Hikayat Kejayaan Kopi Lebak, Bisakah Terulang?

Kopi dari Lebak pernah jadi komoditas unggul Hindia Belanda 

Lebak, IDN Times - Jika kamu mengunjungi Museum Multatuli, kamu akan menemukan kepingan-kepingan cerita tentang masa kejayaan daerah Lebak. Salah satunya, Lebak sebagai sentra kopi di Nusantara.

Museum di sekitar alun-alun Rangkasbitung ini bukan hanya menyimpan arsip sejarah kopi di Indonesia, akan tetapi juga menyimpan alat penggilingan kopi tradisional pada masa Kolonial Belanda.

Seperti apa? Simak nih ulasannya. 

Baca Juga: Para Perempuan Tangguh dari Lebak, Keluar Masuk Kampung Sambil Jualan

1. Awal mula hikayat kejayaan kopi asal Lebak

Hikayat Kejayaan Kopi Lebak, Bisakah Terulang? Wikimedia.org/François Valentijn

Kisah Lebak dan kopi ini bermula ketika Kongsi Dagang Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC pada abad ke-17 terlibat perdagangan kopi di Teluk Persia dan Laut Merah. Bibit kopi pertama dibawa VOC dari Malabar, India Selatan ke Jawa pada akhir abad 17 dan mulai dibudidayakan sejak awal abad 18, demikian dikutip dari laman Antara. 

Komoditas tersebut selanjutnya dikembangkan ke berbagai daerah keresidenan di Indonesia. Keresidenan itu ialah Banten, Priangan, Surabaya, Kerawang, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Jepara, Rembang, Pasuruan, Besuki, Pacitan, Kedu, Bagelen, Banyumas, Madiun, dan Kediri.

2. Kopi berasal dari India

Hikayat Kejayaan Kopi Lebak, Bisakah Terulang? ilustrasi menyimpan biji kopi (vecteezy.com/v_ratanakorn836775 281)

Menurut informasi dari Museum Multatuli, produksi kopi terbesar kala itu adalah dari Keresidenan Priangan atau wilayah di Jawa Barat, Kedu, Jawa Tengah,  serta Pasuruan dan Besuki, Jawa Timur. 

Sementara itu, berdasarkan peta tahun 1834-- di wilayah Kabupaten Lebak khususnya Rangkasbitung--menunjukkan beberapa lokasi penting, di antaranya ada tempat pengumpulan kopi dan gudang kopi.  Jadi, Lebak merupakan sentra penghasil kopi yang pernah menikmati masa keemasan pada masa lalu.

3. Kejayaan itu Lebak dan kopi, bisakah terulang?

Hikayat Kejayaan Kopi Lebak, Bisakah Terulang? Galeri Kopi Indonesia, warung kopi di kebun kopi, di Kota Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh (IDN Times/Muhammad Saifullah)

Produksi kopi Kabupaten Lebak mengalami kejayaan pada abad 17.  Perusahaan Hindia Timur Belanda  (VOC), yang didirikan pada 20 Maret 1602, mampu memasok kopi dari Jawa-- termasuk dari Kabupaten Lebak--  ke berbagai belahan dunia. Salah alasan kesohornya kopi ini karena kualitas dan cita rasanya.

Kini, Pemerintah Kabupaten Lebak terus mendorong petani setempat untuk mengembangkan kembali perkebunan kopi dalam upaya meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat.

Pemerintah Kabupaten Lebak berkomitmen untuk mengembalikan kejayaan produk kopi setempat melalui berbagai macam festival dan acara. Festival kopi itu bertujuan untuk membangkitkan motivasi petani agar mereka membudidayakan kopi dan ke depan diharapkan menjadi sentra penghasil kopi terbesar di Indonesia.

Salah satu festival yang digelar adalah Festival Kopi selama lima hari, hingga 19 Desember 2022. Kepala Bidang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Lebak, Abdul Waseh mengungkap, melalui festival dan acara serupa, Pemerintah Kabupaten Lebak ingin mendorong peningkatan ekonomi petani dan pelaku usaha.

Festival kopi yang dilaksanakan di Alun-alun Timur Rangkasbitung itu menampung 40 stan pelaku usaha kopi.  Kopi yang dikembangkan petani Kabupaten Lebak cukup besar, sehingga diharapkan dapat menyumbangkan pendapatan ekonomi masyarakat.

