Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi Sampah yang Menggunung (pexels.com/tomfisk)
Ilustrasi Sampah yang Menggunung (pexels.com/tomfisk)

Intinya sih...

  • Proyek PLTSa atau PSEL di Tangerang masih mengalami hambatan, seperti pemilihan sistem RDF oleh Pemkot Tangerang dan peringatan KPK terkait potensi pengeluaran anggaran yang besar.

  • Proyek ini sudah direncanakan sejak 2016, namun baru berprogres pada tahun 2025, dengan proyek PSEL Tangsel diproyeksikan mampu mengolah 1.100 ton sampah per hari dan menghasilkan listrik sebesar 19,6 megawatt per jam.

  • Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menilai proyek PSEL tidak realistis karena kemampuan pembiayaan daerah yang diragukan, sehingga lebih baik gencarkan pemilahan sampah dari sumber untuk mengurangi timbunan sampah.

Tangerang, IDN Times – Proyek Pengelolaan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) atau Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Tangerang Selatan (Tangsel) dan Kota Tangerang hingga kini masih jalan di tempat. Padahal di kedua daerah itu, sudah ada perusahaan pemenang tender sudah ditetapkan sejak lama.

PT Indoplas Energi Hijau menggandeng mitra penyedia teknologi China Tianying Inc disebut sudah memenangkan proyek PSEL di Tangsel dan Consortium Oligo Partners (COP) sudah ditunjuk sebagai pemenang proyek PSEL di Kota Tangerang. Namun hingga kini belum nampak ada pembangunan konstruksi atau bahkan kelanjutan proyek tersebut.

1. PLTSa sudah diwacanakan sejak 2016, Pemkot Tangerang malah pilih sistem RDF

Pasangan Sachrudin-Maryono Hasan resmi menang Pilkada Kota Tangerang 2024. Dok Pribdi/Agus Suhendra

Untuk diketahui, proyek PSEL atau PLTSa di Kota Tangerang sudah direncanakan sejak 2016. Pada tahun 2020, rencana proyek ini mencuat dengan adanya perusahaan pemenang lelang, yakni Consortium Oligo Partners (COP).

Namun pada tahun 2021, proyek ini menemui banyak halangan, diantaranya peringatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait potensi pengeluaran anggaran yang besar dan oversupply energi listrik. Proyek tersebut, hingga kini mengambang, tanpa kejelasan meski sudah ada perusahaan pemenang tender proyek.

Belakangan, Pemerintah Kota Tangerang justru memilih menerapkan teknologi Refuse Derived Fuel (RDF) untuk mengelola sampah di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Rawa Kucing. Teknologi RDF ini mengubah sampah menjadi bahan bakar alternatif yang setara dengan batu bara. Kota Tangerang juga telah mendistribusikan hasil produksi RDF kepada PT Solusi Bangun Indonesia (SBI) sebagai offtaker.

2. Diwacanakan dari zaman Airin, proyek PSEL di Tangsel mencuat kembali tahun 2024

Sampah di TPA Cipeucang Tangsel (IDN Times/Muhamad Iqbal)

Sementara di Kota Tangsel, wacana pembangunan PSEL sebagai solusi persoalan habisnya daya tampung TPA Cipeucang sudah ada dari era Wali Kota Tangsel, Airin Rachmi Diany yang memimpin Tangsel hingga tahun 2021. Di zaman Airin, proyek tersebut tak pernah terwujud, hingga pada tahun 2024 di era Benyamin Davnie proyek tersebut kembali mencuat.

Progres proyek ini ditandai dengan surat penetapan pemenang lelang proyek telah diterbitkan oleh Pemkot Tangsel pada 21 Maret 2025. Wakil Wali Kota Tangsel, Pilar Saga Ichsan menyatakan, PSEL Tangsel akan dibangun di kawasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan diproyeksikan mampu mengolah 1.100 ton sampah per hari, terdiri dari 1.000 ton sampah baru dan 100 ton sampah lama.

