Nestapa Tak Berujung, Perempuan dalam Kungkungan HIV/AIDS

Intinya sih...
- ODHA adalah orang yang hidup dengan HIV/AIDS, dan sebagian besar merupakan ibu rumah tangga yang tertular dari pasangan mereka.
- HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, sedangkan AIDS merupakan infeksi stadium lanjut dari seseorang yang terinfeksi HIV.
- Peningkatan kasus HIV/AIDS di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk pengetahuan rendah tentang pencegahan dan dampak penyakit serta stigma masyarakat terhadap ODHA.
Tahun 2008, dunia seakan runtuh bagi Nesa (bukan nama sebenarnya), seorang ibu rumah tangga di Tangerang. Tak pernah terbayang di benak wanita 38 tahun itu, dia bakal tertular human immunodeficiency viruses atau HIV.
"Hancur duniaku, kayak kesambar siang bolong. Pastinya, setiap bangun tidur tuh, aku bilang ini mimpi apa gak sih," kata Nesa, mengenang hari pertama divonis positif HIV, kepada IDN Times, Jumat (28/11/2024).
Di hari nestapa itu, Nesa memang sengaja memeriksakan diri, usai suaminya meninggal secara tiba-tiba. Keberanian dia kumpulkan setelah keluarga besarnya mengabari Nesa bahwa sang suami tercinta meninggal karena HIV.
Meski terpukul, Nesa mendapatkan dukungan penuh dari ibunya dan keluarga. Selama tujuh tahun setelah diagnosis, Nesa merasa tubuhnya sehat.
Nesa adalah satu dari begitu banyak ibu rumah tangga yang tertular HIV dari pasangannya. Ironinya, mereka justru jauh dari perilaku risiko tinggi penularan HIV.
Lantas seperti apa potret para perempuan, khususnya di Tanah Air, dalam kungkungan penyakit mematikan itu? Berikut tulisan kolaborasi hyperlocals IDN Times.
1. Kemenkes: penularan kasus HIV tertinggi didominasi ibu rumah tangga
Dunia memperingati 1 Desember sebagai Hari AIDS. Tahun ini, World Health Organization (WHO) memilih tema “Take the rights path: My health, my right!”.
Dengan tema itu, WHO menyerukan kampanye tersebut kepada para pemimpin dan warga dunia untuk memperjuangkan hak atas kesehatan dengan mengatasi ketidaksetaraan yang menghambat kemajuan dalam mengakhiri AIDS.
Lalu, apa itu HIV dan AIDS? Dikutip dari Kemkes.go.id, HIV merupakan merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh (imunitas) manusia. Nah, kamu perlu tahu bahwa HIV dan AIDS itu berbeda.
HIV adalah virus yang menyerang sel darah putih di dalam tubuh (limfoit). Ketika infeksi HIV itu menurunkan imunitas manusia dalam melawan bakteri hingga benda lainnya di dalam tubuh hingga pada tahap terminal, infeksinya bisa menyebabkan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). Jadi, AIDS merupakan infeksi stadium lanjut dari seseorang yang terinfeksi HIV.
Orang dengan HIV bisa saja tampak sehat dan belum tentu membutuhkan pengobatan. Meski demikian, orang dengan HIV bisa saja menularkan virus itu kepada orang lain.
Virus ini bisa menular melalui kontak dengan cairan tubuh penderita, seperti darah, sperma, cairan vagina, cairan anus, serta air susu ibu atau ASI. Ingat, HIV tidak menular udara, air, keringat, air mata, air liur, gigitan nyamuk, atau sentuhan fisik.
HIV adalah penyakit seumur hidup, karena hingga kini para ahli belum menemukan obat atau metode medis yang bisa menumpas virus mematikan itu. Meski demikian, ada obat yang bisa memperlambat perkembangan virus tersebut, yakni Antiretroviral (ARV).
HIV masih menjadi masalah dunia karena penyebarannya yang terus terjadi. World Health Organization/WHO atau Organisasi Kesehatan Dunia mencatat per Juli 2024, ada 42 juta orang yang hidup dengan HIV, di seluruh dunia. Angka itu meningkat. Dibandingkan data akhir Desember 2023 di mana ada 39,9 juta orang yang hidup dengan HIV.
Di Indonesia, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mencatat hal serupa bahwa orang dengan HIV/AIDS atau ODHA terus meningkat. Namun, ada satu fenomena yang memilukan di mana penularan kasus didominasi oleh ibu rumah tangga.
