Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Humas BKPP Tangsel
Humas BKPP Tangsel

Intinya sih...

  • Partisipasi publik jadi mandat undang-undang, bukan formalitas

  • Penyelenggaraan penataan ruang wajib melibatkan masyarakat

  • Keterlibatan publik sering hanya formalitas, minimnya keterbukaan informasi

  • Wali Kota Tangsel ungkap tantangan yakni kepatuhan terhadap aturan tata ruang

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Tangerang Selatan, IDN Times – Upaya revisi Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Tangerang Selatan masih dalam proses penyusunan. Kebutuhan partisipasi masyarakat dalam penyusunan aturan tata ruang juga semakin disorot, mengingat penataan ruang bukan sekadar teknis pembangunan, tetapi menyangkut masa depan lingkungan dan kualitas hidup warga.

Melalui artikel ini, IDN Times akan membagikan informasi tentang apa itu tata ruang? Dan bagaimana partisipasi publik di dalamnya.

Landasan hukum tentang penataan ruang tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pada Pasal 2, UU tersebut berbunyi penyelenggaraan penataan ruang diwajibkan berpegang pada asas keterpaduan, keberlanjutan, keterbukaan, kepentingan umum, kepastian hukum, hingga akuntabilitas. Dengan kata lain, tata ruang tidak boleh disusun secara tertutup atau hanya menguntungkan kelompok tertentu.

Sementara itu, Pasal 3 menegaskan bahwa tujuan penataan ruang adalah mewujudkan wilayah yang aman, nyaman, produktif, serta berkelanjutan. Tujuan ini hanya dapat tercapai jika lingkungan alam dan lingkungan buatan dijaga harmoninya, serta pemanfaatan ruang dilakukan secara terpadu dan mencegah kerusakan lingkungan.

Tidak hanya itu, Pasal 7 ayat 1 menyebut bahwa negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya, revisi RTRW Tangsel harus mengutamakan kepentingan warga bukan kepentingan investor atau kelompok tertentu.

1. Partisipasi publik jadi mandat undang-undang, bukan formalitas

Sekretaris PC GP Ansor Tangsel, Amizar (IDN Times/Muhamad Iqbal)

Pada Pasal 65, UU tersebut juga mengatur bahwa penyelenggaraan penataan ruang wajib melibatkan masyarakat. Partisipasi itu mencakup tiga hal: penyusunan dokumen tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Namun, sejumlah kajian menilai partisipasi publik dalam penyusunan RTRW di di wilayah Banten masih jauh dari ideal. Dalam Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja Volume 49 Tahun 2023, peneliti Baharuddin Thahir menyebut, penyebab utama masalah lingkungan, termasuk bencana alam, adalah ketidakkonsistenan kebijakan tata ruang baik dalam tahap perencanaan, pemanfaatan, hingga minimnya pelibatan masyarakat.

Lebih jauh, penelitian berjudul Implementasi Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah di Provinsi Banten ini mengungkap bahwa keterlibatan publik sering kali hanya formalitas. PIhak yang dilibatkan umumnya hanya asosiasi bisnis dan beberapa LSM. Padahal, kelompok masyarakat luas mulai dari komunitas warga, kelompok perempuan, pemuda, hingga pemerhati lingkungan memiliki kepentingan berbeda terkait tata ruang.

Masalah lain adalah minimnya keterbukaan informasi. Banyak pemerintah daerah khususnya di Banten dalam penelitian ini disebut tidak menyediakan dokumen RTRW secara mudah diakses publik. Padahal, transparansi adalah syarat mutlak agar warga memahami arah pembangunan dan bisa terlibat secara bermakna.

2. Wali Kota Tangsel ungkap tantangan terkait aturan tata ruang

Wali Kota Tangsel, Benyamin Davnie (IDN Times/Muhamad Iqbal)

Sebelumnya, Wali Kota Tangsel Benyamin Davnie mengatakan, ada sejumlah tantangan krusial yang harus dijawab dalam revisi Perda RTRW, antara lain terkait ruang terbuka hijau (RTH), penataan kawasan situ, hingga kepatuhan para pemangku kepentingan terhadap aturan tata ruang.

“Tantangannya adalah kepatuhan," kata Benyamin usai rapat paripurna HUT Tangsel ke-17, Rabu (26/11/2025).

Benyamin menekankan, bahwa keberadaan ruang terbuka hijau, baik publik maupun privat, harus dipertahankan agar kualitas lingkungan kota tidak terus menurun. Ia menekankan bahwa pengamanan ruang terbuka hijau bukan sekadar hitungan luas, tetapi juga keberlanjutannya.

“Yang pertama saya berharap ketersediaan ruang terbuka hijau di RTRW itu harus terus kita jaga dengan sebaik-baiknya. Terutama ruang terbuka hijau publik, itu menjadi bagian kerja pemerintah kota,” kata dia.

3. Tata ruang Tangsel harus berpihak kepada publik

Ilustrasi lanskap Tangsel. (dok. Perumnas)

Sementara itu, Pengamat kebijakan publik sekaligus akademisi Universitas Islam Syekh Yusuf (Unis), Adib Miftahul menegaskan bahwa RTRW yang sedang dibahas Pemkot dan DPRD harus benar-benar berpihak pada kepentingan masyarakat, bukan pada kepentingan oligarki.

Oligarki yang dimaksud Adib termasuk pengembang properti besar yang selama ini mendominasi arah pembangunan kota. “RTRW itu bukan dokumen untuk memanjakan pemodal besar. RTRW harus dibuat untuk melindungi warga, memastikan keberlanjutan kota, dan mencegah dominasi kepentingan oligarki properti yang selama ini sangat kuat di Tangsel,” ujarnya saat dihubungi IDN Times, Rabu (26/11/2025).

Menurut Adib, RTRW merupakan fondasi utama pembangunan jangka panjang kota, sehingga setiap keputusan tata ruang akan berdampak langsung pada persoalan mendesak warga seperti banjir, kemacetan, ketersediaan ruang terbuka publik, hingga akses hunian yang terjangkau.

Adib menilai, struktur ruang Tangsel selama satu dekade terakhir terlalu dipengaruhi ekspansi kawasan-kawasan komersial raksasa seperti perumahan premium, pusat bisnis, dan apartemen. Akibatnya, kebutuhan dasar publik seperti ruang hijau, drainase memadai, jalur evakuasi kebencanaan, transportasi publik, dan akses jalan lokal tak berkembang seimbang.

“Selama ini arah pengembangan kota tidak seimbang. Pembangunan properti masif, tapi infrastruktur publik tertinggal. Banjir berulang, kemacetan semakin parah, dan ruang hijau makin menipis. Itu jelas tanda tata ruang kita dikendalikan oleh kepentingan segelintir pemain besar,” katanya.

Adib menegaskan bahwa revisi RTRW harus memperbaiki kesalahan struktural tersebut dan memastikan tidak ada pasal yang membuka celah bagi “pasar bebas ruang” yang menguntungkan korporasi namun merugikan warga.

Editorial Team