Teknologi yang digunakan berstandar Eropa, ramah lingkungan, tanpa bau, tanpa limbah, serta menghasilkan listrik sebesar 19,6 megawatt per jam yang akan dijual ke PLN.

Selain mendukung energi terbarukan, proyek ini juga menjawab tantangan pengelolaan sampah di Tangsel yang terus meningkat hingga 3,2 persen per tahun, lebih tinggi dari rata-rata nasional.

"Jadi kami juga mengantisipasi dalam beberapa tahun kemudian ini mungkin ada eskalasi, kita ada penambahan kapasitas kembali, tapi kita sudah hitung semuanya," kata dia.

Adapun mengenai skema pembiayaan PSEL mengacu pada aturan Kementerian Keuangan, dengan maksimum tipping fee Rp500.000 per ton. Namun hasil kajian menyebutkan kebutuhan biaya pengolahan mencapai Rp529.000 per ton. Skema pembagian antara pusat dan daerah akan difinalisasi usai studi kelayakan selesai.

Sebagai solusi jangka pendek sebelum PSEL beroperasi, Pemkot Tangsel juga telah menyiapkan lokasi pembuangan sementara di kawasan Cipeucang dan menjalin kerja sama pembuangan sampah dengan daerah lain seperti Pandeglang, Lebak, Tangerang, hingga wilayah Jawa Barat.

3. Walhi: proyek PSEL tidak realistis

TPA Cipeucang (Google Earth)

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menilai, proyek PSEL di Tangsel tidak realistis. Penilaian tersebut, kata dia, jika mengacu pada kemampuan pembiayaan daerah terhadap skema pembayaran pengolahan sampah serta potensi pembengkakan biaya yang disebabkan sampah yang diangkut tanpa terpilah.

"Kami lihat APBD-nya saja lah, sanggup enggak sih dia membiayai itu? (PSEL) di Solo itu kan karena ada bantuan pemerintah pusat ya waktu itu," kata Manajer Kampanye Tata ruang dan Infrastruktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Dwi Sawung, Senin (26/5/2025).

Sawung menilai, semestinya Pemkot Tangsel jauh-jauh hari sudah mengurai persoalan pengelolaan sampah tersebut, dengan menggencarkan upaya pemilahan sampah lebih dulu. Sebab, menurut Sawung, secanggih apapun teknologi yang akan diterapkan, akan sulit ketika sampah yang masuk belum terpilah.

"Sebenarnya kalau bicara krisis sampah, kita seharusnya berkaca ke Taiwan, dulu TPA nya ditutup karena longsor kemudian ditutup. Sampah berminggu-minggu tidak terangkut gitu nah mereka benar-benar melakukan revolusi penanganan sampah," kata Sawung.

4. Walhi menilai, Pemkot lebih baik gencarkan pemilahan sampah dari sumber untuk kurangi timbunan

Sampah di TPA Cipeucang Tangsel (IDN Times/Muhamad Iqbal)

Jika pemilahan dilakukan, lanjut Sawung, sekitar 60 persen sampah dapat ditangani dengan berbagai cara, seperti composting dengan berbagai metode baik paling sederhana maupun modern.

Berdasar data Kementerian Lingkungan Hidup, sekitar 57 hingga 62 sampah di Indonesia merupakan sampah organik, dengan yang paling banyak merupakan sampah makanan atau waste food.

"Paling minimal yang organiknya itu enggak masuk ke TPA atau bisa di-compostingComposting baik skala rumah tangga, komunal, RT RW maupun yang skala besar. Nah itu saja bisa menghilangkan sampah 60 persen," ungkapnya.

Menurut Sawung, Pemkot Tangsel bisa memulai 'revolusi' penanganan sampah dengan menggencarkan upaya pemilahan.

"Kantor pemerintah bisa mulai memberikan contoh, rumah dinas harus kasih contoh. Mindset-nya pengadaan alat," ungkapnya.

Editorial Team