Berdasarkan data Kemenkes tahun 2023, jumlah ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV sekitar 35 persen. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan kasus HIV pada kelompok lainnya seperti suami pekerja seks dan kelompok MSM (man sex with man).
“Aktivitas ini telah menyumbang sekitar 30 persen penularan dari suami ke istri. Dampaknya, kasus HIV baru pada kelompok ibu rumah tangga bertambah sebesar 5.100 kasus setiap tahunnya,” kata Juru Bicara Kemenkes RI, Muhammad Syahril.
Penyebab tingginya penularan HIV pada ibu rumah tangga, menurut dia, karena pengetahuan akan pencegahan dan dampak penyakit yang rendah serta memiliki pasangan dengan perilaku seks berisiko.
Ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV berisiko tinggi untuk menularkan virus kepada anaknya. Penularan bisa terjadi sejak dalam kandungan, saat proses kelahiran, atau saat menyusui.
2. Mereka bertahan hidup dan terus berkarya dengan status ODHA
Kisah para ibu rumah tangga penyintas HIV berdatangan dari berbagai sudut Tanah Air. Nesa bercerita bagaimana rasa takut sempat melanda, khususnya dalam mengonsumsi obat-obatan. Dia khawatir dengan efek samping dan risiko resisten kalau obatnya tidak tersedia. "Tapi akhirnya saya sadar, ini jalan satu-satunya untuk bertahan hidup,” kata Nesa.
Pada tahun yang sama ketika ia memulai minum obat, Nesa menemukan tambatan hati dan menikah lagi. Suami barunya tidak hanya menerima kondisinya, tetapi juga menjadi penyemangat terbesar dalam hidupnya. Dengan dorongan keluarga dan suaminya, Nesa memutuskan untuk berbagi pengalaman dan menjadi pendamping ODHA pada tahun 2016.
“Suami saya mendukung sepenuhnya. Ia bahkan belajar lebih banyak tentang HIV agar bisa membantu saya dan orang lain,” ungkap Nesa.
Sebagai pendamping, Nesa bertugas membantu pasien yang menghadapi stigma, kehilangan motivasi, atau putus obat. Pengalamannya sendiri sebagai ODHA membuatnya lebih peka terhadap kebutuhan pasien.
“Motivasi saya sederhana, saya ingin teman-teman ODHA sehat dan punya harapan hidup seperti saya,” jelasnya.
Namun, pekerjaan ini tidak tanpa tantangan. Salah satu pengalaman yang paling sulit adalah menghadapi pasien yang menolak pengobatan hingga meninggal dunia.
“Kadang saya merasa gagal, tapi saya juga belajar bahwa kita tidak bisa memaksakan semuanya. Yang penting adalah terus memberikan dukungan tanpa henti,” katanya.
Kisah lainnya, datang dari Nita (bukan nama sebenarnya). Wanita asal Sumatra Utara itu tertular HIV dari sang suami. "Saat itu, rasanya gak tahu lagi gimana. Rasanya seperti menunggu akhir karena kita tidak ada informasi, tidak diedukasi tentang penyakit ini. Kita tahunya bahwa orang yang terinfeksi, tinggal menunggu waktu untuk dipanggil Tuhan," tambah Nita.
Ketika keluarga tahu, kata Nita, mereka menjauh semua. Di titik nadir itu, Nita merasa bersyukur karena bisa bertemu dengan konselor dan orang-orang baik yang mendukung dirinya.
Mereka juga memberi Nita dan keluarga edukasi mengenai HIV. “Tapi ya namanya orang yang gak tahu, jadi iya iya saja. Nah, kebetulan belum ada penyakit penyerta, saya masih sehat waktu itu, dan tidak ada gejala apapun," jelasnya.
Namun, ada satu ketakutan Nita yang luar biasa ketika terinfeksi HIV: kedua anaknya yang baru berusia 5 dan 1 tahun. Anak terakhirnya, kala itu, masih menyusui.
"Gimana ya karena masih menyusui risikonya besar untuk anak. Dan pada saat itu juga, anak saya diperiksa pada saat umur 1 tahun yang kecil dia negatif, dan yang besar juga dicek negatif,” kata dia.
Dia terus memeriksakan kedua buah hatinya, di tahun-tahun berikutnya, hingga yang terkecil menginjak usia 4 tahun. Dia bersyukur karena hasilnya selalu negatif.
