IDN Times/Dok. Instagram Daar El Qolam
Meski membangun sebuah lembaga pengajaran Islam, adasaja hambatan dan tantangan yang dihadapi KH. Rifa'i. Lantaran metode pengajarannya yang berbeda dari pesantren tradisional lainnya, dia sempat dituduh mengajarkan kekafiran.
Persoalannya, karena KH. Rifa'i menerapkan pembelajaran dengan mewajibkan santri-santrinya berbahasa Indonesia selama di pesantren, bukan bahasa Sunda yang memang sebagai bahasa sehari-hari masyarakat Gintung.
Upaya tersebut disebut sebagai “mimpi memindahkan Jakarta ke kampung Gintung”.
Tak hanya mewajibkan bahasa Indonesia, ia juga mengajarkan bahasa Arab dan bahasa Inggris agar bisa digunakan para santri sebagai bahasa sehari-hari. Menurut mereka mimpi yang tidak akan terwujud karena “hendak memindahkan Makkah”. Saat pengajaran bahasa Inggris dilakukan di pesantren, maka cercaan yang datang lebih keras lagi, yaitu mengikuti bahasa orang kafir dan dengan sendirinya Rifa’i juga termasuk kafir.
Mereka yang menuduh, memahami hadits Nabi Muhammad SAW secara keliru yaitu: “Barang siapa yang mengikuti sesuatu kaum maka ia termasuk ke dalamnya”
Berkat kegigihannya dan keteguhan hatinya dalam menerapkan program pendidikan modern tersebut, nama ponpes tersebut pun semakin naik hingga pada tahun 1970-an semakin ramai santri yang datang dari berbagai tempat, tidak hanya masyarakat Gintung dan sekitarnya tetapi juga dari Jakarta, Bandung, Karawang, dan Bekasi meski memang kebanyakan berasal dari daerah Banten seperti Pandeglang, Serang, Rangkasbitung dan Cilegon.
Hingga kini, Ponpes Daar El Qolam telah meluluskan ribuan santri-santri yang berlandaskan agama dan lebih mampu menerima modernisasi tanpa mengesampingkan ketaatan kepada nilai-nilai agama.
Bahkan, saat ini Ponpes Daar El Qolam telah membuka 4 cabang, yakni Daar El Qolam 1, 2, dan 4 untuk tingkat SMP/MTs hingga SMA/MA, dan Daar El Qolam 3 khusus untuk lulusan SMP/MTs dari sekolah lain yang ingin masuk ke Ponpes sekaligus bersekolah di tingkat SMA.