Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Foto terowongan Gonggo dari buku Maja Dari Masa Ke Masa
Foto terowongan Gonggo dari buku Maja Dari Masa Ke Masa (IDN Times/Muhamad Iqbal)

Intinya sih...

  • Gerbong KA penuh dan ramai, penumpang berdesakan hingga naik ke atap

  • Lebih dari 20 korban dalam satu dekade

  • Jembatan Gonggo dibongkar setelah era elektrifikasi

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Lebak, IDN Times – Jembatan tua di jalur rel Maja, Kabupaten Lebak, yang dikenal masyarakat sebagai Jembatan Gonggo, pernah menjadi saksi bisu serangkaian kecelakaan tragis. Puluhan penumpang kereta api dikabarkan tewas setelah tubuh mereka terbentur lengkung jembatan ketika berada di atap gerbong, dalam perjalanan antara Stasiun Maja dan Cikoya.

Kisah ini terungkap dalam buku Cerita Maja dari Masa ke Masa, yang ditulis berdasarkan arsip kolonial dan kesaksian Mbah Ngadirin, mantan Kepala Stasiun Maja yang bertugas dari 1985 hingga 1995.

1. Gerbong KA penuh dan ramai, penumpang berdesakan hingga naik ke atap

Kesaksian Mbah Ngadirin dalam buku Maja Dari Masa Ke Masa (IDN Times/Muhamad Iqbal)

Menurut Mbah Ngadirin, pada era 1970-an hingga 1980-an, jalur Tanah Abang–Rangkasbitung merupakan jalur kereta api yang padat oleh penumpang. Kereta ekonomi sering kali penuh sesak, membuat banyak penumpang memilih naik di atap gerbong agar tetap bisa berangkat.

Namun, tak jauh dari Stasiun Maja, terdapat sebuah jembatan peninggalan kolonial Belanda dengan lengkungan rendah yang oleh warga disebut Gonggo. “Kalau nggak tiarap, pasti kena. Banyak yang meninggal di situ,” tutur Mbah Ngadirin dalam buku tersebut.

Benturan keras antara tubuh manusia dan struktur batu jembatan itu, kata Mbah Ngadirin, menghasilkan suara dentuman khas yang oleh warga sekitar disebut bunyi “beledug.” Keluarganya, yang tinggal di rumah dinas tak jauh dari mulut terowogan, sering mendengar suara itu setiap kali ada korban.

“Kalau yang sudah tahu, pasti tiarap. Tapi yang bengong atau tidur, langsung terbentur. Kadang kedengaran suaranya keras sekali,” ujarnya mengenang.

Setelah kejadian, petugas stasiun segera mengevakuasi jenazah korban secara diam-diam agar tak menimbulkan kepanikan warga. Jasad biasanya diangkat menggunakan tandu ke stasiun, lalu diserahkan ke aparat keamanan setempat.

2. Lebih dari 20 korban dalam satu dekade

Foto Buku Maja Dari Masa Ke Masa (IDN Times/Muhamad Iqbal)

Dalam ingatan Mbah Ngadirin, sepanjang masa tugasnya di Maja, sedikitnya 20 hingga 30 penumpang tewas akibat terbentur Jembatan Gonggo. Angka ini belum termasuk kejadian serupa sebelum ia bertugas di sana.

Sebagian korban meninggal di tempat, sementara yang selamat biasanya mengalami luka berat di bagian kepala atau patah tulang akibat jatuh dari atap kereta.

“Rata-rata yang meninggal itu karena kepala terbentur baja jembatan. Ada juga yang terjatuh ke tanah,” katanya.

3. Jembatan Gonggo dibongkar setelah era elektrifikasi

ilustrasi KRL Commuter Line (unsplash.com/Fasyah Halim)

Jembatan Gonggo yang dibangun pada masa kolonial bersamaan dengan jalur kereta Batavia–Rangkasbitung itu memiliki struktur berbentuk klasik, dengan tiga lengkung setengah lingkaran dari beton dan batu bata merah.

Namun, pada 2009 jembatan ini dibongkar dan digantikan dengan jembatan baru yang lebih tinggi agar bisa dilalui jaringan kabel KRL Commuter Line. Mbah Ngadirin menyebut, proses pembongkaran memakan waktu lama karena struktur lamanya sangat kuat.

“Jembatan itu kokoh sekali, dibangun zaman Belanda. Butuh alat berat buat bongkarnya,” ujarnya.

Kini, lokasi bekas Jembatan Gonggo hanya tinggal kenangan bagi warga Maja. Meski banyak kisah kelam yang melekat, bagi peneliti sejarah lokal, struktur ini tetap menjadi bagian penting dari perjalanan perkeretaapian di Banten.

Buku Cerita Maja dari Masa ke Masa menempatkan Gonggo sebagai simbol perubahan zaman dari era kolonial hingga modern sekaligus pengingat bahwa kemajuan infrastruktur selalu menyimpan cerita manusia di baliknya.

Editorial Team