Namun, Syafiudin tidak menerima utuh Rp10 juta. Dana tersebut diduga dipotong oleh Rohan, saat mereka berada di mobil dalam perjalanan pulang.
Selain uang untuk bayar ke bank, kata Syafiudin, Rohan juga meminta uang ongkos pulang pergi dari Mandalawangi ke bank di Kota Serang sebesar Rp200 ribu. Selain itu, uang itu juga dipotong hingga Rp6 juta untuk pembelian alat kesehatan (alkes).
Diketahui, BOP tersebut adalah bantuan dari Kementerian Agama (Kemenag) RI untuk operasional hingga penyediaan alat-alat kesehatan. Dari Rp10 juta yang seharusnya diterima, Syafiudin mengaku hanya menerima Rp3.650.000.
"Saya sampai sekarang sering melamun, nyesek rasanya. Dari jam 05.00 ngurus sampai Magrib, pas sudah cair dipotong lebih dari setengahnya," kata Syafiudin.
Syafiudin bercerita, rasa nyeseknya bertambah saat seminggu kemudian, alat kesehatan yang dijanjikan oleh Rohan dengan nilai Rp6 juta itu datang, namun tidak sesuai ekspektasi.
Dia pun tidak menerima kuitansi dari alkes yang diterima. "Yang datang cuma ember, masker, dan hand sanitizer," kata dia.
Tim KJI lantas mengecek alkes yang diterima madrasah dari FKDT dan membandingkannya harganya di toko online. Berikut harga alkes itu, berdasarkan harga eceran di toko online:
1. Cairan disinfektan 4 buah ukuran 1 liter merek Vin San, HET Rp20 ribu per buah
2. Sabun cuci tangan 4 botol ukuran 500 mililiter (ml) merek Vani, Rp 20 ribu per buah
3. Hand sanitizer 4 buah ukuran 100 ml merek Vin San, Rp15 ribu per buah
4. Tempat cuci tangan berbentuk ember tong sebanyak 1 buah, Rp53 ribu
5. Thermogun 1 buah merek Infraret, HET Rp89 ribu- Rp150 ribu
6. Semprotan disinfektan 1 buah merek Masion, Rp150 ribu
7. Masker kain 1 pak berisi 100 pcs, Rp200 ribu.
Jika dijumlahkan harga alkes yang didapatkan masing-masing MDTA hanya sekitar Rp1.573.000, maka diperkirakan masih ada sekitar Rp4 juta lebih yang belum disalurkan.
Meski demikian, Syafiudin mengaku lebih beruntung dibandingkan rekan-rekan yang datang mencairkan hari itu. Dari 15 orang yang berangkat, kata dia, hanya enam orang yang menerima bantuan. Sisanya, belum menerima dana bantuan itu karena persyaratan dokumen yang tidak lengkap.
Kata Syafiudin, seluruh pengurusan pencairan tersebut dilakukan oleh Rohan dan rekan-rekannya dari FKDT Kecamatan Mandalawangi. Syafiudin dan kawan-kawan tidak bisa mengurus sendiri. Pasalnya, semua tetek-bengek pencairan dana, mulai dari berkas hingga tahap-tahap pengurusan, semua melalui FKDT.
Nasib yang sama dialami oleh Kepala MDTA yang lain di Kecamatan Mandalawangi yang tak ingin identitas lengkapnya diungkap. Ia mengatakan, dana madrasahnya pun diduga dipotong oleh Rohan, namun nilainya lebih kecil dari MDTA Misbahusyibyan, yakni Rp4 juta. Dugaan potongan itu juga diklaim untuk pembelian alkes dan biaya pengurusan berkas laporan kegiatan.
Nilai dugaan potongan lebih kecil karena dia mengurus sendiri saat proses pencairan di Bank BNI di Pandeglang, tanpa didampingi oleh pengurus FKDT.
‘’Diminta 40 persen (Rp4 juta) untuk Rohan, 60 persen untuk madrasah. Jadi kita cuma dapat Rp6 juta doang. Itu untuk alkes dan SPJ,’’ katanya.
Di Kecamatan Majasari, salah satu kepala madrasah pun mengaku mendapat potongan Rp3 juta oleh pengurus FKDT setempat. Nilainya Rp1 juta untuk pengurus FKDR sebagai ‘kadedeuh’ atau jasa karena mengurus pengajuan BOP. Tapi, nama sumber ini pun menolak diungkap identitasnya karena alasan tertentu.
Tidak berhenti di situ, setelah dana bantuan cair, ia pun diwajibkan membeli alat prokes langsung kepada pengurus FKDT Kecamatan Majasari, uang tersebut dibelanjakan dengan dikoordinir oleh salah satu pengurus forum. Besarannya mencapai Rp2 juta.
‘’Alkes yang didapat terdiri dari 1 alat pompa untuk penyemprotan kandang ukuran 5 liter, 5 hand sanitizer, wastafel cuci tangan,’’ katanya.
Rupanya, dugaan pemotongan dana BOP untuk MDTA juga terjadi di Kabupaten Tangerang. Di sini pun, nama FKDT terseret.
Mimi, salah satu kepala madrasah di Kecamatan Curug, mengaku mendapat potongan sebesar Rp5 juta untuk pembelian alkes oleh oknum pengurus FKDT. Alkes yang dia terima dinilai tidak sesuai dengan harganya.
Namun, Mimi tidak mempermasalahkan potongan itu. Menurutnya, hal itu sudah lumrah terjadi setiap ada bantuan.
‘’Dari Rp10 juta dipotong Rp5 juta, kita mah gak apa-apa yang penting dapat. Kalau gak dipotong-potong ya gak bakalan dapet (bantuan),’’ tuturnya.
Dia mengungkap, pada saat memotong dana itu, oknum dari forum telah mengantisipasi jika ada masalah di kemudian hari. Kepala madrasah diminta menandatangani surat pernyataan tidak ada potongan. ’’kalau ada apa-apa, kan mereka tidak mau tanggung jawab,’’ katanya.