Menjadi ODHA tak lantas membuat Nita diam dan meratapi nasib. Dia kemudian bergabung di salah satu lembaga yang aktif tentang HIV/AIDS guna lebih memahami banyak hal tentang HIV. Tidak hanya memahami, tetapi Nita juga menjadi pendamping sebaya untuk merangkul para ODHA.
Dia menjelaskan alasannya aktif untuk menjadi pendukung sebaya adalah saat suami dipindahkan dari Murni Teguh ke Pirngadi.
"Waktu itu, saya juga lagi dilema dan antara minum obat atau tidak, saya lihat gimana saya hidup kalau saya hidup dengan obat selama umur hidup saya? Pada saat itu, saya bertemu dengan orang pendamping waktu dia datang, mereka bersemangat dan bertanya-tanya pas dia bilang, 'gak apa-apa minum saja'," katanya.
Hal itu juga kemudian menyemangati Nita untuk rajin minum obat dan semangat menjalani kehidupan. "Sampai hari ini saya berjalan 12 tahun saya hidup berdamai dengan HIV," ungkap Nita.
3. Para penyintas HIV/AIDS melawan stigma
Selain tantangan medis, stigma masyarakat menjadi hambatan terbesar. Di daerah pedesaan, banyak yang masih memandang HIV sebagai 'penyakit kutukan' dan menjauhi ODHA.
“Masih banyak yang tidak paham bahwa HIV tidak menular lewat sentuhan. Mereka langsung takut, tanpa tahu faktor risikonya,” ungkap Nesa asal Tangerang.
Dia pun aktif di LSM yang fokus pada pendampingan ODHA di wilayah Banten. Ia juga sering berbicara di forum-forum untuk menyebarkan informasi yang benar tentang HIV/AIDS. Baginya, menjadi ODHA bukanlah akhir segalanya.
“Saya ingin masyarakat tahu bahwa ODHA bisa hidup sehat dan normal. Dan yang terpenting, kita harus terus melawan stigma. Semua orang berhak mendapatkan kehidupan yang layak,” kata dia.
Stigma juga dirasakan menjadi beban bagi PW, ibu di Lampung. Setelah kehilangan anak kedua dan suami karena AIDS, dia kini berjuang menghidupi anak pertamanya.
PW memilih untuk merahasiakan penyakitnya, bahkan dari keluarganya sendiri, demi melindungi anaknya dari stigma dan diskriminasi.
“Ini kan penyakit yang masih awam bagi masyarakat. Kalau saya pribadi sebenarnya tidak takut, tapi saya kasihan sama anak saya. Dia masih remaja, takutnya nanti dia yang kena stigma dan diskriminasi. Soalnya dulu salah satu kakak saya tahu soal penyakit ini, dan dia sempat menjauh, bahkan gak mau datang lagi ke rumah,” katanya lirih.
Untuk mendapatkan dukungan dan edukasi, PW bergabung dengan komunitas HIV/AIDS di Lampung. Baginya, komunitas ini adalah tempat untuk berbagi pengalaman, mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang penyakitnya, dan menemukan kekuatan dari orang-orang yang menghadapi perjuangan serupa.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan, Yusri Yunus mengakui, stigma terhadap penderita HIV masih menjadi tantangan besar. Yusri berharap semua pihak, dapat membantu menghapus stigma negatif terhadap HIV.
Stigma ini menjadi penghambat besar dalam deteksi dan pengobatan. Karena itu, harus diciptakan lingkungan yang mendukung agar masyarakat tidak takut memeriksakan diri.
"Ini menjadi tantangan kita bersama untuk menyadari, bisa datang ke layanan kesehatan, sama-sama untuk memeriksakan diri, tanpa ada rasa malu dan menciptakan penghapusan stigma terhadap diri sendiri maupun masyarakat," kata Yusri.
4. PW, penyintas yang harus kehilangan buah hati
Kisah perempuan tangguh lainnya datang dari Lampung. Dia berinisial PW.
Perempuan 38 tahun merasa campur aduk, marah, sedih, dan bingung saat mendengar vonis dokter putra keduanya positif AIDS, tahun 2018 lalu. Putranya baru berusia 2 tahun 8 bulan.
"Waktu dokter bilang anak saya positif itu, kaki saya rasanya lumpuh sampai gak bisa jalan dan gak ada semangat hidup. Kata dokter, anak saya tertular dari saya, dan saya tertular dari suami saya," kata PW kepada IDN Times, Jumat (9/11/2024).
Itulah awal dari perjalanan panjang penuh perjuangan, penyesuaian diri, dan upaya menemukan harapan di tengah badai bagi PW sekeluarga. Di tengah frustasi dan kemarahan itu, PW ingat bahwa sang anak membutuhkannya.
"Jadi semua pertanyaan-pertanyaan yang gak ada jawabannya itu saya kesampingkan. Sampai suami saya meninggal pun, saya gak pernah tanya apa yang dia lakukan di luar sana. Terserah dia mau ngapain, intinya waktu itu anak yang paling utama,” cerita
Nestapa dirasakan PW kian dalam ketika sang anak dalam kondisi drop. Sejumlah organ tubuh mungilnya mulai terdampak AIDS, mulai dari jantung, hati, hingga paru-paru.
“Yang bikin saya sakit banget, harus liat dia minum obat tiap hari, bahkan menjalani operasi. Pokoknya apa pun saya lakukan demi kesembuhan anak saya. Kalau saya sendiri ya sambil terapi juga tapi gak merasakan sakit, karena saya waktu itu udah bahagia bisa liat anak saya bertahan hidup,” tuturnya, sambil terisak.
PW merawat sang anak hingga sang buah hati harus menyerah pada penyakitnya dan meninggal dunia di usia 9 tahun. Kepergian sang anak membuat PW merasa hancur dan kehilangan harapan hidup. Belum selesai duka itu, setahun lebih setelah anaknya meninggal, PW kembali kehilangan suaminya karena kondisinya semakin memburuk selama di perantauan.
5. Data di sejumlah daerah, mayoritas ada kasus baru HIV/AIDS
Peningkatan ODHA di sejumlah regional meningkat. Banten, misalnya, mencatat ada 2.100 kasus baru HIV selama 2024. Dari jumlah kasus baru itu, menurut Kepala Dinas Kesehatan Banten Ati Pramudji, 189 penderita merupakan IRT. Mereka tersebar merata di seluruh wilayah Banten, utamanya di Tangerang Raya yang meliputi Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kabupaten Tangerang.
Berdasarkan hasil pendalaman dari kelompok sebaran, kata Ati, rata-rata penularan HIV dari pasangan yang berperilaku seks berisiko tinggi yang sering berganti-ganti pasangan seks, atau memiliki pasangan yang merupakan pelanggan pekerja seks.
Bahkan, saat ini banyak seorang iatri tertular HIV dari pasangan yang melakukan fenomena levender marriage, di mana pasangan lelaki seks lelaki (LSL) atau gay tetap menikah dengan lawan jenis untuk menutupi orientasi seks tersebut di masyarakat.
"Rata-rata penularan HIV dari kelompok pasangan ODHIV, pasangan Risti dan ibu hamil," katanya.
Di Kota Medan, Dinas Kesehatan menemukan ada 9.878 kasus HIV/AIDS. Kepala Dinkes Kota Medan, Yuda Pratiwi Setiawan mengungkap, dari jumlah itu, sebanyak 5.813 orang sedang menjalani pengobatan dengan ARV).
Penularan HIV-AIDS di Kota Medan tidak hanya terjadi pada kelompok masyarakat dengan perilaku berisiko, tetapi juga pada orang berstatus sebagai istri.
Kemudian, kata dia, petugas medis bisa terkontaminasi karena kurang disiplin dalam melaksanakan prosedur pelayanan orang dengan HIV/AIDS.Bahkan, bayi baru lahir pun bisa tertular dari ibunya karena tidak mengetahui status HIV, sehingga tidak sempat dilakukan pencegahan penularan ibu ke anak (PPIA).
"Di Kota Medan saat ini ada 55 orang anak dengan status anak dengan HIV/AIDS atau ADHA," kata dia.
Di Sumatra Selatan, tercatat ada penambahan 846 kasus baru HIV/AIDS pada periode Januari-Oktober 2024, dari sebelumnya pada Januari-Desember 2023 tercatat 870 kasus
"Jumlah data berdasarkan hasil diagnosa, tes darah hingga pemberian pengobatan terhadap penderita," ujar Pengelola Program HIV/AIDS Dinkes Sumsel, Irma Tiara, kepada IDN Times.
Jumlah terinfeksi HIV/AIDS di Sumsel paling tinggi terjadi pada Kota Palembang, yakni 109 kasus. "Kemungkinan sampai Desember akhir bisa bertambah," kata dia.
Sementara itu, berdasarkan data Advocacy Officer Wahana Cita Indonesia (WCI) pada 2023, diperkirakan sekitar 5.600 hingga 6.000 orang di Provinsi Lampung terinfeksi HIV/AIDS. Di antara jumlah tersebut, sekitar 2.900 di antaranya adalah anak-anak.
Peningkatan dan penambahan kasus baru juga tercatat di Yogyakarta. Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY, Pembajun Setyaningastutie mengungkap, tren kenaikan kasus HIV/AIDS terjadi usai pandemik COVID-19.
“Angka kejadian HIV/AIDS terus meningkat secara kumulatif dari tahun ke tahun, karena memang pengobatan HIV/AIDS seumur hidup,” ungkapnya.
Berdasar data Dinkes DIY pada tahun 2021, ditemukan HIV berjumlah 327 kasus dan AIDS 107 kasus. Pada tahun 2022, ditemukan 830 kasus HIV dan 193 kasus AIDS, serta tahun 2023 terdapat 957 kasus HIV dan 205 kasus AIDS.
“Sedangkan pada tahun 2024 sampai dengan semester pertama, di DIY terdapat 8.195 total penderita HIV dan 2.313 penderita yang masuk dalam kategori AIDS. Tren angka kejadian HIV AIDS terus meningkat secara kumulatif dari tahun ke tahun, karena memang pengobatan HIV/AIDS seumur hidup,” ujar Pembajun.
Data DIY Tahun 2024 semester pertama menunjukkan proporsi penderita didominasi laki-laki sebanyak 5.815 kasus HIV dan 1.558 kasus AIDS, sementara kasus HIV perempuan 2.304 dan 741 kasus AIDS. Sedangkan 76 kasus HIV dan 14 kasus AIDS tidak diketahui jenis kelaminnya.
“Data DIY Tahun 2024 semester pertama menunjukkan, profesi penderita HIV AIDS cukup bervariasi mulai wiraswasta, tenaga nonprofesional, siswa/mahasiswa, IRT, buruh kasar, pekerja seks, dan sebagian besar tidak menuliskan data pekerjaannya (lain-lain atau tidak diketahui),” jelas Pembajun.
Sulawesi Selatan juga mencatat tren peningkatan. Menurut data Kementerian Kesehatan, jumlah kasus HIV pada September 2024, mencapai 1.636 kasus. Namun, angka ini masih berpeluang meningkat hingga akhir tahun.
Jumlah tersebut bahkan bisa lebih banyak lagi yang tidak tercatat. Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan, Yusri Yunus, menjelaskan bahwa data yang dihimpun sangat akurat karena bersumber dari Sistem Informasi HIV/AIDS (SIHA) nasional. Dia menjelaskan lonjakan ini menunjukkan kemampuan layanan kesehatan untuk mendeteksi kasus secara masif.
"Memang ini adalah fenomena gunung es, siklus yang ada di tengah masyarakat kita terkait adanya kasus HIV yang cukup meningkat," kata Yusri, Sabtu (30/11/2024).
Berdasarkan data, kelompok lelaki seks dengan lelaki (LSL) menjadi penyumbang kasus tertinggi di Sulawesi Selatan. Data tersebut mencatat ada 741 kasus HIV pada kelompok LSL sepanjang Januari hingga September 2024.
Di Nusa Tenggara Timur (NTB), sedikitnya ada 5.927 kasus HIV/AIDS. Sejak 2001 hingga Juli 2023, jumlah kasus yang ditemukan baru sebanyak 53,88 persen atau 3.193 kasus.
Sekretaris KPA Provinsi NTB, Suhermanto mengatakan, ribuan kasus HIV/AIDS belum terbongkar dan mereka berkeliaran serta meningkatkan risiko penularan.
Berdasarkan pekerjaan, ibu rumah tangga (IRT) menjadi penderita HIV/AIDS terbanyak kedua di NTB setelah karyawan. "Suami jajan di luar negeri. Begitu pulang, membawa virus HIV, istri menjadi tertular," katanya.
