Kenaikan Pajak, Pemberontakan Ulama Dan Petani Banten 1888

Dahulu, ulama membawa gerakan pembebasan, bukan elitis

Cilegon, IDN Times - Belakangan waktu, pemerintah memastikan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen akan diberlakukan tahun depan. Untuk saat ini, tarif PPN yang berlaku masih 11 persen.

Menko Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto  mengatakan, berbagai ketentuan yang telah dirumuskan dan diterbitkan dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), termasuk penyesuaian tarif PPN, bakal dilanjutkan pada pemerintahan selanjutnya.

"Kami lihat masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan bahwa pilihannya keberlanjutan. Kalau keberlanjutan tentu berbagai program yang dicanangkan pemerintah akan tetap dilanjutkan. Termasuk kebijakan PPN," kata Airlangga pada Jumat (8/3/2024).

Kenaikan tarif jadi 12 persen sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Airlangga mengatakan pembahasan lebih detail mengenai aturan PPN tersebut akan dilakukan dalam agenda pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.

Dahulu, ketetapan kenaikan pajak pernah menjadi salah satu faktor munculnya gerakan pemberontakan petani Banten yang dipimpin para ulama pada Juli tahun 1888, terhadap pemerintah kolonial. Perstiwa ini dikenal juga sebagai Geger Cilegon.

1. Derita rakyat belum pulih dari bencana, malah dibebani kenaikan pajak

Kenaikan Pajak, Pemberontakan Ulama Dan Petani Banten 1888IDN Times/Muhamad Iqbal

Dalam buku Pemberontakan Petani Banten 1888, Sartono Kartodirdjo menulis bahwa pengenaan pajak-pajak yang dinilai membebani--seperti pajak per kepala, pajak perdagangan yang menindas, pajak pasar, dan lain-lain-- memperberat penderitaan rakyat Banten usai dihantam wabah demam yang menimbulkan korban jiwa cukup banyak.

Selain itu, wabah mematikan juga melanda ternak-- sebagian besar kerbau yang jadi alat petani untuk bekerja. Akibatnya periode kelaparan yag gawat tak dapat terelakkan.

"Rakyat belum sempat pulih dari semua penderitaan itu ketika Gunung Krakatau pada 1883 (meletus) memorak-porandakan daerah itu..., penduduk memerlukan waktu beberapa tahun untuk pulih dari kehancuran itu," tulis Sartono dalam buku tersebut.

2. Para saksi bicara beban derita rakyat akibat kenaikan pajak

Kenaikan Pajak, Pemberontakan Ulama Dan Petani Banten 1888IDN Times/Muhamad Iqbal

Dalam buku tersebut juga disebutkan perihal keterangan saksi-saksi tentang motivasi pemberontakan terhadap sistem pemerintahan kolonial Belanda yang puncaknya terjadi pada 6 Juli 1888.

Beberapa kesaksian seperti yang diungkap Raimin dari Tunggaltulung, para pemuka agama Islam dan warga yang memberontak ingin memperjuangkan kepentingan rakyat, meskipun mereka tak menderita akibat kebijakan pemerintah yang disebut membebani rakyat.

"Yakhya dari Beji, Haji Arja dari Marapit dan Haji Jafar dari Gunungsantri mengatakan kepadanya bahwa kerusuhan itu dikobarkan untuk membela kepentingan rakyat biasa, yang banyak diantaranya harus membayar pajak usaha dan pajak perseorangan, meskipun mereka sebenarnya tidak dapat dikenakan pajak-pajak itu," tulis Sartono dalam bukunya.

Hal serupa terungkap dalam kesaksian Haji Madinah dari Cibeber. Dijelaskan, bahwa pemimpin gerakan perlawanan, Haji Wasid meminta rakyat bersatu melawan penjajah yang mengenakan pajak kepada rakyat.

"Haji Wasid mengatakan kepada saya bahwa penarikan pajak semakin memberatkan...," tulis Sartono dalam buku tersebut.

3. Dahulu, ulama membawa gerakan pembebasan, bukan elitis

Kenaikan Pajak, Pemberontakan Ulama Dan Petani Banten 1888IDN Times/Muhamad Iqbal

Dalam kekacauan dan penindasan era penjajahan kala itu, pemuka agama hadir sebagai pembebas rakyat dari penindasan. 

Pendiri media Islam progresif, Islam Bergerak, dan pendiri Pesantren Ekologis Misykat Al-Anwar, Roy Murtadho mengatakan, agama itu boleh terlibat dalam politik. Namun, politik yang dimaksud merupakan gerakan politik pembebasan, bukan politik kebencian apalagi politik rasialisme.

"Dulu gerakan rakyat dan gerakan keagamaan bisa menjadi satu kesatuan, posisi pesantren ulama dan tarekat dahulu menjadi inkubasi gerakan politik," kata Roy dalam diskusi pada 15 Maret 2021, bertajuk 100 Tahun Sartono Kartodirdjo; Petani, Agama Dan Imperialisme Kapital-- yang mendiskusikan buku sejarah perlawanan petani dan ulama Banten.

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya