buka puasa ini dengar suara bedug dan azan.  Nah di sini gak ada bedug dan adzan, jadi saya berbuka puasa itu, melihat matahari saja.

Kadang saya buka puasa ini tidak sesuai jadwal yang sudah ditentukan sama pihak masjid di-schedule tapi saya lebih melihat tanda alam. Dimana matahari terbenam, di situ saya berbuka puasa. Sebab di sini waktu variatif, setiap harinya, selalu berubah.

Menjalankan ibadah puasa di Roma ini, saya tidak merasakan haus, tapi lebih merasakan lapar saja. Karena kan memang ini lagi musim semi kan, jadi suasananya sejuk terus.

Selain itu, saya menjalankan Tarawih kadang di masjid kadang di rumah, karena memang jarak antara rumah yang saya tempati dan masjid cukup jauh, perlu naik bus atau metro kereta bawah tanah.

Kemudian, pada momentum Ramadan ini juga kan, aktivitas terus berjalan seperti kuliah kan. Ya hari-hari saya dipakai untuk hal hal yang positif. Saya merasakan tuh, hidup di tenga-tengah orang nonmuslim yang tidak berpuasa, tapi nikmat dan enjoy saja.

Hal yang lumayan berat untuk dijalani adalah, semakin hari kan jadwal buka puasa ini, selalu naik jam-nya. Jadi sejak terhitung di pertengahan Ramadan yang lalu saya buka puasa itu jam 20.00, itu pun kondisinya belum terlalu malam. Masih seperti jam 18.30 di Indonesia.

Apa pelajaran atau hikmah yang bisa kamu ambil saat menjalani Ramadan di Vatikan?

Cerita Milenial Pandeglang Jalani Ramadan di VatikanDok. IDN Times/Deni Iskandar

Jadi setelah saya belajar di Vatikan ini, wawasan menjadi terbuka, dan saya aneh melihat fenomena kehidupan beragama di Indonesia.  Misalnya soal banyaknya penolakan pendirian rumah ibadah. Itu kan belakangan ini mulai bermunculan lagi.

Terbaru data Setara Institute itu menyebut Banten, yang itu adalah wilayah daerah intoleran. Karena di wilayah ini ada penolakan pendirian rumah ibadah.

Padahal kan dalam bernegara, konstitusi kita sudah mengatur tentang hak hak beribadah itu. Dalam praktiknya itu kan gak selaras.

Kini yang terpenting dalam hidup berbangsa dan bernegara itu kan kita ini hidup bersama, tanpa melihat suku atau agama. Sebagai orang Banten yang belajar di Vatikan, saya sedih melihat kondisi kehidupan beragama di Cilegon khususnya.

Tugas kita sebagai muslim harusnya itu membawa rahmat untuk semua.  Semakin tinggi penolakan pendirian rumah ibadah, terutama dilakukan oleh kelompok Islam, itu semakin membuktikan bahwa ada pemahaman yang kurang kompherensif. Karena Islam itu kan rahmatan lil alamin atau rahmat bagi semesta.

Sebagai contoh di Roma nih, Katolik itu mayoritas, tapi umat muslim yang notabenenya minoritas di Roma, bisa hidup bisa beribadah.  Masjid juga ada dan hak hak beribadah muslim di Roma ini dipenuhi dan terpenuhi.

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya