LSM: Regulasi Pemerintah Jadi Modus Perampasan Tanah Rakyat Indonesia
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Lebak, IDN Times - Konsorsium Reformasi Agraria (KPA) menyebut salah satu modus perampasan tanah rakyat adalah menggunakan regulasi seperti undang-undang, peraturan daerah dan aturan lain yang berdalih atas nama pembangunan.
"Jadi karena memang perampasan tanah itu bisa modelnya itu bisa dilakukan atau modusnya itu bisa dilakukan secara halus. Kalau halus gitu berarti kan dia dengan menggunakan UU, regulasi," kata Sekertaris Jenderal (Sekjend) KPA, Dewi Sartika kepada IDN Times.
Dengan cara halus itu, masyarakat kadang tidak merasa bahwa itu adalah jenis praktik perampasan tanah karena dikemas segala demikian rupa. "Dilabeli dengan proyek strategis nasional, dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum," imbuhnya.
Berdasar laporan akhir tahun KPA sepanjang 2021, tercatat ada 207 konflik agraria di 32 provinsi se-Indonesia. Konflik tersebut terjadi di atas lahan seluas 500.062,739 hektare (ha). Sementara di Banten, tercatat ada dua konflik agraria yang mencakup luas wilayah 120 ha.
Baca Juga: KPK Dalami Dugaan Bagi-Bagi Kavling Lahan di IKN Nusantara
1. Tak sedikit gunakan cara penjajah
Kata Dewi, tak sedikit pula pihak yang menggunakan cara kasar bak penjajah dalam menguasai lahan secara luas atau menerapkan aturan tunggal terhadap suatu kawasan yang dimiliki masyarakat.
"Tapi ada juga yang sifatnya itu, secara kasar. Itu misalnya lewat penggusuran paksa pengukuran paksa, intimidasi, represifitas dan memobilisasi aparat dan seterusnya itu juga bisa," kata Dewi.
2. Konflik agraria di Indonesia bersifat struktural
Dewi menjelaskan, di Indonesia, banyak konflik agraria bersifat struktural. Kenapa disebut struktural, karena ciri konflik struktural itu bersifat masif dampaknya luas bagi banyak orang.
Kata Dewi, kebanyakan konflik agraria struktural yang terjadi di Indonesia diakibatkan oleh keputusan pejabat publik.
"Jadi dia bukan sengketa tanah biasa, dia bukan sengketa waris atau sengketa tanah individual, tapi ini adalah konflik agraria yang dimana masyarakat apakah itu petani, masyarakat adat atau masyarakat komunitas tertentu vis a vis dengan badan usaha skala besar, dia bisa swasta dia bisa negara," kata dia.
Baca Juga: Soal Sengketa Lahan di Mandalika, Bupati: Kami Tidak Boleh Tuli!
3. Konflik agraria manifestasi perampasan tanah
Pada hakikatnya, konflik agraria sendiri merupakan perampasan tanah. "Sesungguhnya konflik agraria itu adalah manifestasi atau cerminan dari praktik-praktik perampasan tanah," kata Dewi.
Konflik terjadi, dalam konteks untuk mengakuisisi lahan dalam jumlah skala besar.