Bahkan, produksi kopi dari Kabupaten Lebak bisa menjadi yang terbesar di Indonesia, karena didukung lahan yang luas. Lahan kopi  tersebut berada di Kecamatan Sobang, Cibeber, Cilograng, Panggarangan, Cigombong, Cilograng, Cihara, Bayah, Cimarga, Muncang, Leuwidamar, Cileles, Sajira, Banjarsari, Gunungkencana, Cijaku dan Malingping.

Produksi kopi yang ditanam di atas 600 meter permukaan laut kebanyakan jenis kopi  Arabika dan di bawah 600 meter jenis kopi Robusta.

Petani diharapkan dapat memilah-milah antara kopi Robusta dan Arabika, sehingga dapat meningkatkan kualitasnya.

4. Produksi kopi di Lebak baru mencapai 560 ton per tahun

Hikayat Kejayaan Kopi Lebak, Bisakah Terulang? Wisatawan melihat biji kopi yang siap digunakan di kebun kopi kaki Gunung Merbabu, Banyuanyar, Ampel, Boyolali, Jawa Tengah, Jumat (11/2/2022). Selain memperkenalkan berbagai jenis kopi yang tumbuh di daerah tersebut, wisatawan juga disuguhkan racikan kopi di kebun dengan menikmati suasana udara segar kaki Gunung Merbabu (ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho)

Menurut Wahid, pengembangan  kopi di desanya juga diintegrasikan dengan kawasan agrowisata, karena terdapat destinasi wisata hutan meranti, wisata air terjun dan budaya Kaolotan.

Selain itu,  dikembangkan pula wisata  mengelilingi perkebunan kopi. Pengunjung agrowisata  tidak hanya warga Banten, Bogor dan DKI Jakarta, tapi juga mancanegara.  

Pengembangan perkebunan kopi tersebut telah menjadi peluang usaha masyarakat di sekitar kawasan wisata hutan meranti Kaolotan Karang.

Ketua Komunitas Kasepuhan Adat Pasir Eurih, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak Maman Sahroni mengungkap, pihaknya kini memproduksi kopi bubuk guna menciptakan kemandirian ekonomi dan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat di daerahnya.

Usaha produksi kopi di Kasepuhan Pasir Eurih cukup potensial menumbuhkan perekonomian masyarakat, sebab di dukung bahan baku di daerah itu yang melimpah. Produksi kopi lokal di daerah itu jika memasuki musim panen dipasok ke luar daerah, dan petani menjualnya ke tengkulak berbentuk biji seharga Rp15 ribu per kilogram.

Komunitas yang memiliki 200 anggota yang kebanyakan pemuda  itu diharapkan dapat menyelamatkan petani memproduksi kopi dibandingkan menjual berbentuk biji ke tengkulak. 

Selain itu, Komunitas Kasepuhan Pasir Eurih juga melakukan persemaian tanaman kopi sebanyak 5.000 batang, dan tanaman hutan produksi dari pemberian Presiden Joko Widodo  di lahan seluas 200 hektare pada Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).

Adit (30), seorang perajin kopi Leuit Baduy mengatakan pihaknya telah membuka usaha kopi itu sejak tahun 2016 hingga kini tetap eksis dan bisa meraup keuntungan bersih Rp10 juta/bulan.

"Kami merasa bersyukur dengan mengikuti Festival Kopi, dan diharapkan dapat meningkatkan omzet pendapatan ekonomi," katanya.

Kepala Bidang Produksi Dinas Pertanian Kabupaten Lebak, Deni Iskandar, meminta petani terus mengembangkan perkebunan kopi guna meningkatkan produksi karena permintaan pasar cenderung meningkat. Produksi kopi di Lebak baru mencapai 560 ton per tahun dari tanaman kopi seluas 1.685 hektare.

Pemerintah Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, kini terus mendorong petani setempat untuk mengembangkan tanaman kopi, komoditas yang pernah masa keemasan pada masa Kolonilal Belanda.  Kabupaten Lebak bertekad dapat menjadi sentra produksi kopi guna menopang peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. 

Baca Juga: Mengenal Lebak Parahiang, Pernah Jadi Ibu Kota Lebak

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya