Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Jembatan darurat di Desa Ciladaeun (IDN Times/Muhammad Iqbal)

Lebak, IDN Times - Masih jelas terekam di ingatan Manti Fatimah, bagaimana hujan deras  di penghujung tahun 2019. Hari itu, hati ibu dua anak itu sangat was-was.

Gempita malam pergantian tahun menuju 2020 itu ia habiskan dalam rasa ketakutan melihat seramnya debit air dan arus Sungai Ciberang yang hanya berjarak 10 meter dari jendela rumahnya, di Desa Ciladaeun, Kecamatan Lebakgedong, Kabupaten Lebak. 

Malam itu, suaminya, Subadri 32 tahun, sedang berjaga di kantor desa Ciladauen, satu areal yang lebih tinggi ketimbang lokasi rumahnya di kampung Muhara. Subadri adalah seorang petugas perlindungan masyarakat atau dikerap disebut linmas. 

Paginya, Rabu 1 Januari 2020, hujan yang belum berhenti. Muka air Sungai Ciberang terus meninggi, bahkan berubah menjadi arus deras yang mulai menyapu tepian sungai. Kondisi itu membuat Subadri berlari pontang-panting dari tempatnya bekerja, untuk mengevakuasi istrinya, Fatimah dan dua anaknya.

"Air naik, waktu kejadian, suami lagi di atas, saya sama anak di rumah akhirnya naik ke atas nyelametin diri," kata Fatimah kepada IDN Times saat ditemui di rumahnya, Minggu (17/10/2021).

Dalam peristiwa banjir bandang itu, 56 rumah di Desa Ciladaeun rusak ringan hingga berat. Semenjak saat itu, Fatimah dan ribuan warga Ciladaeun menyadari hujan yang datang, Sungai Ciberang dan wilayah tinggalnya tak lagi sama.

"Hujan, sekarang mah deras. Kalau hujan terus suka air juga suka naik, kalau sudah gitu was-was bencana sekarang mah. Saya asli sini, lahir di sini, kecil di sini. Mungkin ini yang kata orang berubah (perubahan) iklim," kata perempuan 22 tahun itu. 

Perubahan iklim tingkatkan cuaca ekstrem dan bencana hidrometeorologi

Subadri saat menceritakan peristiwa banjir bandang (IDN Times/Muhammad Iqbal)

Subadri masih ingat betul masa kecil yang ia jalani di kampung halamannya ini. Saat dia masih anak-anak, Kampung Muhara ini memiliki suhu dingin khas pegununungan. Soal hujan, menurut dia, sekarang makin sering datang.

"Saya kecil di sini main, berenang di sungai yang lebih dalam dari (saat) ini. Dulu dingin di sini, tapi hujan jarang, sekarang panas dan hujan lebih sering," kata Subadri bercerita.

Subadri juga bercerita, dasar sungai yang dulu kerap dia pakai berenang, kini lebih dangkal dari tahun-tahun sebelum banjir bandang.

Apa yang dikatakan Subadri setali tiga uang dengan data time series Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Curah hujan harian maupun tahunan di pos hujan BMKG wilayah Bayah dan Cibaliung--termasuk area Kampung Muhara, Desa Ciladaeun-- periode 1991 hingga 2020 menunjukkan adanya tren peningkatan curah hujan. 

Kepada IDN Times, Koordinator Bidang Data dan Informasi BMKG, Sutiyono menyebut, faktor utama curah hujan di wilayah tersebut meningkat dari tahun ke tahun adalah perubahan iklim.

"Bisa berdampak juga pada peningkatan kejadian cuaca ekstrem dan bencana hidrometeorologi," kata Sutiyono.

Sambil berbincang dan mengingat-ingat masa kecilnya, Subadri terhenyak. Menurutnya tak banyak yang bisa warga lakukan atas perubahan yang terjadi di desanya itu, kecuali berdoa.

"Masyarakat harapkan, kalau sudah berdoa, kan Allah yang menentukan, walaupun kita (berbuat) apa-apa, kalau Allah menghendaki, kan kita gak bisa berbuat apa-apa," kata Subadri.

Agama, Tuhan dan bencana

Editorial Team

Tonton lebih seru di