Penguasa Memaksa, Kiamat Kecil di Desa Margatirta Lebak

70 warga Lebak merasa tanahnya diserobot dan dibeli paksa

Lebak, IDN Times  - Jumat 7 Januari 2022 bak kiamat kecil bagi warga di sejumlah kampung yang masuk kawasan Desa Margatirta, Kecamatan Cimarga, Kabupaten Lebak. Deru mesin buldozer dan eskavator tak hanya menghancurkan ladang dan kebun, tapi juga impian mereka. 

Kakek B merupakan salah satu pemilik lahan sawah dan ladang di Desa Margatirta. Di hari Jumat itu, B bercerita, sejumlah alat berat itu melintasi sawahnya. Karena tak tahu tujuan buldozer dan eskavator itu, B mengizinkannya melintas. 

Mimpi buruk itu terjadi ketika buldozer dan eskavator sampai di kebun B. Satu per satu pohon yang dia tanam, tumbang dan rata dengan tanah. Pohon nangka, rambutan, dan pohon buah lainnya rubuh diterjang alat-alat berat itu. 

Padahal, pohon nangka itu menjadi salah satu sumber penghasilannya. 

Baca Juga: Badan Geologi Tunjuk Tempat Relokasi Korban Tanah Bergerak di Lebak

Yang terampas, yang tak berdaya

Bingung dan kesal, B mengaku tak berdaya. 

"Saya mah orang bodoh, tapi orang pintar malah bodoh-bodohin saya. Saya mah enggak sekolah, saya mah cuma bisa bertani, biarpun saya enggak sekolah, tapi saya tahu kalau orang-orang pinter lagi mengelabui orang bodoh seperti saya," kata B dengan nada emosi saat ditemui IDN Times. Dia menunjukkan semua ladangnya yang rusak.

B melanjutkan ceritanya. Dia mengaku hanya tahu bahwa ada pengusaha besar di Lebak yang akan membeli lahannya, melalui bantuan Pemerintah Desa Margatirta. Hal itu dikuatkan dengan datangnya tim--yang disebut warga-- sebagai tim pengukur dari pemerintahan Lebak. 

Para petugas itu mengukur dan menancapkan patok bambu bercat merah di sepanjang kurang lebih 4,8 kilometer (km) dengan lebar 20 meter (m) tanah di desa itu. Lahan ini membentang dari wilayah perbatasan Desa Margatirta dengan Desa Gunung Anten di kecamatan yang sama, melewati ratusan petak sawah warga dan berujung di sempadan Sungai Ciujung yang berbatasan langsung dengan wilayah Cikulur.

Selanjutnya yang B ketahui, lahannya hanya dihargai Rp20 ribu per meter. Kata B, dia tak sudi menjual tanah semurah itu, bahkan di bawah harga rokok yang kerap ia beli.

"Kalo Rp20 ribu mah atuh, nangka saya aja harganya 30 ribu per buah. Atuh mending jual nangka," kata dia.

52 dari 70 warga cemas, meratapi nasib lahannya

Salah satu pemuda yang juga Koordinator Aliansi Rakyat Margatirta, Ahim, ikut  menentang tindak upaya pembelian paksa dan perusakan ladang tersebut. Menurut Ahim, ada 70 warga yang tanahnya diukur pemerintah desa. 

Dari jumlah ini, ungkap Ahim, warga yang memiliki tanah berupa ladang dan kebun sudah rata. Sementara lahan berupa sawah masih dalam proses pengukuran dan pematokan. 

Namun, kata dia, satu hal yang pasti, sebagian mengaku tidak mendapat pemberitahuan sebelumnya. 

Lebih lanjut Ahim menjelaskan, dari 70 pemilik yang tanahnya sudah diukur, 18 orang akhirnya sudah menjual tanahnya. Penjualan itu, menurut Ahim, dilakukan di bawah tekanan dan paksaan.

Sisanya, 52 warga, sampai saat ini bertahan dan tak mau menjual tanahnya karena hanya dihargai Rp20 ribu per meter.

"Mereka yang tanahnya sudah dirusak sebenarnya mau saja menjual, tapi harganya harus pantas, karena itu tanah produktif. Mereka pun tak menolak jika ada pembangunan jalan, tapi cara pembangunannya harus baik, harus manusiawi dan tidak menindas," kata Ahim kepada IDN Times.

Kronologi "pembelian paksa" lahan petani di Desa Margatirta

Penguasa Memaksa, Kiamat Kecil di Desa Margatirta LebakSalah satu patok merah di sawah warga Margatira (IDN Times/Muhamad Iqbal

Secara rinci Ahim menjelaskan kronologi kejadian "perampasan lahan" tersebut, berdasarkan pengakuan sejumlah warga. Diawali pada Senin 3 Januari 2022, pemerintah desa dan beberapa orang dari kantor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mulai mengukur tanah.

Warga mendapat kabar bahwa pengukuran itu untuk pembuatan jalan dan jembatan permanen yang baru. Selama ini, penghubung Desa Margatirta dengan Desa Muncangkopong, Kecamatan Cikulur memang hanya jembatan gantung. 

"Rabu 5 Januari 2022, pihak desa dan pemerintah kabupaten Lebak mengukur dan mematok tanah masyarakat, tanpa memberitahukan apapun sebelumnya. Bahkan masyarakat sendiri tidak mengetahui bahwa tanahnya itu dipatok," kata Ahim.

Berselang dua hari setelah pengukuran dan pematokan, tiba-tiba alat berat dengan logo perusahaan JB berwarna merah biru, muncul di desa mereka dan mengusur apapun yang ada di atas tanah. Padahal, kata Ahim, sejumlah warga belum menyetujui kesepakatan apapun bersama pemerintah desa ataupun pemerintah kabupaten.

"Belum ada pembayaran dan belum ada kesepakatan baik lisan atau tertulis tanah masyarakat dirusak secara tiba-tiba. Kebun pisang dan kayu habis dilindas alat berat, tanpa diketahui pemilik kebun," tulis Ahim.

Setelah kebun dan tanah rusak, pemiliknya lantas dipanggil untuk kali kedua oleh kepala desa. Pada pertemuan dengan kepala desa, warga diberitahu bahwa tanah mereka akan dibeli dengan harga Rp20 ribu per meter. 

Keberatan dengan harga yang terlalu rendah, sebagian warga protes. Apalagi kebun mereka sudah dirusak secara sepihak tanpa persetujuan.

Aksi penolakan mereka lancarkan pada Senin, 17 Januari 2022 bersama warga lain yang turut bersolidaritas. Dalam demo itu, warga memprotes dan menolak pembelian paksa tanah mereka. Massa juga menyayangkan pemerintah membiarkan ada pihak jahat menggusur tanah secara sewenang-wenang.

Di hari yang sama, perwakilan masyarakat pun audiensi dengan anak pemilik proyek tersebut berinisial NJ. Di Banten, NJ juga diketahui sebagai pengusaha lokal Lebak.

Dalam pertemuan itu, NJ memastikan bahwa pihaknya tidak membeli tanah warga dengan harga semurah itu.

Peraturan Daerah RTRW Kabupaten Lebak di balik sengketa lahan Desa Margatirta

Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang  Wilayah (RTRW) yang masih berlaku, wilayah Desa Margatirta masih berstatus kawasan pedesaan, pertanian lahan kering, dan hutan industri terbatas.

Nampaknya, hal ini segera berubah jika perda hasil revisi diterapkan.

Pada 15 Mei 2020, Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya disebut meminta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk segera membahas revisi 

DPRD Kabupaten Lebak kemudian menyelesaikan proses pengesahan revisi perda itu pada Juni 2021. Ketua Panitia Khusus (Pansus) Perda RTRW Lebak, Mochamad Arief mengatakan, ada beberapa hal fundamental yang direvisi. 

"Salah satu yang fundamental adalah kawasan industri. Cimarga sama Leuwidamar sama Cileles, seperti gitu kan," kata Arief yang merupakan anggota legislator Lebak dari Partai Nasdem, kepada IDN Times, Selasa (22/2/2022).

