Kesaksian Mbah Ngadirin dalam buku Maja Dari Masa Ke Masa (IDN Times/Muhamad Iqbal)
Menurut Mbah Ngadirin, pada era 1970-an hingga 1980-an, jalur Tanah Abang–Rangkasbitung merupakan jalur kereta api yang padat oleh penumpang. Kereta ekonomi sering kali penuh sesak, membuat banyak penumpang memilih naik di atap gerbong agar tetap bisa berangkat.
Namun, tak jauh dari Stasiun Maja, terdapat sebuah jembatan peninggalan kolonial Belanda dengan lengkungan rendah yang oleh warga disebut Gonggo. “Kalau nggak tiarap, pasti kena. Banyak yang meninggal di situ,” tutur Mbah Ngadirin dalam buku tersebut.
Benturan keras antara tubuh manusia dan struktur batu jembatan itu, kata Mbah Ngadirin, menghasilkan suara dentuman khas yang oleh warga sekitar disebut bunyi “beledug.” Keluarganya, yang tinggal di rumah dinas tak jauh dari mulut terowogan, sering mendengar suara itu setiap kali ada korban.
“Kalau yang sudah tahu, pasti tiarap. Tapi yang bengong atau tidur, langsung terbentur. Kadang kedengaran suaranya keras sekali,” ujarnya mengenang.
Setelah kejadian, petugas stasiun segera mengevakuasi jenazah korban secara diam-diam agar tak menimbulkan kepanikan warga. Jasad biasanya diangkat menggunakan tandu ke stasiun, lalu diserahkan ke aparat keamanan setempat.