Gedung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). (wartapemeriksa.bpk.go.id)
Penyidik berpegang teguh pada Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 3 UU 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Pasal 10 ayat 1 UU 15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 menyatakan, "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."
Sementara Pasal 2 ayat (2) menyebutkan, "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan."
Pasal 3 berbunyi “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)."
Sementara Pasal 10 Ayat 1 UU BPK berbunyi "BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang
menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara."
Penanganannya hingga saat ini sudah berjalan lama dan belum ada penetapan tersangka, kendati terduga pelaku yang merupakan aparatur sipil negara (asn) sudah diberi sanksi pemecatan.
Dalam hal ini, Lakso yang juga pernah menjadi penyidik dan ahli hukum selama 11 tahun di KPK itu menyebut, mengacu putusan Mahkamah Konstitusi lembaga audit kerugian negara yang dimaksud tak mutlak BPK.
"Kalau keputusan Mahkamah Konstitusi, penyidik pun bisa melakukan penghitungan keuangan asal bisa meyakinkan," kata Lakso.
Ia menambahkan, seharusnya kasus ini dapat menjadi suatu pintu masuk untuk membongkar kasus-kasus rasuah lain. "Menjadi pertanyaan, kenapa sampai saat ini (kasus Bansos Lebak 2021) belum selesai, terkesan ada saling lempar-melempar," kata dia.
"Kalau ini kan upayanya saling melempar, kepolisian lempar ke BPK, dan BPK lempar ke kepolisian. Kita jangan terjebak pembuktian secara teknis," sambungnya.