Hikayat Lada, Komoditas Unggulan Banten dari Masa Kesultanan

Dahulu, lada jadi alat politik sultan dalam melawan intrik

Pandeglang, IDN Times - Lada dahulu merupakan salah satu komoditas rempah unggulan wilayah ujung barat Pulau Jawa atau kini dikenal dengan nama Banten. Wilayah ini, dulu mempunyai peran penting dalam sejarah jalur rempah nusantara, bahkan dunia internasional.

Hal itu seperti dikemukakan penulis asal Portugis dari abad ke-14, Tome Pires. Dalam buku berjudul Suma Oriental, Tome Pires bercerita kalau Banten adalah tempat lego jangkarnya kapal-kapal dagang internasional, tempat berdagang dan kota yang bagus yang memiliki pemimpin yang sangat dihormati.

Selain soal ekonomi, lada juga menjadi barang politis kala masa Kesultanan Banten.

Baca Juga: Banten Raih Medali Emas Pertama PON

1. Lada jadi alat diplomasi Sultan Banten

Hikayat Lada, Komoditas Unggulan Banten dari Masa KesultananPeta jalur rempah (jikp.bantenprov.go.id)

Hal itu, dapat dilihat dari sejarah adanya dari surat persahabatan yang dikirimkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa kepada Raja Charles dari Inggris dengan disertai banyak pemberian rempah.

Surat itu dikirim dalam upaya diplomasi agar Kerajaan Inggris mau menjual senjatanya pada Kesultanan Banten.

Disarikan dari berbagai sumber, saat bangsa Eropa masuk ke Banten pada 1596, Banten menjadi tempat yang makmur, mempunyai kanal yang teratur sehingga mencerminkan kesejahteraan rakyat kala itu.

2. Banten era Kerajaan Sunda sudah menjadikan lada komoditas unggulan dan alat juga alat diplomasi

Hikayat Lada, Komoditas Unggulan Banten dari Masa KesultananIlustrasi Pembuatan Alat Musik Tradisional asal Jawa Barat, Angklung (ANTARA FOTO/Adeng Bustomi)

Jauh waktu sebelum masuknya pengaruh kerajaan Islam, Banten menjadi jalur rempah sudah sejak masa Kerajaan Sunda. Hal ini dapat dilihat dari berbagai peninggalan yang masih bisa dilihat di Situs Banten Girang yang merupakan kerajaan sebelum era Kesultanan Banten.

Kala itu, Raja Sunda pun melakukan diplomasi menggunakan lada agar dibantu bangsa asing untuk melawan kesultanan Islam dengan cara menukar 1.000 karung lada.

3. Teluk Lada jadi gerbang dagang Kesultanan Banten

Hikayat Lada, Komoditas Unggulan Banten dari Masa KesultananPeta Teluk Lada (jikp.bantenprov.go.id)

Dikutip dari situs resmi Pemerintah Provinsi Banten, perubahan mendasar terhadap jalur perdagangan rempah di Kepulaun Nusantara terjadi pada tahun 1511, ketika Portugis berhasil menguasai selat Malaka dan menjadikan kota pelabuhannya sebagai wikayah koloni.

Dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, maka berakhir pulalah jalur perdagangan rempah yang berpusat di Malaka. Faktor tersebut yang menjelaskan mengapa sejak awal abad ke-16 muncul pusat-pusat perdagangan baru di Kepulauan Indonesia untuk menggantikan Malaka, antara lain Aceh di ujung utara Pulau Sumatera, Banten di ujung barat Pulau Jawa, dan Makassar di ujung selatan Pulau Sulawesi.

Sepanjang periode abad ke-16 dan 17, Banten mampu mempertahankan kekuasaan mereka di wilayah Selat Sunda, dari agresor bangsa asing. Di waktu yang sama, penduduk lokal dengan aktif terus memproduksi lada untuk memenuhi permintaan pasar dunia. Maka itu diperlukanlah pelabuhan bertaraf internasional untuk pengiriman lada.

Salah satu pelabuhan di Banten yang cukup penting pada masa lalu adalah Teluk Lada. Teluk Lada atau peper bay sebutan yang dikenal oleh bangsa asing, terletak di sebuah tanjung antara Tanjung Lesung dan Tanjung Liwungan, sebelum gunung Krakatu meletus tahun 1883.

Diperkirakan daerah ini dahulu merupakan lokasi kegiatan transaksi jual beli lada yang sangat ramai. Terdapat gudang-gudang penyimpanan lada di pelabuhan ini. Di sepanjang garis pantai Teluk Liwungan terdapat perkebunan lada, sehingga pedagang lokal dan pendatang menyebutnya dengan “Teluk Lada”.

Baca Juga: Pangeran Wiraguna, Arsitek Menara Banten Asal Tionghoa

4. Lada berada di sekitar Gunung Pulasari dan Gunung Karang

Hikayat Lada, Komoditas Unggulan Banten dari Masa Kesultananunsplash.com

Banten selatan merupakan salah satu sumber utama penghasil lada, yang berpusat di seputaran pegunungan Pulasari dan Gunung Karang. Wilayah ini mejadi salah satu tujuan niaga para pedatang, seperti Cina dan Portugis. Kini sisa-sisa pohon lada masih dapat dilihat di Kampung Pandat, Mandalawangi, Kabupaten Pandeglang.

Tanaman lada tumbuh dengan baik pada daerah dengan ketinggian mulai dari 0 hingga 700 meter di atas permukaan laut (DPL). Di Indonesia, terdapat sekitar 40 jenis lada.