Saat dikonfirmasi, Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Lebak Budi Santoso meminta IDN Times mengontak Asisten Daerah II, Ajis Suhendi. Melalui sambungan telepon, Ajis pun menjelaskan bahwa perda ini belum bisa diterapkan--meski sudah disahkan oleh DPRD pada Juni 2021-- karena masih menunggu dari persetujuan lembaga terkait.

"Saat ini, (Perda RTRW) berada di Kementerian ATR BPN untuk persetujuannya. Kita kan pengennya cepetan, tahun ini sudah bisa ditetapkan dan kita bisa eksekusi," kata dia.

Ajis menjelaskan, salah satu isi dalam draf Perda RTRW adalah penetapan 10 ribu hektare (ha) lebih kawasan industri yang membentang di 11 kecamatan. Kawasan tersebut kebanyakan berada tak jauh dari pintu Tol Serang-Panimbang yang tengah dibangun pemerintah pusat.

Adapun 11 kecamatan yang dimaksud Ajis adalah Cikulur, Cileles, Cimarga, Curugbitung, Leuwidamar, Maja, Rangkasbitung, Warunggunung, kemudian Banjarsari, Bayah, dan Cibadak.

"Nah yang menarik itu, ada kawasan industri terpadu di Cileles 4 atau 5 desa. Pintu tolnya itu ada di dalam rencana kawasan industri kita. Pintu tol lanjutan memang, bukan yang sesi 1," kata Ajis. Luasnya, imbuh Ajis, sekitar 3.100 ha.

Ajis pun mengonfirmasi bahwa peristiwa yang terjadi di Desa Margatirta berkaitan dengan rencana kawasan industri yang akan dibangun oleh pemerintah.

"Kalau kami mendengar itu ada investasi terkait industri pengolahan sampah dan ini di-support karena kewenangannya ini ada di pusat, melalui Kementerian Lingkungan Hidup. Mungkin nanti akan melibatkan Pemerintah Kabupaten Lebak. Berkaitan dengan rencana kawasan industri," kata Ajis. 

Sementara saat dikonfirmasi, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup, Rosa Vivien Ratnawati mengaku belum menerima laporan soal rencana proyek terkait di Lebak.

"Gak ada, informasi belum ke saya," kata Vivien melalui aplikasi WhatsApp, beberapa waktu lalu.

Baca Juga: Gubernur Banten Resmikan Masjid di Negeri di Atas Awan Lebak

Penguasa Memaksa, Kiamat Kecil di Desa Margatirta LebakSumber: Gistaru Peta RTR Kementerian ATR/BPN

Pemkab Lebak: Penolakan warga adalah hal wajar

Menurut Ajis, dinamika dan penolakan di lapangan, itu hal yang wajar. "Tapi, kita coba menavigasi supaya investor ini juga bisa-- ini tujuannya baik soalnya-- untuk juga men-support pertumbuhan ekonomi dan pada akhirnya ekonomi masyarakat Lebak," kata dia.

Dinamika di lapangan itu wajar, menurut dia, selama bisa dikelola dengan baik. Salah satunya dengan ruang diskusi dan warga bisa menyampaikan aspirasi mereka. "Tapi soal teknisnya saya memang belum tahu detail," kata dia.

Jayabaya: Kami beli tanah yang ditawarkan warga

JB Group merupakan korporasi milik mantan Bupati Lebak Mulyadi Jayabaya. Saat dikonfirmasi, Mulyadi Jayabaya melalui juru bicaranya Agus Wisas mengakui, pihaknya lah yang membeli tanah warga di Desa Margatirta.

Namun, Agus menegaskan, pembelian tanah terjadi justru karena ada permintaan warga setempat yang sedang membutuhkan uang.  "Jadi tidak ada niat ngebebasin tanah. Kami investasi. Ada orang datang jual tanah ke kita, dilihat, kita beli lah," kata Agus melalui sambungan telepon, Sabtu (26/3/2022).

Dengan demikian, dia menegaskan bahwa masalah yang muncul saat ini bukanlah sengketa lahan.