Di Bali, ada penurunan kasus sejak 2018-2022. Merujuk pada Satu Data Indonesia Provinsi Bali yang diperbarui pada 21 Agustus 2024, jumlah penderita HIV/AIDS di Provinsi Bali dalam lima tahun terakhir, yakni 156 (2018), 146 (2019), 139 (2020), 121 (2021), dan 89 (2022).
Penurunan juga terjadi di Balikpapan, Kalimantan Timur. Hingga Oktober 2024, Dinas Kesehatan Kota (DKK) Balikpapan mencatat ada 303 kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Balikpapan. Angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan tahun lalu, di mana ada 318 kasus HIV/AIDS yang terdeteksi.
Ketua Tim Kerja Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P3M) Dinas Kesehatan Kota (DKK) Balikpapan, I Dewa Gede Dony Lesmana mengungkap, kasus HIV/AIDS di Balikpapan didominasi penularan pada kelompok usia produktif, khususnya pria.
Lebih lanjut kata Dewa, penularan HIV/AIDS di Balikpapan lebih banyak terjadi melalui hubungan seksual berisiko, baik homoseksual maupun heteroseksual. Fenomena ini berbeda dengan pola penularan pada dekade 1990-an, yang mayoritas disebabkan oleh penggunaan jarum suntik narkoba secara bergantian.
Kelompok usia 25-49 tahun, yang merupakan usia produktif, tercatat sebagai kelompok yang paling banyak terinfeksi HIV/AIDS, dengan jumlah kasus pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan, yakni 198 kasus pada laki-laki dan 74 kasus pada perempuan di tahun ini.
Balikpapan pun dibayangi penularan HIV/AIDS di kalangan ibu rumah tangga, dengan 39 kasus pada 2023 dan 32 kasus pada 2022.
Kasus HIV/AIDS di Jawa Barat pun tergolong stagnan dan cenderung menurun. Kepala bidang (Kabid) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Jabar, Rochady Hendra Setia Wibawa mengatakan, jumlah data pasien penderita HIV/AIDS di Jabar 2023 tercatat 9.710 dan tahun 2024 tercatat 8.886.
Dari jumlah itu, penderita perempuan di tahun 2023 ada 2.464 orang dan tahun 2024 ada 2.121 orang. Sementara jumlah ibu Hamil positif HIV/AIDS di tahun 2023 sejumlah 560 bumil (ibu hamil), untuk 2024 didapat 275 bumil," ujar Rochady.
6. Harapan ODHA untuk pemerintah: obat yang selalu tersedia
Hidup dengan HIV, menurut Nita, ODHA sangat membutuhkan dukungan dari orang sekitarnya, khususnya keluarga. Selama menjadi pendamping ODHA di Medan, Nita kerap menemukan penderita yang tidak mau berjuang.
"(Dukungan orang sekitar) Itu sangat memberi semangat bagi kami-kami ini yang terinfeksi HIV. Banyak hal di lapangan yang saya lihat, bahwa keluarga tidak mendukung, suami tidak mendukung (meski sudah sama-sama positif) dan mendukung sikapnya tidak berubah. Itu yang membuat sering kali orang putus untuk tidak lagi meneruskan pengobatan," kata Nita.
Selain itu, Nita menilai, ODHA juga berharap, pemerintah bisa lebih memberi perhatian khusus kepada mereka. Apalagi, menurut Nita, kini ada beberapa obat yang sedang kosong di layanan sehingga harus berganti dengan obat-obat yang lain.
"Kalau terus seperti ini saya takut tentang persediaan stok obat, harapannya juga janganlah obat terus berganti-bergantian," kata dia.
Dia kembali menegaskan, ketersediaan obat itu menjadi krusial karena ODHA harus mengonnsumsi ARV seumur hidup. Dengan demikian, kualitas hidup orang dengan HIV dapat meningkat dan dapat juga menghapus paling tidak diskriminasi.
"Kalau bisa dihapuskan karena orang-orang yang hidup dengan HIV juga bisa maksimal hidupnya, bisa produktif, asal didukung dengan pengobatan yang baik, tidak membeda-bedakan orang," kata dia.
7. Langkah dan target pemerintah pusat dan daerah untuk mengapus HIV/AIDS
Kemenkes RI menegaskan, penghapusan HIV/AIDS dari Indonesia sebetulnya merupakan penegakan hak asasi manusia. Oleh karena itu, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Ina Agustina Isturini pun mengajak semua lapisan masyarakat untuk menghapus penyakit itu dari Indonesia.
