Dok. Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia
Dikutip dari artikel BBC Indonesia berjudul Mengapa ada trauma militerisme era Orde Baru? konsep dwifungsi TNI dapat ditelusuri dan ditautkan dengan pidato Jenderal Abdul Haris Nasution pada 11 November 1958 di Akademi Militer Magelang.
Dalam pidato itu, Nasution mengungkapkan konsep 'Jalan Tengah' yang membuka jalan bagi TNI untuk berperan dalam bidang sosial dan politik, selain fungsi pertahanan dan keamanan.
Konsep dwifungsi militer ini pun mendapat kritik keras dari proklamator Republik Indonesia, Mohammad Hatta dalam tulisan kritiknya terhadap Presiden Sukarno berjudul Demokrasi Kita yang di majalah Pandji Masjarakat. Dalam tulisannya, Hatta mengungkapkan bahwa awal mula masuknya tentara ke ranah sipil erat kaitannya dengan situasi politik dan keamanan pada tahun 1950-an.
"Sudah lebih dulu angkatan perang merasa tak puas dengan jalannya pemerintahan di tangan partai-partai. Percekcokan politik di pusat besar pengaruhnya ke bawah. Di daerah-daerah yang belum aman, gerakan gerombolan makin menjadi. Semuanya itu harus dihadapi tentara. Alih-alih menyiapkan diri untuk tugas yang sebenarnya, yaitu melatih diri dan mengadakan perlengkapan untuk menghadapi musuh dari luar, tentara malah terus menerus disuruh melakukan tugas polisi ke dalam," tulis Hatta.
Pada tahun 1952, lanjut Hatta, pernah pemimpin angkatan perang yang dalam berbagai sumber merupakan Jenderal AH Nasution memohon kepada Presiden agar Presiden sudi mengakhiri cara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bekerja yang selalu menimbulkan politik yang tidak stabil. permohonan itu tidak berhasil, sebab Presiden menunjukkan kedudukannya sebagai kepala negara konstitusional.
"Akhirnya, keikutsertaan tentara dengan gerakan rakyat di beberapa daerah untuk menentang pemerintah pusat memaksa pemerintah pusat mengumumkan keadaan bahaya. Sejak itu mulailah campur tangan angkatan perang dalam pemerintahan," ungkap Hatta.
Tak cuma berhenti masuk dalam ranah politik, menurut Hatta, tentara juga masuk dalam ranah birokrasi dan bisnis melalui gerakan nasionalisasi aset-aset perusahaan-perusahaan era kolonial Belanda, seperti perusahaan energi, perkebunan, perbankan, transportasi dan berbagai jenis aset lain.
"Persengketaan tentang Irian Barat yang semakin memuncak, memberi kesempatan kepada beberapa golongan pemuda untuk mengambil alih beberapa perusahaan Belanda yang ada di Indonesia. Untuk menghindarkan kekacauan, pemerintah memberi tugas kepada angkatan perang untuk mengawasi semua itu. Dengan itu bertambah luaslah kekuasaan dan tanggung jawab yang diberikan kepada tentara," tulis Hatta.
Dalam karya tulis yang membuat majalah Pandji Masjarakat dibredel rezim Sukarno ini, Hatta menulis: Kalau mereka yang harus bertanggung jawab dalam berbagai bidang keamanan dan keselamatan umum, maka menurut pendapat mereka, sudah selayaknya mereka ikut serta dalam pemerintahan negara. Untuk menanggalkan kekuasaan partaipartai politik dalam pemerintah, tentara menganjurkan ide: kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 dengan sistem kabinet presidensil. Cita-cita itu disokong beberapa golongan kecil yang merasa berjasa dalam revolusi tahun 1945 tetapi tak pernah terhitung dalam politik selama itu. Sudah tentu itu semua diusulkan dengan interpretasi sendiri!