Masih Pakai Batu Bara, PLTU 9 dan 10 Banten Klaim Ramah Lingkungan

Cilegon, IDN Times - Sejumlah pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU menjadi sorotan di tengah tingginya polusi udara di Jakarta dan sekitarnya. Salah satunya adalah PLTU Suralaya, Cilegon.
Deputi General Manager Indo Raya Tenaga Kardi Bin Kasiran yang juga Special Purpose Company (SPC) PLTU 9 dan 10 mengatakan, PLTU batu bara ini sudah menggunakan sistem teknologi canggih untuk meminimalkan pencemaran lingkungan udara sekitar yang dihasilkan dari beroperasinya pembangkit tersebut.
"Ini bisa kami bilang, satu-satunya proyek PLTU yang paling ramah lingkungan. Kenapa? Karena menggunakan sistem pengendali emisi. Emisi kita ada pratikulat, untuk me-reduce itu ada namanya Electronicstatic Prexipitator (ESP)," klaim Kardi seperti dikutip dari kantor berita ANTARA, Jumat (18/8/2023).
Baca Juga: Janji Pantau Polusi Udara Tangsel, Pemkot Imbau Warga Pakai Masker
1. PLTU 9 dan 10 diklaim memiliki sistem ESP, ini fungsinya
Kardi mengatakan, ESP berfungsi sebagai pengendali atau pemisah debu dari udara yang menggunakan listrik statis.
Dan dengan alat ini, diklaim debu yang keluar dari cerobong pembuangan bisa diturunkan hingga 95-99,8 persen, begitu pun untuk me-reduce sulfur dan lainnya.
2. PLTU 9 dan 10 diklaim punya pengontrol emisi terlengkap
Selain ESP, lanjut dia, yang menjadi pengendali emisi ada juga Flur Gas Desulfurization (FGD), Electro-Static Prexipitator, Low NOx burner dan Selective Catalytic Reduction.
"Untuk itu PLTU 9 dan 10 menjadi satu-satunya proyek PLTU yang memiliki pengontrol emisi terlengkap," kata Kardi Bin Kasiran.
3. LSM sebut PLTU penyumbang utama pencemaran udara
Berdasarkan kajian Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), polusi udara di Jabodetabek tak terlepas dari keberadaan PLTU di sekitar Jakarta. Dalam kajian itu, CREA pun menyebut bahwa PLTU yang ada dalam radius 100 kilometer dari Jakarta menjadi penyebab atas kematian 2.500 bayi prematur di wilayah Jabodetabek.
Dalam penelitian yang terbit pada Agustus 2020 itu, CREA menulis, pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan pabrik industri menghasilkan emisi saat beroperasi, dan emisi ini mengandung pencemar udara beracun.
Pencemar -- termasuk tetapi tidak terbatas pada NOx, SO2, partikulat (PM), dan merkuri (Hg) -- menyebar di atmosfer dan membahayakan kesehatan manusia, termasuk menyebabkan stroke, penyakit jantung, asma, infeksi pernapasan, dan penyakit paru obstruktif kronis.
Saat ini, ada 10 PLTU di Provinsi Banten. Berikut daftarnya:
1. PLTU Banten Suralaya: 8 unit - 4.025 mw
2. PLTU Cemindo Gemilang: 1 unit - 60 mw
3. PLTU Merak: 2 unit - 120 mw
4. PLTU Cilegon PTIP: 1 unit - 40 mw
5. PLTU Jawa-7: 2 unit - 1.982 mw
6. PLTU Banten Labuan: 2 unit - 600 mw
7. PLTU DSS Serang: 4 unit - 175 mw
8. PLTU Banten Lontar: 3 unit - 945 mw
9. PLTU Banten Serang: 1 unit - 660 mw
10. PLTU PT Krakatau Daya Listrik : 1 unit - 400 mw.
Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Banten Wawan Gunawan membantah bahwa PLTU di Banten merupakan biang kerok tercemarnya udara di DKI Jakarta.
Menurutnya, PLTU di Banten justru menjadi PLTU yang lebih proper dalam mekanisme penggunaan dan kinerja perusahaan dibandingkan dengan pembangkit di luar Banten. PLTU di Banten, dia mengklaim, predikat emas dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebanyak 3 kali berturut-turut.
"Salah satu PLN yang menggunakan batu bara itu di Merak, itu kan jauh dari Jakarta, harus melewati Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang, dan belum tentu udaranya ke Jakarta. Kalau udaranya ke Selatan kan ga mungkin ke arah sana (Jakarta)," kata Wawan saat dikonfirmasi, Jumat (18/8/2023).
Dalam kajiannya, CREA juga merekomendasikan sejumlah hal. Berikut rekomendasinya:
1. Merevisi Baku Mutu Udara Ambien Nasional untuk memenuhi pedoman WHO tentang
kualitas udara yang sehat. Dibutuhkan target yang terikat waktu untuk mengurangi
pencemar seperti PM, NOx, dan SO2 di tingkat nasional dan provinsi.
Untuk memastikan keakuratan informasi tentang kualitas udara dan kepatuhan
terhadap baku mutu lingkungan, pemerintah juga harus meningkatkan jaringan
pemantauan baik di Jakarta maupun di semua kota besar. Stasiun pemantauan
harus mengukur emisi dengan waktu nyata, dan data dari stasiun ini harus siap
tersedia untuk umum. Data juga harus dilaporkan secara elektronik di berbagai
tingkat pemerintahan (mis. kota, provinsi, dan pusat) untuk mencegah manipulasi
data.
2. Menegakkan baku mutu emisi tahun 2019 yang diperbarui pada semua pembangkit
listrik termal yang direncanakan, termasuk yang saat ini sedang dibangun
untuk memastikan bahwa pembangkit bisa menambah teknologi baru guna
menyesuaikan dengan baku mutu emisi yang lebih ketat dan aman.
Untuk memastikan kepatuhan, fasilitas tersebut juga harus bertanggung jawab
untuk memasang sistem pemantau emisi terus-menerus (CEMS) untuk semua
pencemar utama (misalnya PM2,5, PM10, SO2, NOx, ozon dan karbon monoksida). Ini
juga akan memungkinkan pembuat aturan dan badan pengawas untuk melacak
apakah baku mutu ini cukup untuk memitigasi emisi.
3. Memperbarui baku mutu emisi untuk industri pencemaran lainnya berdasarkan pada teknologi terbaik yang meminimalkan dampak lingkungan dan kesehatannya.
Baca Juga: Pemprov Banten Bantah PLTU di wilayahnya Biang Kerok Polusi Udara