Dalam peringatan Hari AIDS Sedunia 2024, seperti dikutip dari Antara, Ina menyatakan komitmen Indonesia kuat untuk menghapus HIV/AIDS. Ada tiga target yang ingin dicapai, yakni meniadakan kasus baru, meniadakan kematian akibat AIDS, serta meniadakan diskriminasi atau yang sering disebut sebagai three zero/triple zero.
Maka dari itu, Ina menyebutkan Indonesia telah melakukan berbagai langkah strategis dalam memerangi HIV, yang mencakup peningkatan akses diagnosis dan pengobatan, perluasan layanan pemeriksaan viral load, serta penerapan program pencegahan yang termasuk pemberian obat profilaksis.
"Stigma dan diskriminasi sosial menciptakan hambatan besar, terutama bagi populasi yang terpinggirkan seperti pengguna narkoba suntik, pekerja seks, dan komunitas LSL," ujarnya.
Indonesia juga telah menetapkan target 95 persen ODHA terdiagnosis, 95 persen ODHA menjalani pengobatan ARV seumur hidup, serta 95 persen ODHA yang menjalani pengobatan memiliki viral load yang tidak terdeteksi.
Berdasarkan data Kemenkes RI, hingga September 2024, baru 71 persen dari perkiraan ODHA di Indonesia yang mengetahui status HIV-nya, hanya 64 persen dari mereka yang mendapatkan pengobatan ARV, dan baru 49 persen dari ODHA yang menjalani pengobatan tersebut dites viral load, dengan hasil virus yang tidak terdeteksi.
"Angka ini masih jauh dari target global. Oleh karena itu, diperlukan terobosan dan inovasi untuk menjawab tantangan ini," lanjutnya.
Di Banten, Kepala Dinkes Ati mengutarakan Pemerintah Provinsi telah melakukan langkah-langkah pengobatan dan pencegahan. Di antaranya, mendekatkan akses layanan HIV, di mana seluruh puskesmas di Provinsi Banten dapat melakukan skrining HIV baik yang dilakukan di dalam puskesmas maupun di posyandu.
"Bekerja sama dengan bidan praktik mandiri, dokter praktik mandiri dan klinik di wilayahnya, serta kolaborasi dengan kader untuk penjangkauan dan promosi kesehatan terkait Pencegahan dan Penularan HIV," katanya.
Bagi pasangan dari ODHIV atau yang mempunyai perilaku seks berisiko tinggi, tapi belum HIV, lanjutnya, maka pemerintah menyediakan obat pencegahan penularan HIV yang disebut dengan PrEP (Pre Exposure Profilaksis) supaya tidak tertular HIV dari pasangannya yang telah HIV.
"Selain itu dalam Pergub Banten Nomor 40 Tahun 2023 tercantum, bahwa skrining HIV salah satunya dilakukan pada calon pengantin hingga ibu hamil untuk mencegah penularan HIV secara vertikal dari ibu ke anak, sehingga dapat menurunkan angka kasus penularan HIV dari ibu ke anak," katanya.
Sementara Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY, Pembajun Setyaningastutie mengimbau agar masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat serta menghindari perilaku berisiko.
Bagi masayarakat yang memiliki risiko diedukasi dengan SAVE (Sehat & Aman Berperilaku; Akses Pengobatan, Volunter Konseling dan Tes; Edukasi dan Pemberdayaan).
Selain itu pihaknya mendorong penguatan ketahanan keluarga, pendidikan, keagamaan dan ketahanan sistem sosial kemasyarakatan diharapkan dapat mencegah perilaku berisiko untuk pencegahan HIV AIDS.
Dinkes Jabar juga melakukan berbagai upaya untuk memutus mata rantai HIV/AIDS agar tidak meningkat. Pelayanan untuk penderita dikatakannya telah disediakan.
"Semua obat obatan masuk ke dalam program pemerintah, sehingga jika pasien HIV/AIDS menggunakan obat program pemerintah itu gratis. Obatnya di semua fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah atau swasta. Obat ARV nya Gratis dari pemerintah/Kemenkes RI," jelasnya.
Di sisi lain, Kepala Dinkes Kota Medan Yuda Pratiwi Setiawan menekankan pentingnya tes HIV untuk calon pengantin dan ibu hamil. Hal itu bisa menekan kasus HIV/AIDS.