5. Kongsi dagang Belada, VOC kuasai perdagangan rempah Banten dan menjadi perusahaan terkaya hingga kini

Hikayat Lada, Komoditas Unggulan Banten dari Masa Kesultananvoc-kenniscentrum.nl

Hingga pertengahan abad ke-17, Banten lalu dikuasai oleh kongsi dagang Belanda atau disebut VOC. Hampir seluruh keuntungan VOC kala itu berasal dari perdagangan rempah-rempah yang berasal dari Indonesia bagian barat yakni lada dan Indonesia bagian timur yakni cengkeh dan pala.

Perdagangan rempah-rempah berhasil dikendalikan dengan baik oleh VOC melalui Batavia dengan menyingkirkan secara bertahap kota-kota dagang lain di Nusantara yang menjadi pesaingnya, seperti Malaka (ditaklukkan tahun 1641), Makassar (1666), dan Banten (1684).

Sebagai catatan, berdasarkan situs Visual Capitalist, kekayaan VOC kala itu jauh melampaui kekayaan perusahaan moderen saat ini seperti Google, Apple hingga Amazon. Pada 1799 perusahaan ini akhirnya bangkrut oleh karena manajemen yang buruk dan korupsi di tubuhnya. Setelahnya, kerajaan Belanda menasionalisasi perusahaan itu.

6. Lada Banten era pembangunan jalan di bawah Herman Willem Daendels

Hikayat Lada, Komoditas Unggulan Banten dari Masa Kesultananwww.frenchempire.net

Saat era kepemimpinan Gubernur Jenderal Belanda era penaklukan Belanda oleh Prancis era Napoleon Bonaparte, yakni Herman Willem Daendels, proyek strategis pembangunan jalan raya Anyer-Panarukan digelar.

Dalam berbagai catatan, tujuan pembangunan jalan ini untuk dua kepentingan, yaitu membantu penduduk dalam mengangkut komoditas pertanian ke gudang pemerintah atau pelabuhan dan untuk kepentingan militer.

Di sinilah mulai terbentuk distrik militer dan gudang-gudang penyimpanan lada dan kopi (rempah-rempah) dari Banten Selatan (Pulosari dan Karang) sebelum di bawa ke Batavia.

Pada tahun 1808-1809 Daendles mulai pembuatan jalan dengan rute Batavia-Banten. Tahap pertama 1808 merupakan pembuatan jalan untuk membuka poros Batavia–Banten pada tahun 1808, pada masa itu Daendels memfokuskan kegiatannya pada pembangunan dua pelabuhan di utara yakni Merak dan di selatan yakni Ujung Kulon.

Jalur ini melalui garis pantai dari Batavia menuju Carita, Caringin, menembus Gunung Pulosari, Jiput, Menes, Pandeglang, Lebak hingga Jasinga, Bogor.

Tahap kedua 1809, dimulai dari Anyer melalui Pandeglang jalan bercabang dua menuju Serang di utara dan Lebak di selatan. Daendels juga sempat memerintahkan pembuatan jalan di selatan Pulau Jawa, rutenya di mulai dari sebelah barat Jawa yakni; Bayah menuju Pelabuhan Ratu, terus ke selatan ke daerah Sukabumi, Cimanuk dan seterusnya hingga ke Pangandaran, Purwokerto dan Yogyakarta.

Banten merupakan tempat yang paling banyak memiliki cabang-cabang Jalan Deandels sebab Banten cukup banyak menghasilkan rempah-rempah. Anyer dijadikan titik kilometer nol karena kota ini sudah di pola Daendels untuk mempermudahkan pengangkutan hasil bumi dari Banten menuju dua pelabuhan yaitu pelabuhan Merak dan Pelabuhan Ujung Kulon.

Banten sendiri sudah dilokalisasi dalam segi hasil bumi oleh Daendels karena Banten Subur dan Kaya akan hasil buminya terutama rempah-rempah.

7. Produksi lada menurun era Thomas Stamford Raffles

Hikayat Lada, Komoditas Unggulan Banten dari Masa KesultananANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas

Tanggal 17 September 1811 Belanda menyerah kepada Inggris. Sejak itu, kekuasaan Hindia Belanda khususnya di Pulau Jawa jatuh ke pihak Inggris yang diwakili oleh Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles yang memimpin dari 1811 hingga 1816.

Berbeda halnya dengan ketika Pemerintahan Belanda di bawah Daendels yang menerapkan sistem pemungutan paksa terhadap hasil perkebunan dan juga menerapkan kerja rodi untuk pembangunan.

Raffles mengubah pemungutan paksa dan kerja paksa, dengan kebebasan dalam menanam serta mengganti sistem administrasi yang baru. Perkebunan lada pada masa Belanda yang ditaklukan Inggris mengalami penurunan produksi.

Kemudian pemerintah kolonial Inggris memberikan perintah pada masa periode Johannes van den Bosch adalah pencetus cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa, yang kemudian kebijakan itu banyak mendapat resistensi dan bahkan menurut Sejarawan Sartono Kartodirjo dalam bukunya Pemberontakan Petani Banten 1888, kebijakan tanam paksa menjadi salah satu sebab peristiwa Geger Cilegon.

Kini, lada tak terlalu terdengar lagi, hikayat lada Banten pun kini hanya menjadi bacaan dan ingatan sebagian orang Banten.

Baca Juga: Menteri BUMN Erick Thohir Miliki Garis Keturunan Sultan Banten

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya