Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Wakil Wali Kota Tangsel, Pilar Saga Ichsan
Wakil Wali Kota Tangsel, Pilar Saga Ichsan (IDN Times/Muhamad Iqbal) I

Intinya sih...

  • Biaya pemilahan sampah menjadi sorotan

  • KLHK memberi deadline hingga akhir 2025

  • Sampah tak terpilah bisa bikin bengkak biaya operasional

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Tangerang Selatan, IDN Times – Proyek Pembangkit Listrik Energi Sampah (PSEL) di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) digadang baru akan benar-benar mulai beroperasi pada 2029. Padahal, kondisi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipeucang saat ini sudah over capacity dan menjadi sorotan publik.

Wakil Wali Kota Tangsel, Pilar Saga Ichsan mengungkapkan, bahwa konsorsium yang ditunjuk pemerintah telah membentuk perusahaan untuk mengelola proyek ini. Namun, proses perizinan dan pemilihan teknologi masih berjalan.

“Kami harap tahun 2029 PSEL sudah bisa mulai beroperasi. Dari feasibility study, diputuskan teknologi insinerator yang dianggap paling tepat. Tapi memang, semua masih dalam proses perizinan dan persiapan,” kata Pilar, Selasa (23/9/2025).

1. Biaya PSEL yang mahal, menjadi sorotan

TPA Cipeucang sudah overkapasitas (IDN Times/Muhamad Iqbal)

Pilar mengakui, kritik sejumlah pihak termasuk Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) terkait biaya pemilahan sampah sebelum masuk ke insinerator cukup beralasan. Menurutnya, kajian menyebutkan bahwa ada “harga” yang memang harus dibayar untuk memastikan teknologi ramah lingkungan diterapkan.

“Dalam pelestarian lingkungan itu pasti ada investasi yang harus dipersiapkan. Tapi kami juga koordinasi dengan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan kejaksaan supaya tidak memberatkan anggaran pemerintah dan tetap make sense,” jelasnya.

2. KLHK beri deadline hingga akhir 2025

Wakil Wali Kota Tangsel, Pilar Saga Ichsan (IDN Times/Muhamad Iqbal) I

Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberi tenggat waktu hingga Desember 2025 untuk pembenahan TPA Cipeucang. Pilar mengatakan, Pemkot Tangsel masih berupaya mengoptimalkan pengelolaan Cipeucang sambil menambah lahan baru dan membangun infrastruktur pendukung seperti saluran water treatment dan pembuangan air lindi.

“Kami juga kerja sama dengan daerah lain yang punya lahan cukup luas, seperti Kabupaten Bogor, untuk mengantisipasi beban sampah. Harapannya, rencana aksi ini bisa sesuai arahan KLHK,” tegas Pilar.

3. Sampah tak terpilah bisa bikin biaya operasional membengkak

TPA Cipeucang sudah over capacity (IDN Times/Muhamad Iqbal)

Sebelumnya, manajer Kampanye Tata ruang dan Infrastruktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Dwi Sawung menilai, proyek Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) di Tangerang Selatan tidak realistis.

Penilaian tersebut, kata dia, jika mengacu pada kemampuan pembiayaan daerah terhadap skema pembayaran pengolahan sampah serta potensi pembengkakan biaya yang disebabkan sampah yang diangkut tanpa terpilah.

"Kami lihat APBD-nya saja lah, sanggup enggak sih dia membiayai itu (PSEL)? Di Solo itu kan karena ada bantuan pemerintah pusat ya, waktu itu," kata Sawung, Senin (26/5/2025).

Sawung mengatakan, di seluruh dunia, rata-rata biaya pengolahan sampah per ton di angka Rp500 ribu lebih.

Terkait output pengolahan sampah menjadi energi listrik, menurut Sawung, hal tersebut menjadi bonus saja dan tidak bisa diharapkan menjadi potensi pendapatan. "Jadi kalau mengharapkan dari sana menjual listrik dan jadi keuntungan yang bisa digunakan mengurangi biaya itu tidak realistis," kata dia.

Terlebih, lanjut Sawung, pengolahan sampah dengan metode tersebut sangat bergantung pada sampah yang sudah terpilah dengan baik. Sampah yang tidak terpilah, atau tercampur berpotensi membuat biaya pengolahan sampah membengkak.

"Apalagi kalau tumpukannya tercampur, segala macam ada sebetulnya membuat menjadi mahal dan susah juga. Kalau tercampur-campur gitu kan ada PR lagi untuk sortirnya. Sortirnya juga ada batas kapasitasnya," ungkapnya.

Editorial Team