Agus juga menilai, kabar soal harga tanah Rp20 ribu per meter itu, tidak tepat. Menurutnya,  harga tanah yang dibeli dari warga di desa itu bervariasi. "Ada yang Rp30 ribu ada yang Rp40 ribu (per meter). Yang pinggir jalan masa sama harganya," kata dia. 

Di sisi lain, pihaknya tidak bisa terbuka ke setiap orang mengenai berapa harga tanah.  "Kenapa? Karena nanti ada kecemburuan. Harganya gak sama," kata dia. 

Soal lahan yang sudah diratakan dengan alat berat dari Jayabaya, menurut Agus, berarti lahan tersebut sudah dibeli. Kalau ternyata sebaliknya, kemungkinan ada kesalahan di pihak pekerja yang mengeksekusi.

"Kalau sudah ada transaksi baru dah (dibuka). Kan bisa lapor, bisa ke pihak berwajib (karena) penyerobotan tanah," kata dia. 

Terkait adanya pertemuan perwakilan warga dengan Nabil Jayabaya, Agus mengaku tidak tahu. "Tapi karena yang belinya Pak Jayabaya, masa datang ke anaknya? Menurut saya, boleh silaturahmi, tapi kan ga solutif. Datang saja tuh ke Warung Gunung (rumah Jayabaya)," kata dia.

Agus memastikan bahwa pembelian lahan yang pihaknya lakukan bertujuan untuk pembangunan jalan yang akan menjadi akses warga dan rencana proyek pengolahan limbah.

"Tanah yang di dalam itu gak ada nilainya, kalau gak dibikin jalan. Makanya, dibikin dulu jalan supaya ada nilainya," imbuhnya. 

KPA: regulasi dan peraturan daerah jadi salah satu modus perampasan tanah rakyat

Penguasa Memaksa, Kiamat Kecil di Desa Margatirta LebakGrafis konflik agraria di Indonesia (IDN Times/ M Shakti)

Sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) bernama Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebut, salah satu modus perampasan tanah rakyat yakni menggunakan regulasi seperti undang-undang, peraturan daerah, dan aturan lain, dengan dalih pembangunan.

"Jadi karena memang perampasan tanah itu bisa modelnya itu bisa dilakukan atau modusnya itu bisa dilakukan secara halus. Kalau halus gitu berarti kan dia dengan menggunakan UU, regulasi," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPA, Dewi Sartika.

Akibatnya, masyarakat kadang tidak merasa bahwa itu adalah jenis praktik perampasan tanah karena dikemas segala demikian rupa. "Kadang dilabeli dengan proyek strategis nasional, dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum," jelasnya.

Menurut dia, tak sedikit pula yang menggunakan cara kasar bak penjajah dalam menguasai lahan secara luas atau menerapkan aturan tunggal terhadap suatu kawasan yang dimiliki masyarakat. "Misalnya lewat penggusuran paksa pengukuran paksa, intimidasi, represif, dan memobilisasi aparat. Itu juga bisa," kata Dewi.

Dewi menjelaskan, di Indonesia, banyak konflik agraria bersifat struktural. Ciri konflik struktural itu bersifat masif dan dampaknya luas bagi banyak orang.

Mirisnya, menurut Dewi, mayoritas konflik agraria struktural yang terjadi di Indonesia terjadi justru karena keputusan pejabat publik. "Jadi dia bukan sengketa tanah biasa. Dia bukan sengketa waris atau sengketa tanah individual, tapi ini adalah konflik agraria yang dimana masyarakat apakah itu petani, masyarakat adat atau masyarakat komunitas tertentu vis a vis dengan badan usaha skala besar, dia bisa swasta dia bisa negara," kata dia.

Menurut Dewi, konflik agraria itu adalah manifestasi atau cerminan dari praktik-praktik perampasan tanah. Konflik terjadi, dalam konteks untuk mengakuisisi lahan dalam jumlah skala besar.

Baca Juga: LSM: Regulasi Pemerintah Jadi Modus Perampasan Tanah Rakyat Indonesia

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya